Selasa, 31 Januari 2012

Maaf, Saya Bukan Artis

Akhirnya, kutempuh jalan yang sunyi
Mendendangkan lagu bisu
Sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata
Emha Ainun Nadjib


Beberapa waktu lalu, saya dihubungi Mbak Febriana, editor Penerbit Titan Press, yang mengabarkan kemungkinan novel saya, Lacrymossa, akan difilmkan. Saya masih ingat ketika dia menelepon pukul sembilan malam, dan kemudian kami berbincang cukup lama menyangkut novel itu.

Lacrymossa adalah novel memoar—satu-satunya novel memoar yang pernah saya tulis. Meski novel itu tidak secara langsung menyatakan bahwa tokoh dalam kisahnya adalah diri saya, namun sebagian besar pembaca telah mengira-ngira—bahkan meyakini—kalau sayalah tokoh dalam novel itu. Dan saya tidak keberatan jika ada yang berasumsi seperti itu, karena kenyataannya saya memang mengambil banyak kisah hidup saya sendiri dalam membangun jalan ceritanya.

Ketika menelepon saya, Mbak Febriana juga sempat menyinggung hal itu. “Da’, tokoh dalam novel itu kan kamu banget, tuh,” ujarnya. Kemudian, sambil bercanda, dia bilang, “Gimana kalau umpama—ini umpama lho ya—produser atau sutradaranya meminta kamu yang memerankan filmnya nanti?”

Meski saya tahu itu pertanyaan gurauan, namun saya menjawabnya dengan serius, “Tentu saja saya akan menolak.”

“Heh…?” Dia seperti salah dengar. “Kamu menolak tawaran jadi artis?”

“Ya.”

“Bisa lebih serius lagi?”

“Oh, well, saya tidak ingin, tidak mau, dan tidak berminat jadi artis.”

“Uh, kenapa?”

“Karena saya bukan artis!”

Dia tertawa sumbang. “Kayaknya baru dengar nih, ada orang yang nolak jadi artis.”

“Mbak Febri, tidak semua orang ingin jadi artis. Salah satunya saya.”

Lalu kami pun ngobrol-ngobrol hal lain, meski masih berhubungan dengan novel tersebut. Di akhir obrolan, Mbak Febri bertanya, “Nah, kira-kira siapa ya, aktor yang sekiranya pas memerankan tokoh dalam novel itu? Kayaknya harus yang mirip kamu, deh.”

“Ah, kalau itu sih gampang,” ujar saya, “Mbak Febri kan udah pernah ketemu dan lihat saya. So, kalau memang tokohnya harus bener-bener mirip saya, kayaknya nggak sulit nyarinya, kan?”

“Hmmm... siapa, ya?” Setelah terdiam beberapa saat, tiba-tiba dia berujar, “Oh iya, Bertrand Antolin!”

“Heh…???” Saya merasa salah dengar. “Bertrand Antolin…?”

“Iya, tuh cowok kan mirip banget sama kamu—kurus-kurusnya, face-nya—iya, kayaknya dia deh yang paling tepat!”

Buat para pembaca blog ini, tolong kalian jangan terpengaruh. Tentu saja saya tidak mirip Bertrand Antolin! Dan, lebih penting lagi, Bertrand Antolin tidak mirip saya! Namun, meski begitu, saya tidak keberatan jika Bertrand memang mau memerankan diri saya dalam film! :D

....
....

Ehmm, saya telah memilih jalan hidup saya, dan jalan hidup saya bukan di dunia selebritas yang glamour dan gemerlap. Saya telah memilih jalan hidup saya, dan jalan hidup yang saya pilih adalah jalan sunyi—tempat saya dapat belajar dan berkarya tanpa diganggu hiruk-pikuk publik.

Menulis adalah jalan sunyi, dan saya telah memilih jalan itu. Jika tulisan saya harus naik ke panggung publik, biarlah hanya tulisan itu yang dikenal, dan biarlah saya tetap menjadi sosok tak dikenal. Menjadi terkenal bukan obsesi saya, dan menjadi artis tak pernah terpikir sedikit pun dalam pikiran. Saya sudah bahagia dengan jalan hidup yang sekarang saya miliki—dan jalan hidup saya ada dalam sunyi.

Ketika memutuskan untuk menjadi penulis, bertahun-tahun lalu, salah satu alasan yang mendasari saya adalah karena pekerjaan ini tidak membutuhkan tampilan glamour. Menjadi penulis hanya membutuhkan ketekunan menulis—tidak membutuhkan penampilan rupawan ataupun gelar tinggi dan tetek-bengek-tidak-penting-lainnya—dan karena itulah saya memilih menjadi penulis.

Lebih dari itu, menulis adalah pekerjaan yang dapat dilakukan dalam keheningan, dalam kesendirian, dan saya menyukai kondisi semacam itu. Mengeluarkan saya dari keheningan sama artinya mengeluarkan ikan dari air—itu akan membunuh saya!

Oh, well, tidak semua orang ingin menjadi artis! Tidak semua orang ingin masuk televisi. Tidak semua orang ingin main sinetron atau main film. Pendeknya, tidak semua orang ingin terkenal!

Karena keinginan untuk tidak terkenal itu pulalah yang mendasari saya untuk mengundurkan diri dari publik pada tahun 2006. Dulu, di awal-awal menjadi penulis, saya sering diundang menjadi pembicara di kampus-kampus dan di berbagai forum, untuk bedah buku atau hal lainnya—dan saya mau menghadirinya.

Namun kemudian saya menyadari bahwa kehadiran saya secara langsung dalam acara-acara semacam itu hanya menjadikan saya mudah dikenal, dan saya tidak nyaman menjalaninya. Akhirnya, pada 2006, saya pun memutuskan untuk mengundurkan diri dari publik. Sejak itu, saya tidak mau lagi menerima undangan berbicara di mana pun, dengan alasan apa pun. Sebagai gantinya, saya membuat blog di internet.

Melalui blog—juga melalui buku-buku, dan artikel-artikel di media massa—saya bisa menulis dan menyuarakan pikiran-pikiran saya tanpa harus tampil di depan publik. Dan saya merasa nyaman seperti itu. Biarlah orang mengenal tulisan saya, atau mengenal nama saya. Tapi biarlah pula diri saya tetap menjadi “bukan siapa-siapa”.

Saya sudah bahagia jika orang membaca buku saya dan menyukai tulisan-tulisan saya. Biarlah buku-buku itu menjadi milik mereka, dan biarlah diri saya tetap menjadi milik saya sendiri. Setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri-sendiri, dan jalan hidup saya ada dalam keheningan, tanpa hiruk-pikuk selebritas, tanpa gemerlap yang menyilaukan.

Ketika menulis catatan ini, saya baru pulang dari pertemuan dengan beberapa teman wartawan. Rencananya, rekan-rekan wartawan tersebut ingin melahirkan tabloid baru, dan saya diajak untuk ikut mengkonsepnya. Saya menganggap tawaran mereka menjanjikan kreativitas baru, maka saya pun menerima tawaran itu, dan mematangkan konsepnya. Jika tidak ada aral melintang, dalam waktu dekat tabloid baru itu akan segera terbit.

