Sabtu, 28 Maret 2015

Kasus Bajingan Saut Situmorang

“Saut bukan kriminal, ia adalah pengkritik yang ingin
melindungi sastra Indonesia dari manipulasi uang dan
kepentingan lain yang mencemarkan sastra Indonesia.”
Irwan Bajang kepada Merdeka.Com


Saut Situmorang (seorang lelaki) menyebut kata “bajingan” di Facebook, yang ditujukan untuk Fatin Hamama (seorang perempuan), dan dia dipolisikan. Atas laporan Fatin, tempo hari Saut dijemput polisi untuk—sesuai istilah mereka—diperiksa sebagai saksi. Penjemputan (atau penangkapan) Saut tersebut dilakukan karena Saut dinilai telah mencemarkan nama baik atau melecehkan Fatin secara verbal.

Sekilas, kasus itu sangat mudah terlihat, bahkan mudah disimpulkan. Orang yang tidak tahu duduk persoalannya pasti akan langsung menyalahkan Saut. Bagaimana bisa seorang lelaki memaki bajingan kepada seorang wanita? Tentu wajar kalau si wanita tidak terima, kemudian melaporkannya kepada polisi. Sangat mudah terlihat, bahkan mudah disimpulkan—dan itulah bahayanya.

Meski Saut baru berurusan dengan polisi untuk kasus tersebut pada 26 Maret 2015 kemarin, namun sebenarnya kasus itu telah dimulai jauh-jauh hari, setidaknya sejak satu tahun yang lalu. Akar masalahnya adalah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang diluncurkan di Jakarta, 3 Januari 2014.

Buku itu, sebagaimana judulnya, memuat profil 33 orang yang dinilai memiliki peran penting dan berpengaruh dalam sastra Indonesia, yang salah satunya adalah Denny JA. Keberadaan Denny JA dalam buku itu menyulut kontroversi—khususnya di kalangan sastrawan dan pegiat sastra—dan Saut termasuk yang paling galak dalam menentang penerbitan buku tersebut karena dinilai manipulatif. Saut bahkan aktif “mengamuk” di laman Facebook yang dinamai Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, dan di laman itulah sebutan “bajingan” tadi muncul.

Bagi yang belum tahu masalah ini, mungkin bertanya-tanya, “Kenapa keberadaan Denny JA dalam daftar itu harus dipersoalkan?” Izinkan saya menjelaskannya, sesuai dengan banyak artikel yang pernah saya baca mengenai hal ini.

Denny JA adalah pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dan sebelumnya sama sekali tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan dunia sastra Indonesia—setidaknya khalayak umum tidak tahu. Kemudian, suatu hari, Denny JA membuat cukup banyak puisi yang ia sebut “puisi-esai”. Dia mengklaim bahwa itu merupakan genre baru dalam dunia perpuisian Indonesia.

Untuk mempopulerkan “puisi-esai” karyanya, Denny JA membuat web khusus yang membahas puisi-puisinya, bahkan mengadakan lomba menulis “puisi-esai” dengan hadiah menggiurkan, seiring meminta beberapa pihak untuk membuat resensi atau ulasan bagi puisinya. Denny JA juga meminta orang-orang yang terkenal sebagai penyair—salah satunya Ahmadun Yosi Herfanda—untuk membuat “puisi-esai” seperti yang ia tulis.

Masih belum cukup, dia juga mengundang tokoh-tokoh sastra Indonesia untuk membacakan puisi-puisi karyanya, diiringi koreografi dan direkam video yang dipublikasikan di web-nya. Salah satu orang yang ikut membacakan puisi karya Denny JA adalah Sutardji Calzoum Bachri.

Setelah semua ingar-bingar itu, terbitlah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, yang di dalamnya terdapat nama Denny JA sebagai salah satu tokoh sastra. Dia dianggap sejajar Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan WS Rendra. Keberadaan nama Denny JA dalam buku itu karena dinilai mempopulerkan genre baru yang disebut “puisi-esai”, bahkan dianggap berpengaruh karena banyak orang ikut membuat “puisi-esai” seperti dirinya. Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia disusun oleh sekelompok orang yang menyebut diri Tim 8, yang salah satunya adalah Maman S. Mahayana.