Kelak, jika tabloid yang kami impikan itu akhirnya terbit dan beredar di masyarakat, saya sudah bahagia jika masyarakat luas membaca serta menyukainya, tanpa mereka harus tahu bahwa saya ada di belakang penerbitannya. Kau tahu, rasanya senang sekali menyaksikan orang-orang membaca tulisan-tulisan kita, tanpa mereka tahu bahwa kitalah penulisnya. Itu seperti menyerahkan sekeranjang bunga dengan tangan kananmu, dan membiarkan tangan kiri tidak tahu.

Saya mencintai menulis, karena dalam menulislah saya menyentuh keheningan, menyetubuhi kesunyian. Dalam hening dan sunyi, saya tidak menginginkan apa-apa lagi.

Pelajaran Penting Seumur Hidup

Jangan menghakimi.
Yesus

Ketika kita menudingkan jari telunjuk ke muka orang lain,
tiga jari lainnya menunjuk ke muka kita sendiri.
Plato


Pukul sepuluh pagi itu saya mengetuk pintu rumahnya. Cukup lama saya berdiri di depan pintunya, mengetuk-ngetuk dan memanggilnya, sampai kemudian ia muncul membukakan pintu dengan muka mengantuk. Jelas sekali ia terbangun dari tidur karena mendengar ketukan di pintu rumahnya. Dan, dengan pongah, saya berkata, “Jam segini baru bangun tidur??? Dasar pemalas!”

“Masuklah,” sahutnya, tanpa menghiraukan ucapan saya.

Setelah saya duduk di ruang tamu rumahnya, dia berkata perlahan-lahan, “Jam berapa tadi malam kau tidur?”

“Jam sebelas,” saya menjawab jujur.

“Dan jam berapa kau bangun tidur tadi pagi?”

“Jam enam.”

“Jadi, kau tidur dari jam sebelas malam sampai jam enam pagi. Itu berarti kau sudah tidur selama tujuh jam.”

“Yeah.” Saya menatapnya dengan bingung.

Dia melanjutkan, “Nah, sekarang biarkan aku menjelaskan. Setiap malam aku tidak pernah tidur karena banyak pekerjaan dan insomnia. Tadi aku tidur jam delapan pagi. Dan aku terbangun dari tidur jam sepuluh, karena kau mengetuk pintu rumahku. Artinya, aku baru tidur dua jam—dan kau dengan pongah menuduhku pemalas karena melihatku bangun tidur jam sepuluh. Seharusnya, kalau boleh menyarankan, tanyalah dulu kapan aku tidur sebelum menghakimiku.”

Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba saya merasa diri sayalah yang pemalas.

Minggu, 22 Januari 2012

Finding Soulmate

Yang terbaik akan datang. Jadilah tua bersamaku!
Yang terbaik akan datang menyambut, akhir hayat,
yang untuknya awal dicipta, hidup kita ada di tangannya.
Robert Browning


Apakah kau percaya soulmate…?

Ada ungkapan terkenal yang menyatakan bahwa setiap orang pasti akan menemukan jodoh yang tepat, bahwa setiap kita pasti akan menemukan seseorang yang akan menjadi belahan jiwa atau soulmate kita. Apakah kau percaya…?

Keberadaan belahan jiwa atau ‘soulmate’ memang masih jadi perdebatan di sebagian kalangan. Sebagian orang mempercayai soulmate itu ada, sementara sebagian yang lain meragukannya. Tetapi, apa sih sebenarnya soulmate itu?

Pemahaman kita atas definisi soulmate akan membantu membentuk pikiran kita untuk mempercayai atau tidak mempercayai keberadaan soulmate. Pandangan umum menyatakan bahwa soulmate adalah seseorang yang mampu menghadirkan beberapa perasaan tertentu yang bersifat kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan. Secara mudah, kau telah menemukan seseorang yang dapat disebut soulmate, apabila:

  • Kau dan dia bisa saling membantu dalam urusan apa pun, baik yang besar ataupun yang kecil, yang sepele ataupun yang penting, dan kalian tidak merasa perlu melibatkan orang lain karena sudah senang mengerjakannya berdua saja.
  • Dia dapat bersikap santai terhadapmu, sebagaimana kau pun dapat bersikap jujur dan terbuka kepadanya. Kalian berdua bisa saling menghargai perbedaan masing-masing; dia tidak meributkan penampilan ataupun hal-hal lain menyangkut dirimu, dan kau pun dapat menerima dia apa adanya. Kalian berdua tidak mencoba saling mengesankan, karena kalian menyukai keberadaan masing-masing secara jujur, spontan, dan tidak palsu.
  • Kau dan dia dianugerahi semacam telepati pribadi, suatu kontak batin yang dapat membuatmu memahami apa yang tengah dipikirkannya, sebagaimana dia pun seperti selalu dapat mengerti apa yang tengah kaurasakan. Kalian berdua dapat saling memahami perasaan masing-masing, meski perasaan itu tak saling diungkapkan secara langsung.
  • Kalian berdua saling memberikan rasa nyaman, sehingga kalian bisa menghabiskan banyak waktu bersama tanpa menimbulkan rasa bosan. Kau selalu suka berdekatan dengannya, sebagaimana dia pun selalu merindukan jika tak melihatmu.
  • Kau dan dia merasa saling memerlukan, saling membutuhkan, dan kalian berdua saling menguatkan. Ketika kau dalam kesulitan, dia menjadi orang pertama yang datang. Ketika dia dalam kesusahan, kau pun yang paling awal mengulurkan tangan. Lebih dari itu, kau dan dia bisa berterus-terang tentang semua hal yang mungkin tidak bisa kalian ungkapkan kepada orang lain.
  • Kalian bisa saling mencintai dan menyayangi bukan karena hal lain, tetapi karena kau adalah kau, dan dia adalah dia. Kau maupun dia dapat saling mengatakan, “Aku mencintaimu karena kau adalah kau. Kau tidak perlu menjadi orang lain untuk membuatku jatuh cinta kepadamu atau untuk menerima cintaku.”

Nah, berdasarkan gambaran-gambaran sekilas di atas, sekarang kita mulai memiliki bayangan yang lebih riil mengenai apa sebenarnya yang disebut soulmate. Dan, seperti yang telah dinyatakan di atas, kita berhak untuk mempercayai atau tidak mempercayai keberadaannya.

Namun, kalau kita mau memperhatikan gambaran-gambaran di atas lebih jauh, maka orang yang dapat disebut soulmate sesungguhnya adalah orang yang memiliki kepribadian yang cocok dengan diri kita.

Soulmate tidak sekadar wajah rupawan atau penampilan yang mengesankan. Soulmate lebih dari itu—ia adalah sosok dengan kepribadian yang dapat menyatu dengan kepribadian kita secara baik.



Perhatikan lagi gambaran-gambaran mengenai soulmate di atas—semuanya adalah perpaduan dari dua kepribadian yang menyatu, berpadu, dan saling melengkapi. Psikolog Carl Gustav Jung menyatakannya dengan baik, “Bertemunya dua kepribadian mirip bercampurnya dua zat kimia; ada reaksi dan ada transformasi.”

Jadi, ketika dua kepribadian bertemu, maka akan muncul reaksi dan transformasi sebagai hasil pertemuan antarkepribadian itu. Jika hasil pertemuan antarkepribadian itu menciptakan reaksi yang negatif, maka orang akan cenderung saling menjauhi.

Sebaliknya, ketika hasil pertemuan kepribadian itu menciptakan reaksi yang positif, maka orang pun akan cenderung saling mendekati—dan itulah yang disebut soulmate. Ringkasnya, soulmate tidak sekadar “seseorang”, melainkan “seseorang dengan kepribadian tertentu yang dapat menyatu dengan kepribadian kita”.

Karenanya pula, kata kunci untuk dapat menemukan soulmate adalah mencari dan menemukan kepribadian yang sekiranya akan cocok dan dapat menyatu dengan kepribadian kita. Setiap orang memiliki sifat, karakter, dan kepribadian yang berbeda, dan tidak setiap orang dapat menyatu secara baik dengan kepribadian kita.

Nah, pertanyaannya, bagaimana cara menemukan orang dengan kepribadian yang sekiranya akan cocok dengan kepribadian kita…?

Pertama tentu dengan mengenali kepribadian kita sendiri. Kita tidak mungkin menemukan soulmate atau sosok yang tepat jika kita belum dapat mengenali diri sendiri. Soulmate hanya milik orang-orang yang telah mengenali dirinya sendiri. Mendapatkan soulmate—jika kita memang percaya keberadaannya—tak jauh beda dengan meletakkan keping puzzle pada tempat yang tepat. Kita tidak akan bisa meletakkan potongan puzzle sebelum melihat gambaran dasarnya. Nah, “gambaran dasarnya” itulah kepribadian kita sendiri.

Ketika kita menemukan orang yang (kita anggap) tepat, sehingga kita mau menjalin hubungan dengannya, kita akan merasa nyaman dalam kebersamaan atau bahkan kedekatan itu. Dalam hubungan semacam itu, rupa fisik tidak lagi memiliki peran penting—meski mungkin masih memiliki peran—karena yang lebih penting adalah faktor kepribadian. Dalam hubungan yang nyaman, kita merasakan kepribadian kita menyatu dengan kepribadian pasangan kita—dan itulah soulmate.

So, ketika kemudian hubungan itu melangkah ke jenjang yang lebih serius di altar perkawinan, dan orang-orang kemudian mengucapkan, “Selamat menempuh hidup baru,” maka ucapan itu sebenarnya berbunyi, “Selamat, karena telah mengenali dirimu sendiri.”

“Dalam cinta,” kata Jean-Paul Sartre, “satu ditambah satu sama dengan satu.” Karena di situlah dua kepribadian benar-benar menyatu.

Bila Saya Sampai di Surga

Saya akan bertanya, “Tuhan, di mana ruang belajarnya?”

Sabtu, 14 Januari 2012

The History of Love (3)

Bagi cinta, keindahan dan kebenaran, tak ada kematian ataupun perubahan.
Di manakah cinta, keindahan dan kebenaran yang kita cari?
Percy Byshe Shelley


Chapter 3

Dalam hal mempertemukan dua hati anak manusia, alam semesta benar-benar memiliki selera humor yang aneh. Setelah perjumpaan di konter buku itu, mereka berdua jadi lebih akrab, dan mulai intens berkomunikasi. Mereka bertukar nomor ponsel, dan ada banyak malam yang mereka habiskan untuk mengobrolkan banyak hal. Pertemuan demi pertemuan menyenangkan pun mereka nikmati, dan bintang-bintang di langit masih menari.

“Kau tahu,” ujar si laki-laki suatu hari, “dulu aku percaya manusia diciptakan dari tanah liat. Tetapi, setelah bertemu denganmu, aku jadi meragukannya.”

“Kenapa?” tanya si perempuan dengan tertarik.

“Yeah, aku tidak percaya kau diciptakan dari tanah liat. Sepertinya, kau diciptakan dari lilin, atau dari keramik.”

Si perempuan tertawa. Dan, entah mengapa, si laki-laki selalu merasakan debar kebahagiaan setiap kali melihat perempuan itu tertawa bersamanya.

Si laki-laki merasa menemukan perempuan yang tepat, dan si perempuan merasa menemukan laki-laki yang tepat. Orang-orang menyatakan itulah soulmate. Tetapi orang-orang bijaksana tahu, bahwa Adam dan Hawa belum waktunya menikmati surga. Akan ada apel terlarang—dan di situlah letak selera humor aneh alam semesta.


Chapter 4

Hari itu si perempuan berulang tahun, dan mereka berjanji untuk merayakannya berdua. Malam harinya, si laki-laki datang memenuhi janji mereka, dan membawa sesuatu yang ia harapkan dapat membahagiakan si perempuan.

“Apa ini?” tanya si perempuan saat menerima bungkusan yang dibawakan si laki-laki.

Si laki-laki tersenyum. “Bukalah.”

Si perempuan membuka bungkusan itu, dan seketika matanya berbinar. Dua buah buku tergeletak di hadapannya. “Ya Tuhan,” pekiknya lirih. “Sudah lama aku mencari-cari dua buku ini. Bagaimana kau bisa tahu?”

“Ingat waktu kita bertemu di konter buku dulu?” sahut si laki-laki. “Aku melihatmu membeli buku-buku yang ditulis orang itu. Jadi kupikir, kau akan suka dengan dua buku ini.”

“Aku suka sekali!” ucap si perempuan dengan sorot kebahagiaan yang sulit disembunyikan. “Aku sudah mencari-cari dua buku ini kemana-mana, tapi tak pernah ketemu. Di mana kau bisa mendapatkannya?”

Seharusnya aku berbohong, pikir si laki-laki. Tetapi bibirnya sudah menjawab, “Aku… aku mendapatkan dari penerbitnya.”

Perempuan itu mengangguk, kemudian dengan antusias mulai membuka buku itu. Sekali lagi ia terpekik, “Oh, Tuhan! Kau juga mendapatkan tanda tangan penulisnya!”

Aku telah berbuat kesalahan, pikir si laki-laki. “Uh, yeah…”

“Bagaimana… Bagaimana kau bisa melakukannya…?!” si perempuan makin antusias—ia tak pernah membayangkan akan mendapatkan anugerah semacam itu. “Bagaimana kau bisa mendapatkan tanda tangannya?”

Si laki-laki kebingungan. Seharusnya ini tak terjadi, pikirnya. “Aku… yeah, aku menandatanganinya…”

“Kau…?” Detik itulah si perempuan baru menyadari kesalahannya. Potongan demi potongan adegan yang telah mereka lalui selama ini tiba-tiba berhamburan dari memorinya, seperti serombongan kupu-kupu yang beterbangan dari sebuah rumpun bunga. Dan potongan demi potongan adegan itu kini menyatu, mengkristal dalam benaknya, dan menghadirkan kesadaran baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seperti puzzle, kini semua potongan jatuh di tempatnya masing-masing.

“Ya Tuhan!” pekik perempuan itu dengan lirih sambil menatap si laki-laki. “Jadi kaulah orangnya…!”