Yang kemudian memantik kontroversi dan penentangan banyak orang terhadap buku tersebut bukan hanya karena masuknya Denny JA ke dalam daftar itu, melainkan juga karena semua aktivitas yang berhubungan dengan “puisi-esai” Denny JA disinyalir berkaitan dengan pendanaan yang dikeluarkan oleh Denny JA. Dengan kata lain, Denny JA sengaja membiayai semua aktivitas dan upaya mempopulerkan puisinya, demi tujuan menempatkan dirinya sendiri ke dalam daftar yang disebut “tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh”.

Kenyataannya, belakangan terungkap bahwa semua proyek yang terkait dengan “puisi-esai” memang melibatkan uang—yang disinyalir dari—Denny JA. Ahmadun Yosi Herfanda, salah satu orang yang ikut menulis “puisi-esai” ala Denny JA, mengaku dibayar Rp. 10 juta untuk menulis puisi tersebut. Dia kemudian menyesali keputusannya, dan mengembalikan bayaran yang telah ia terima. Berikut ini pengakuan Ahmadun, yang saya kutip dari Merdeka.Com:

Saya sangat malu dan menyesal ikut menuruti “pesanan” Denny JA lewat Fatin Hamama untuk menulis puisi esai. Sebab, menulis puisi esai bukanlah pilihan hati nurani saya sebagai penyair, tapi lebih karena pesanan dan godaan honor yang besar. Saya menyesal, karena telah menulis puisi esai hanya demi uang; suatu orientasi penciptaan atau motivasi yang rendah dalam bersastra.

Semula sebenarnya saya sempat menolak keras ketika diminta Dennya JA lewat Fatin Hamama untuk menulis puisi esai, karena sudah mencium bakal adanya politisasi sastra dengan gelagat yang kurang sehat. Selain itu, dengan memenuhi pesanan puisi jenis WOT (wrote on demand) ditulis berdasarkan pesanan—itu sama saja dengan “melacurkan diri” dalam sastra.

Ternyara dugaan saya benar. Denny JA kini mulai mempolitisasi puisi esai karya 23 penyair Indonesia penerima pesanan itu yang akan segera diterbitkan (termasuk karya saya, Isbedy Stiawan ZS, Agus Nur, Sujiwo Tejo, Zawawi Imron, Kurnia Effendi, Fatin Hamama, Sihar Ramses Simatupang, Dad Murniah, dan Chavcay Syaifullah).


Ada kesan kuat, bahwa Denny ingin menempatkan kami sebagai para pengikutnya dalam mazhab puisi esai yang diklaim sebagai idenya untuk memperkuat politik sastra Tim 8 yang menempatkan Denny sebagai salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh dan mengundang kontroversi. (Selengkapnya, bisa dibaca di sini.)

Chavcay Saifullah dan Sihar Ramses Simatupang, penyair lain yang juga diminta menulis “puisi-esai”, juga mengaku dibayar, dan Sihar belakangan mengembalikan bayarannya akibat menyesal. Sementara Maman S. Mahayana, sastrawan yang ikut menyusun buku 33 Tokoh Sastra Indonesia, juga mengakui bahwa ia dibayar untuk keterlibatannya dalam proyek penyusunan buku tersebut. Dia bahkan secara terang-terangan menyatakan buku itu merupakan proyek pesanan Denny JA. Maman dibayar Rp. 25 juta untuk penulisan 5 artikel dalam buku tersebut, dan menyatakan akan mengembalikan uang yang telah ia terima.

Pengakuan-pengakuan itu mengerucut pada simpulan, bahwa penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia adalah proyek yang didanai Denny JA. Menggunakan bahasa yang lugas, buku 33 Tokoh Sastra Indonesia adalah buku yang cenderung manipulatif dan berpotensi berbahaya, khususnya bagi masa depan sastra Indonesia. Karena latar belakang pemikiran seperti itulah para sastrawan Indonesia, termasuk Saut Situmorang, memprotes penerbitan buku tersebut.

Lalu apa kaitan semua itu dengan Fatin Hamama? Berdasarkan banyak artikel dan berita yang saya baca, Fatin bertindak sebagai “perantara” antara Denny JA dan orang-orang yang terlibat dalam proyek itu. Fatinlah yang menghubungi orang-orang yang kemudian diminta untuk ikut “berpartisipasi” dalam proyek “puisi-esai”. Bahkan, ketika Ahmadun Yosi Herfanda mengembalikan uang (bayaran) yang telah diterimanya, dia mengembalikan uang itu lewat Fatin.