Si laki-laki tersenyum kikuk menyaksikan ekspresi si perempuan. “Hei, apa yang kaupikirkan sekarang?”

Si perempuan menjawab dengan spontan, “Oh, aku… rasanya aku ingin memelukmu!” Dan ia memang ingin melakukan itu—sejujurnya. Tetapi ketika bangkit dari duduknya, tiba-tiba ia pun teringat seseorang yang lain—seorang laki-laki yang kini jauh darinya, yang telah mengikat mereka berdua dengan sebuah cincin yang kini melekat di jari manisnya.


Chapter 5

Di sudut restoran yang hening, mereka duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja bundar dengan dua lilin redup di atasnya. Pelayan telah mengambil sisa-sisa makan, dan kini dua orang itu tengah saling menatap, mesra, dan si perempuan sedikit salah tingkah.

“Aku tahu,” kata si laki-laki dengan perlahan, “aku tahu tak layak menyatakan hal itu kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu.”

Si perempuan mengangguk. Tampak binar mata yang sulit disembunyikan di lingkar wajahnya.

“Dia pria yang beruntung,” sambung si laki-laki.

“Begitu pun wanita yang kelak akan kautemukan,” sahut si perempuan.

Si laki-laki menggeleng perlahan, dan tersenyum. Ia menyesap sisa minuman di gelasnya, meletakkannya kembali di atas meja, kemudian menatap perempuan di hadapannya.

Betapa perempuan ini telah membuatku jatuh cinta, pikir si laki-laki. Ia tak pernah tahu masih memiliki perasaan itu di hatinya, ia tak pernah yakin akan dapat jatuh cinta lagi. Dan perempuan ini telah membuktikan kepadanya, bahwa ia masih memiliki cinta—dan ia telah memberanikan diri untuk menyatakannya.

Tetapi mereka bertemu pada waktu yang salah, kata si perempuan. Ya, mereka bertemu pada waktu yang keliru, waktu yang seharusnya tidak digunakan alam semesta untuk bermain-main dengan dua hati anak manusia. Si perempuan telah terikat dengan seseorang—dan si laki-laki tahu bahwa dia maupun si perempuan tidak ingin merusakkannya.

“Hei, apa yang kaupikirkan?” ucap si perempuan sambil menyentuh tangan si laki-laki.

Si laki-laki mencoba tersenyum. “Tidak apa-apa.”

“Sepertinya, aku telah banyak bercerita tentang hidupku. Sekarang aku ingin mendengar ceritamu.”

“Kau tidak ingin mendengarnya.”

“Oh, ayolah, aku ingin sekali mendengarnya. Ceritakan tentang dirimu.”

Si laki-laki mendesah tertahan, dan bibirnya bergetar. Ia tahu, cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Jadi ia pun mulai bercerita, dan si perempuan mendengarkannya.

Malam itu, di sudut restoran yang hening itu, si laki-laki merasa terbang ke masa lalu, membongkar kenangan demi kenangan yang telah terkubur debu, dan menuturkannya dengan lancar seolah semuanya tertulis dalam buku. Cerita tentang luka, tentang cinta, tentang kisah kelam dan sejarah panjang… Kisah yang ingin ia kuburkan selamanya, kisah yang sekarang ia bangkitkan dari kuburnya.

Malam itu, bintang-bintang di langit berhenti menari, dan alam semesta berputar ke masa sebelumnya. Si perempuan duduk terpekur di kursinya, bersama nyala lilin yang makin redup di dekatnya, bersama suara si laki-laki yang terdengar makin sayup—mengisahkan sejarah panjang penuh luka...

...sejarah panjang tentang cinta.

The History of Love (2)

Tak ada sesuatu pun yang membuat kita
begitu kesepian melebihi rahasia-rahasia kita.
Oaul Tournier


Dua belas tahun kemudian.

Chapter 1

Mereka bertemu pertama kali di sebuah resepsi perkawinan—begitulah kisah ini dimulai. Convention hall itu penuh sesak oleh tamu undangan, sementara musik orkestra Yanni terdengar lembut melalui loudspeaker, mengiringi seremoni dan acara resepsi. Seharusnya kisah ini tidak terjadi, tetapi seorang perempuan di salah satu sudut ruangan yang terang-benderang itu merasa harus keluar untuk mendapatkan udara segar. Sesuatu sedang berkecamuk di dalam pikirannya.

Perempuan itu melangkah keluar dari ruangan, kemudian berdiri sendirian di teras sambil menikmati hembusan udara malam yang sejuk. Bintang-bintang menari di langit, dan perempuan itu seperti menikmati tarian mereka. Ketika itulah seorang lelaki muncul dari dalam, sambil membawa segelas es krim yang sepertinya ia ambil dari meja prasmanan.

Laki-laki itu melangkah santai sambil asyik menyendok es krim di tangannya, ketika melihat perempuan itu sedang berdiri sendirian. Sendok es krimnya terangkat ke mulutnya, tetapi ia menghentikan suapannya. Lelaki itu seperti tak menyadari ketika es krimnya mulai meleleh, ia bahkan seperti tak sadar ketika mulutnya terbuka, “Hei, di mana sayapmu?”

Perempuan itu menoleh ke arah si laki-laki, dan melihat sesosok wajah yang asing—seseorang yang sedang berdiri menatapnya, dengan tangan memegangi es krim seperti anak kecil. Perempuan itu menyadari pertanyaan tadi ditujukan kepadanya, tetapi dia tidak memahami maksudnya. Jadi ia pun bertanya dengan bingung, “Maaf…?”

Laki-laki itu tersenyum kikuk. “Aku sejak tadi melihatmu di dalam sana,” ujarnya kemudian. “Kupikir, kau pasti turun dari langit untuk menyaksikan acara perkawinan manusia. Jadi, di mana sayapmu?”

Perempuan itu tersenyum. Ia belum pernah mendengar yang seperti itu.

Ketika akhirnya mereka saling berkenalan, dan kemudian duduk berdua di teras depan malam itu, keduanya sama sekali tak menyadari bahwa sesuatu yang amat besar tak lama lagi akan terjadi. Jadi mereka pun bercakap-cakap di sana, sementara dari ruang resepsi terdengar orkestra Yanni sedang memainkan Santorini. Di langit, bintang-bintang masih menari.


Chapter 2

Setelah perjumpaan di malam resepsi perkawinan itu, keduanya tak pernah lagi bertemu atau pun berkomunikasi. Si laki-laki kembali ke dunianya, si perempuan juga kembali ke dunianya. Mungkin mereka bahkan sudah saling melupakan.

Si laki-laki berpikir, “Perempuan seperti dia pasti sudah punya pacar.” Dan si perempuan pun berpikir sama. Jadi mereka kembali menjalani hidupnya sendiri-sendiri, dan pertemuan di malam resepsi itu perlahan mengabur menjadi butir pasir bayang-bayang.

Tetapi orang memang tidak bisa menolak kehendak alam semesta. Dua bulan setelah pertemuan itu, mereka bertemu kembali—dan kali ini di sebuah konter buku di swalayan. Tempat yang sangat tidak tepat, pikir si laki-laki.

Si laki-laki baru melangkah dari elevator ketika tanpa sengaja melihat perempuan itu sedang berdiri sendirian di depan sebuah rak. Kedua kakinya seperti melangkah tanpa sadar ketika ia mendekati si perempuan, dan mereka pun saling menyapa dengan hangat. Kau tahu, alam semesta selalu punya selera humor yang aneh dalam hal-hal seperti ini. Kau akan melihatnya sesaat lagi.

Mereka melangkah perlahan-lahan, menyusuri rak demi rak, sambil bercakap dengan akrab seperti sepasang sahabat yang lama tak berjumpa. Si laki-laki menyadari kesendirian si perempuan, tetapi dia tak menanyakannya. Si perempuan menyadari si laki-laki juga sendiri, tetapi ia pun tak menanyakannya.

“Jadi, kau juga suka baca buku?” tanya si perempuan sambil terus melangkah menuju rak yang diinginkannya.

“Yeah, lumayan,” sahut si laki-laki.

“Siapa penulis favoritmu?”

Seharusnya aku berbohong, pikir si laki-laki. Tapi dia tak sempat melakukannya. Jadi dengan jujur ia menjawab, “Goenawan Mohamad.”

“Oh, berat!” ujar si perempuan dengan muka lucu. “Kalau penulis fiksi?”

“Sheldon. Sidney Sheldon.”

Mereka berhenti di depan salah satu rak buku di sana, dan si perempuan mulai sibuk mencari-cari buku yang diinginkannya. Si laki-laki sedang berencana untuk menanyakan siapa penulis favorit si perempuan, tetapi seketika bibirnya terkunci dan jantungnya berdebar-debar.

Perempuan itu mengambil empat buku dari rak—empat buah buku dengan judul yang berbeda, tetapi ditulis oleh orang yang sama. Dan si laki-laki tahu, nama yang tertera di sampul-sampul buku itu adalah namanya.

Lanjut ke sini.

The History of Love (1)

Aku berkabung untuk keabadian, aku berkabung untuk ia
yang dalam dirinya kutanam dan kupupuk keabadian.
Hèlène Cixous


Prelude

Intinya adalah cara untuk mati, pikir bocah laki-laki itu dengan tekad membulat. Dia sudah menimbangnya berkali-kali, ribuan kali, dalam jaga maupun dalam mimpi, dan pilihannya sudah selesai. Kematian akan mengakhiri segalanya. Tak ada lagi hidup, tak ada lagi depresi.

Tapi intinya adalah cara untuk mati.

Dia tidak tahu cara terbaik untuk mati—karena waktu itu metode bunuh diri belum diunggah ke internet, bahkan internet masih ada dalam dunia fantasi. Jadi dia mencari-cari cara yang ia pikir akan membawanya ke alam kematian, tanpa ribut-ribut, tanpa menunggu waktu lama, dan tentunya juga tanpa rasa sakit. Begitu ini selesai, pikirnya, maka segala yang ia rasakan juga akan selesai.

Jadi, siang itu, saat guru di kelasnya masih mengajar, bocah lelaki itu keluar dari kelas dan menuju halaman belakang sekolah, untuk menemui seorang kawan yang akan memberinya “resep kematian”—suatu istilah yang kelak akan ia tertawakan, bertahun-tahun kemudian.

Di halaman belakang sekolah, tepatnya di belakang sebuah kelas, bocah lelaki itu duduk sendirian sambil menyulut rokok yang telah ia sembunyikan di saku celananya. Bocah-bocah di sekolahnya biasa merokok di situ, begitu pula dirinya. Jadi dia pun duduk, dan merokok, dan menunggu kawannya, dan merasa tak sabar untuk segera meninggalkan dunia.

“Apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku...?” pikirnya sendirian sambil mengisap asap rokoknya. Otak bocahnya berpikir dengan naif, membayangkan semua yang telah terjadi—yang telah ia alami, dari hari ke hari, malam ke malam, serangkaian mimpi-mimpi buruk yang seolah hinggap di kepalanya, bayangan mengerikan yang seolah menari dalam hidupnya...

Aku akan segera mati, pikirnya. Tidak, aku memang ingin mati. Dan itu tak akan lama lagi. Sesaat lagi seseorang akan datang kepadanya dengan membawakan resep kematian yang akan digunakannya untuk mengakhiri hidup—mengakhiri semua mimpi buruk ini. Tak ada lagi depresi, kegelapan, bayang hitam yang beriak dalam kolam...

Suara langkah datang terdengar, dan bocah laki-laki itu bersiap menyambut kawannya. Yang datang adalah bocah laki-laki satu sekolahnya, seorang kawan karib yang bersimpati atas nasibnya. Bocah itulah yang akan memberikan cara terbaik untuk mati.

“Ada guru BP, buang rokokmu!” bisik bocah lain itu—suatu kode yang telah dipahami oleh semua bocah nakal yang biasa merokok di tempat itu.

Bocah lelaki itu pun membuang rokoknya ke lorong di depannya. Rokok yang masih panjang dan menyala itu terbang sesaat di udara, kemudian jatuh ke tanah, beberapa meter jauhnya dari tempat si bocah laki-laki. Tapi nyala apinya tidak mati, dan asap masih mengepul dari ujungnya.

Celaka, pikir si bocah. Maka dia pun melangkah mendekati rokok yang telah dibuangnya itu, dengan tujuan untuk mematikan apinya, dan melenyapkan asapnya. Tapi dia melakukan kesalahan besar.

Tanpa sengaja, bocah lelaki itu menoleh ke jendela kaca di dekatnya, dan mendapati sebuah kelas yang hening. Murid-murid di kelas itu sedang khusyuk mendengarkan guru di depan kelas, dan bocah lelaki itu tiba-tiba berdiri mematung di sana—tak bergerak, tak bernapas, terlupa segalanya. Sementara rokok yang dibuangnya masih menyala, dan asap masih mengepul di udara.

Di balik jendela kaca yang buram itu, si bocah lelaki menyaksikan keindahan paling menakjubkan yang belum pernah disaksikannya. Sesosok perempuan sedang menatap ke depan, mendengarkan gurunya—seraut wajah yang membuat si bocah laki-laki terlupa pada hidupnya sendiri—sebalut kelembutan yang tiba-tiba menyingkirkan semua bayang mimpi buruk dalam kehidupannya. Dan, detik itu, tiba-tiba ia terlupa pada keinginannya untuk mati.

Siapa perempuan ini, batinnya dengan galau. Dia tidak tahu, dia baru melihatnya hari itu. Tetapi, bocah lelaki itu tahu, bahwa dia ingin melihatnya lagi, melihatnya lagi, melihatnya lagi...

“Hei, kau...!” teriakan itu terdengar dari arah belakangnya, suara serak lelaki guru BP yang telah ia hafal karena begitu terbiasa. Bocah lelaki itu menoleh ke arah datangnya suara, dan menyaksikan wajah menyeramkan yang telah sangat ia hafal. Ia tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Tapi ia tak peduli.

Si guru BP berteriak, “Ambil dan bawa rokokmu itu, bocah nakal! Datang ke ruang BP sekarang juga!”

Bahkan ke neraka pun aku akan datang, pikir si bocah lelaki, selama aku masih bisa melihat perempuan itu...

Lanjut ke sini.

Opposite Attract

Jatuh cinta kepadamu adalah kesalahan
Mencintaimu adalah kesalahan besar

Tetapi,
aku tahu,
itu kesalahan terbaik yang pernah kulakukan

Jumat, 06 Januari 2012

Pil: Sebuah Pengakuan Horor

Sang tabib dengan sangat hati-hati akan menyiapkan suatu ramuan
dari kotoran buaya, daging kadal, darah kelelawar, dan ludah unta.
dari sebuah papirus yang mencatat 811 resep obat
yang dipakai bangsa Mesir, 1550 SM


Pil adalah horor bagi saya. Pertama, saya tidak suka pil. Kedua, saya tidak suka rasa pil yang selalu pahit. Dan ketiga—jangan tertawa—saya tidak bisa menelan pil!

Yang menjadi masalah, mau tak mau saya harus terus menelan pil—setiap hari. Selama bertahun-tahun, saya mencoba menahan kesabaran untuk memendam dan menyimpan kisah horor ini hanya untuk diri sendiri. Tapi sekarang saya tidak kuat lagi. Jadi sekarang saya menulis catatan ini.

Sedari kecil, saya tidak pernah bisa menelan pil. Dan “cacat” itu terus terbawa sampai dewasa, sampai sekarang. Mungkin ini terdengar lucu, tapi sungguh horor bagi saya. Sebegitu horor, sampai-sampai saya pernah berpikir lebih baik ditembak daripada harus menelan pil.

Ketika SMA, saya mulai menyadari “cacat” itu, dan benar-benar iri ketika melihat teman-teman bisa dengan mudah menelan pil ketika demam, meriang, atau sakit kepala. Ketika butuh mengonsumsi pil, mereka bisa begitu enjoy. Mereka masukkan pil ke dalam mulut, kemudian meminum segelas air, dan selesai. Pil itu sudah masuk kerongkongan, lalu tenggelam dalam perut, untuk melaksanakan tugasnya.

Lhah saya…???

Kalau perlu mengonsumi pil, saya harus mengunyahnya. Saya ulangi, mengunyahnya! Setelah pil hancur dalam mulut, saya baru bisa menelannya. Itu pekerjaan yang amat berat, apalagi kalau pil itu sangat-sangat pahit, dan saya ragu kalau Superman sekali pun mampu melakukannya.

Mengapa saya harus mengunyah pil yang perlu dikonsumsi? Ya itu tadi, karena saya tidak bisa menelan pil!

Puluhan atau bahkan ratusan orang pernah mengajari tentang cara menelan pil dalam berbagai versi—mungkin karena mereka tidak tega menyaksikan saya harus tersiksa dan menderita setiap kali mengonsumsi pil. Tetapi, tak peduli sebanyak apa pun resep yang diberikan, saya tetap belum pernah bisa menelan pil.

Tetangga saya pernah menyarankan, “Coba kamu makan pisang, kemudian letakkan pil di lidahmu ketika pisang yang kamu kunyah sudah halus. Nanti pil itu akan masuk sendiri waktu kamu menelan pisangnya.”

Itu resep paling umum dalam hal “pelajaran menelan pil yang baik dan efektif”. Tapi saya menghadapi masalah besar di sini. Saya tidak doyan pisang!

Ketika saya nyatakan hal itu pada si tetangga, dia tertawa. “Oh iya, aku lupa. Kamu doyannya roti kan, ya? Nah, coba kamu makan roti sampai halus, kemudian letakkan pil di lidahmu sewaktu akan menelan roti dalam mulut.”

Oke, saya makan roti seperti yang disarankan. Setelah roti yang saya kunyah terasa halus, saya masukkan pil ke mulut, dan mencoba menelannya bersama roti. Untuk memudahkan prosesnya, saya pun meminum segelas air. Si roti sukses masuk kerongkongan. Sementara si pil asyik berenang! Begitu roti dan air sudah hilang, pil sialan itu masih ada di mulut. Usaha ini gagal total!

Berbagai resep, tip, dan kiat-kiat lain seputar “cara menelan pil” sudah saya coba, tapi tidak ada satu pun yang berhasil. Akhirnya, karena putus asa, saya pun nekat. Ketika perlu mengonsumsi pil, saya tidak lagi berharap dapat menelannya. Jadi saya pun langsung mengunyahnya. Pertama kali melakukan hal itu, saya muntah-muntah campur guling-guling campur maki-maki. Mengunyah pil adalah hal terakhir yang ingin kaulakukan di dunia ini.

Itu sangat menyiksa, karena ketika pil pecah dalam mulutmu, rasa pahitnya segera menyebar di lidah, kerongkongan, dan langit-langit mulutmu. Jika kadar kepahitan pil itu tergolong tinggi, perutmu akan terasa diaduk-aduk, dan—entah bagaimana caranya—isi perutmu tiba-tiba naik ke atas, dan kau muntah tanpa terkendali. Percayalah, itu bukan pengalaman atau pemandangan yang seksi.

Nah, yang jadi masalah dalam hal ini, mau tak mau saya harus mengonsumsi pil. Karena sakit kepala yang sering saya alami, setiap hari saya harus mengonsumsi dua sampai delapan butir pil—tergantung kebutuhan setiap hari. Secara rata-rata, saya harus mengonsumsi empat butir pil per hari. Itu telah dimulai bertahun-tahun lalu, sejak awal kuliah, dan sepertinya juga harus saya lakukan hingga bertahun-tahun mendatang.

Jadi, setiap hari saya harus menghadapi horor yang sama, dan berulang-ulang—mengunyah pil yang sama, dan merasakan pahit yang benar-benar menyiksa. Karena “tidak tahan” dengan siksaan semacam itu, saya pun memikirkan berbagai upaya untuk dapat menetralisir atau setidaknya mengurangi kadar kepahitan yang harus saya rasakan—dari cara-cara ilmiah sampai cara-cara yang nakal.

Berdasarkan perspektif biokimia, kita tahu bahwa manusia dapat “memanipulasi” indranya. Ketika kita mengunyah apel, misalnya, yang paling berperan dalam merasakan buah apel sesungguhnya bukan lidah (indra pengecap), melainkan hidung (indra penciuman). Kita merasakan rasa apel dalam mulut, karena sebelumnya hidung telah memberitahu otak bahwa itu apel (berdasarkan indra penciumannya).

Jika ingin membuktikan pemaparan di atas, cobalah ambil buah pir dan buah apel, kemudian irislah keduanya. Letakkan irisan pir di dekat hidung sampai kita membaui aroma pir, kemudian makanlah irisan apel. Hampir dapat dipastikan kita akan merasakan pir di dalam mulut, meski jelas-jelas kita mengunyah apel. So, manusia bisa memanipulasi indranya sendiri.

Berdasarkan hal itu, saya memikirkan benda lain yang mirip pil, namun memiliki aroma yang segar atau menyenangkan. Saya ingin memanipulasi indra saya, sehingga bisa mengunyah pil tapi tidak merasakan pahit. Setelah cukup lama mencari-cari yang dapat dianggap tepat, akhirnya saya menemukan kue citrun. Kue kecil ini memiliki aroma yang enak karena rasanya kecut-segar—biasanya dijual dalam bentuk kecil-kecil dan kering.

Dengan semangat membara, saya mencoba eksperimen itu. Saya letakkan citrun di depan hidung, membaui aromanya yang segar, kemudian memasukkan pil ke dalam mulut, mengunyahnya, dan… anjrit! Pil itu tetap terasa pahit!

Mengapa ini bisa terjadi? Berdasarkan yang saya pelajari, seharusnya saya tidak merasakan pahit pil sialan itu karena indra penciuman sudah mengirimkan pesan ke otak bahwa itu bau citrun. Seharusnya pula, otak memerintahkan lidah sebagai indra perasa agar merasakan kue citrun. Tapi mengapa saya gagal? Mengapa rasa pahit pil itu tetap terasa?

Karena kebingungan dan merasa buntu, saya menanyakan hal tersebut pada orang yang ahli. Kata si ahli, “Kamu bisa memanipulasi indramu, jika memorimu belum hafal pada rasa suatu benda. Dalam kasus apel, misalnya, eksperimen itu akan berhasil jika kita hanya sesekali memakan apel. Tapi orang yang setiap hari makan apel mungkin akan gagal. Artinya, meski indra penciumannya mengenali aroma pir, tapi lidahnya—memori kecapnya—sudah hafal rasa apel, sehingga tidak bisa dibohongi. Dalam kasusmu, memori kecapmu sudah hafal rasa pil itu, karena kamu mengonsumsinya setiap hari. Akibatnya, meski hidungmu mencium aroma citrun yang segar, lidahmu tetap merasakan pahit pil.”

Saya bengong.

Beberapa hari kemudian, saya mencari cara lain untuk menetralisir rasa pahit dalam pil. Kali ini ide nakal. Bagaimana kalau pil sialan itu dihancurkan sampai lembut, kemudian ditaburkan atau disusupkan ke dalam es krim? Okelah, kalau es krim mungkin terdengar “revolusioner”, bagaimana kalau pil itu dicampurkan ke dalam makanan yang enak, semisal disatukan bersama bumbu capcay?

Ketika saya mengonsultasikan hal ini pada yang ahli, dia menjelaskan, “Mungkin memang rasa pahit pil tidak akan terasa lagi kalau kamu memakannya bersama es krim atau capcay. Tapi khasiatnya juga akan hilang.”

“Kok bisa?” tanya saya dengan idiot.

“Iyalah, karena bahan-bahan dalam pil itu kemungkinan besar telah dinetralkan oleh bahan-bahan lain yang ada dalam es krim atau capcay. Artinya, meski secara materi pil itu masuk ke dalam tubuhmu, tetapi khasiatnya sudah hilang.”

“Ehmm… bisa kasih rekomendasi makanan apa yang sekiranya bisa digunakan untuk tujuan ini?”

Dia menggeleng dengan sedih. “Tidak ada. Mau tak mau kamu harus menelannya. Dan karena kamu tidak bisa, yeah… mungkin kamu memang harus mengunyahnya.”

Ngomong itu mudah, batin saya. Tapi mengunyah pil tidak semudah kedengarannya. Karena itu, seiring hari-hari penuh kegilaan karena harus terus mengunyah pil, saya pun terus mencari-cari cara lain untuk dapat mengatasi rasa pahitnya. Hingga suatu hari…

....
....

Uh, sori. Ternyata catatan ini sudah sangat panjang. Jadi saya cukupkan dulu di sini, nanti disambung di post lain—kalau saya tidak lupa. :)

Seperti Apa sih Wanita yang Hebat?

Wanita hebat adalah wanita yang sadar—sesadar-sadarnya—bahwa jalan raya bukan milik neneknya.

Senin, 02 Januari 2012

Cowok-cowok Idiot (2)

Akhirnya saya menyadari, kalau belakangan ini tulisan-tulisan saya terkesan berat terus—seperti yang diproteskan sebagian kalian. So, posting kali ini sengaja saya tulis untuk hiburan. Semoga kalian suka. :D

***

Di ujung komplek yang ditinggali Jonah, ada tetangga baru—keluarga Pak Usman. Jonah tidak bermasalah dengan keluarga Pak Usman yang baru tersebut. Cuma, yang jadi masalah, Pak Usman punya seekor burung kakatua yang diletakkan di teras rumah. Nah, setiap pagi, kalau Jonah sedang berjalan ke luar kompleknya saat akan kuliah, si kakatua itu akan menyapa Jonah dengan kata-kata yang sungguh biadab.

“Hei, Cowok...” begitu sapa kakatua itu. Kemudian, si kakatua akan melanjutkan, “Kamu bener-bener jelek! Nggak gaul! Nggak funky! Aneh, dan pasti sinting...!!!”

Pertama kali mendengar celoteh yang tak beradab itu, Jonah cuma kaget. Kedua kalinya, Jonah nyengir. Ketiga kalinya, Jonah ketawa. Keempat kalinya, Jonah mencoba memaklumi kalau itu burung. Kelima kalinya, Jonah mencoba berbesar hati. Keenam kalinya, Jonah mencoba bersabar. Ketujuh kalinya, Jonah mencoba mengikhlaskan. Tetapi kesejuta kalinya, Jonah merasa tidak tahan lagi.

Yang paling membuat Jonah dongkol, burung kakatua itu hanya menyapa seperti itu kepadanya. Pada orang-orang lain yang lewat, kakatua itu hanya diam, atau berceloteh sendiri.

Karena dongkol dan merasa diejek terus-menerus setiap hari, Jonah kemudian mendatangi Pak Usman, pemilik burung itu, dan memintanya untuk mengajari si burung agar tahu sopan-santun dan sedikit tata krama.

Pak Usman, yang merasa orang baru di komplek itu, menerima Jonah dengan senyum ramah, dan menjanjikan untuk ‘menasihati’ si burung agar lebih bisa menjaga ucapannya.

Keesokan harinya, saat akan kuliah, Jonah kembali berjalan melewati depan rumah Pak Usman, dan burung kakatua itu juga telah nangkring di sana seperti biasa.

Kali ini, si kakatua menyapa Jonah dengan manis, “Hei, Cowok...” Setelah diam sejenak, kakatua itu melanjutkan, “Ah, kamu udah tahu kata-kata selanjutnya, kan...?”

***

Dosen yang mengajar di kelas pagi itu benar-benar marah ketika melihat Abigail terlambat lagi. Itu keterlambatan Abigail yang keempat kali. Karenanya, begitu melihat jasad Abigail memasuki kelas dengan tampang tak berdosa, sang dosen pun tak sanggup lagi menahan hawa nafsu amarahnya.

“Saya menghitung sudah empat kali kamu terlambat masuk mata kuliah saya!” sembur si dosen. “Kamu kan tahu kontrak belajar kita—setiap mahasiswa dilarang terlambat masuk kelas! Tapi kamu sudah melakukannya sampai empat kali. Dulu kamu bilang mobilmu mogok, jadi kamu terlambat. Lalu beralasan tak mendapat bus hingga terlambat lagi. Kemarin kamu bilang jalanan macet, dan terlambat lagi! Sekarang mau pakai alasan apa lagi...???”

“Mmm... begini, Pak,” sahut Abigail dengan tampang innocent. “Saya tuh tadi nggak bawa mobil, karena takut mogok lagi. Saya juga takut ketinggalan bus lagi, jadi saya nggak naik bus. Dan... hmm... saya juga takut jalan yang biasa saya lewati macet lagi. Makanya saya lalu jalan kaki, dan mengambil arah jalan yang lain. Nggak tahunya saya malah nyasar sampai jauh...”

***

Di kelas, sang dosen tengah asyik membicarakan perkembangan teknologi dewasa ini dengan gaya berapi-api, sementara para mahasiswa tampak terkantuk-kantuk di kursinya masing-masing.

Karena merasakan suasana kelas terlalu hening, sang dosen kemudian mencoba bertanya pada salah satu mahasiswa untuk membuat suasana kelas agar tak terlalu sunyi.

“Valent,” katanya menunjuk salah satu mahasiswa yang terlihat hampir lelap di kursinya, “coba berikan contoh kasus yang bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang disebut loncatan atau lompatan teknologi.”

Mendengar pertanyaannya saja, Valentino merasa ingin pingsan. Tapi ia harus menjawab. Karenanya, ia mencoba mencari sesuatu yang bisa dikatakannya. “Hmm... mesin ketik, komputer, dan internet!” jawabnya kemudian.

“Tepat sekali!” puji sang dosen sambil mengangguk-angguk senang. “Nah, sekarang terangkan alasannya, biar teman-temanmu mengetahui mengapa ketiga hal yang kamu sebutkan itu bisa dianggap lompatan teknologi di zaman ini.”

Valentino menggaruk-garuk kepalanya, kemudian berkata dengan gugup, “Itulah masalahnya, Pak. Saya juga bingung. Bagaimana mungkin mesin ketik kok bisa melompat? Memangnya kodok...?”

***

Jarang ada mahasiswa yang suka Pak Bono, salah satu dosen di kampus mereka yang terkenal killer dan berkepala botak depan-belakang. Karenanya, setiap kali Pak Bono mengajar, lebih banyak mahasiswa yang mendiskusikan botaknya itu daripada mendengarkan ceramah kuliahnya. Seperti hari itu....

“Menurut orang-orang,” bisik Abigail pada Jonah di depannya, “botak di depan itu artinya tukang mikir. Kalau botak di belakang, artinya orang pintar. Nah, Pak Bono kan botak depan-belakang. Menurutmu, apa artinya itu, Jo?”

“Artinya dia pikir dia pintar!” sahut Jonah.

***

Seperti biasa, kalau Pak Bono belum masuk ruangan, kelas ramainya seperti kandang bebek dicampur pasar ayam. Tapi begitu si dosen killer itu masuk, kelas pun jadi sepi seperti kuburan angker digabung makam pahlawan.

Ketika melihat Pak Bono mulai masuk kelas dan duduk di kursinya, Jonah dan kawan-kawan sekelasnya pun buru-buru menduduki kursinya masing-masing, dan berusaha diam. Tapi seperti biasa, beberapa mahasiswa terlihat kasak-kusuk dengan teman-teman di samping dan di depannya.

“Ssst, dosen kita hari ini tampangnya kayak onta, ya?” bisik Jonah.

Valentino yang dibisiki itu langsung senyum-senyum, dan menyahut, “Kalau menurutku sih kayak kuda nil.”

Dari arah belakang, Abigail menyahut, “Kalau menurutku nih, hari ini tuh dosen kayak badak!”

Tiba-tiba si dosen killer bangkit dari duduknya, dan menatap para mahasiswa dengan tampang seangker kuburan paling angker.

Karena merasa bersalah, dan karena yakin si dosen telah mendengar kasak-kusuk mereka, Jonah segera saja menyatakan, “Bukan saya, Pak. Sungguh! Palatino tadi yang bilang...!”

“Bukan, Pak!” sahut Valentino. “Jonah dulu yang mulai.”

“Jangan percaya, Pak!” timpal Jonah. “Palatino sama Abigail duluan yang mulai, terus saya terpengaruh!”

Si dosen killer menatap mereka tanpa berkedip, kemudian berteriak, “Saya tidak mau tahu! Saya cuma mau tanya, siapa yang telah menaruh permen karet di kursi saya...???”

***

Ketika acara kuliah tengah berlangsung, Jonah terlihat asyik bermain-main sendiri dengan sesuatu di jari-jarinya. Valentino yang duduk di sebelahnya jadi tertarik, dan berbisik pada Jonah.

“Jo, apa sih yang kamu pilin-pilin itu?”

“Nggak tahu nih, Pal,” sahut Jonah. “Kalau dilihat bentuknya sih kayak plastik, tapi kalau dipegang kok rasanya seperti karet.”

“Coba lihat.”

Jonah pun memberikan benda aneh itu, dan Valentino memperhatikannya.

“Seperti plastik, kan?” tanya Jonah. “Coba dipilin...”

“Iya Jo, bener,” ujar Valentino sambil memain-mainkan benda itu di jarinya. “Kok aneh sekali ya, Jo? Benda apa ini sebenarnya...?”

Bisik-bisik dua bocah itu terdengar oleh dosen yang tengah mengajar di depan kelas. Sang dosen segera saja menghentikan kuliahnya, dan menatap ke arah Jonah dan Valentino.

“Apa yang sedang kalian lakukan...?!” tanya sang dosen.

“Ng... ini, Pak,” sahut Valentino. “Jonah menemukan sesuatu yang aneh...”

“Sesuatu yang aneh apa?” Sang dosen jadi tertarik. Ia lalu melangkah menuju tempat duduk Jonah dan Valentino.

“Coba lihat nih,” kata Valentino sambil memperlihatkan sesuatu di tangannya pada sang dosen.

“Apa itu, Val?”

“Ya itulah, Pak,” sahut Valentino. “Sejak tadi kami sedang mempelajari benda apakah ini.”

“Coba lihat,” pinta sang dosen. Valentino pun memberikan benda di tangannya, dan kini sang dosen tampak mempelajarinya.

“Kalau dilihat, bentuknya seperti plastik, Pak,” kata Valentino menerangkan. “Tapi kalau dipilin, rasanya kok seperti karet. Coba dipilin, Pak...”

Sang dosen pun melakukannya. “Benar, ya...” ucapnya kemudian dengan heran. “Siapa tadi yang menemukannya?”

“Jonah, Pak,” sahut Valentino dengan nada membanggakan kawannya.

Sang dosen pun berpaling ke arah Jonah dan bertanya, “Jo, dari mana kamu bisa mendapatkan benda yang aneh seperti ini?”

“Ngg... dari hidung, Pak.”


Kisah-kisah lain tentang mereka bisa dibaca di sini.

Satu-satunya Hal yang Kuinginkan Saat Ini

Tidur.

….
….

Oh ya, satu lagi. Makan batagor!

….
….

Persoalannya sekarang, bagaimana caranya bisa tidur sambil makan batagor?

 
;