Jadi, ketika Saut Situmorang menyebut kata “bajingan” di Facebook, umpatan itu sebenarnya tidak ditujukan kepada Fatin secara personal, melainkan lebih tertuju kepada proyek buku 33 Tokoh Sastra Indonesia yang kebetulan melibatkan Fatin—meski Fatin beberapa kali menyatakan dirinya tak terlibat. Dengan kata lain, sasaran kemarahan Saut sebenarnya bukan Fatin sebagai pribadi, melainkan proyek buku 33 Tokoh Sastra Indonesia yang dinilai memanipulasi sejarah sastra Indonesia.

Lebih dari itu, Saut juga sudah lama terkenal dengan ucapan atau ungkapan kasar dan blak-blakan, khususnya untuk soal-soal yang tidak ia setujui. Artinya, terlepas orang yang terlibat dalam polemik itu Fatin Hamama atau orang lain, Saut akan tetap menyatakan umpatan itu. Jadi sebenarnya bisa dibilang tidak ada persoalan gender di sini—sehingga tuduhan pelecehan terhadap wanita tidak perlu dibesar-besarkan—karena kasus Saut murni urusan polemik sastra.

Bahkan, sebenarnya, yang lebih penting untuk diurus dalam “kasus bajingan” ini bukan umpatan Saut Situmorang, melainkan kredibilitas dan keabsahan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia yang telanjur terbit dan beredar. Bagaimana pun, buku itu memiliki potensi mengkhawatirkan di masa depan—karena cenderung manipulatif—sebagaimana yang dikhawatirkan banyak orang. Saut sudah lama meminta adanya diskusi dan klarifikasi atas penerbitan buku itu, tapi permintaannya tak pernah ditanggapi.

Katrin Bandel, kritikus sastra dan istri Saut Situmorang, menyatakan pikirannya secara objektif menyangkut hal itu:

Kelewat lugu sekali kalau pendanaan tidak dipersoalkan, dan kalau kita tidak mempertanyakan asal usul perayaan terhadap “pengaruh” Denny JA yang demikian tiba-tiba.

Bukankah tampak sekali betapa “pengaruh” itu diciptakan dengan sengaja lewat lomba berhadiah menggiurkan, dan dengan menawarkan honor dalam jumlah yang cukup tinggi untuk ukuran dunia sastra di Indonesia pada sejumlah sastrawan ternama agar mereka menulis “puisi esai”? Dengan kata lain, cukup jelas bahwa rangkaian peristiwa itu tidak terjadi “kebetulan” begitu saja, tapi ada skenarionya.
(Selengkapnya, bisa dibaca di sini.)

Akhirnya, yang dikhawatirkan banyak orang atas kasus Saut baru-baru ini adalah upaya pengalihan isu dari polemik sastra menjadi urusan personal. Dengan dipolisikannya Saut, fokus banyak orang akan tertuju pada kasusnya, dan melupakan kasus sebenarnya, yaitu polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia. Padahal, kasus Saut tidak akan muncul, kalau saja tidak ada kasus buku itu sebelumnya.

Karena itulah, seperti yang saya nyatakan di awal catatan ini, kasus pemolisian Saut sangat jelas dan mudah disimpulkan, khususnya bagi orang yang tidak tahu akar persoalannya. Karena itu pula, melihat masalah ini tidak bisa per kasus. Untuk dapat bersikap adil dan objektif terhadap Saut, kita harus melihat dan mempelajari keseluruhan masalahnya. Kita tidak bisa menghakimi Saut semata atas teks yang dinyatakannya, tanpa memahami keseluruhan konteks yang melatarbelakanginya.

In the end, saya menulis catatan ini tidak dengan maksud apa pun, selain hanya menyampaikan kegelisahan. Omong-omong, saya bukan teman Saut Situmorang—kami bahkan tidak saling kenal. Karenanya, siapa pun tidak bisa menuduh saya sedang “membela teman”.

Kisah Cinta Paling Ngehek di Dunia

Aku bahagia bersama pasanganku.

Padahal tidak.

Tamat.

Senin, 23 Maret 2015

Naik dan Turun

Naik dan turun, terbit dan tenggelam, dipuja dan dilupakan,
berubah dan berganti, biasa saja... hidup memang begitu.
@noffret


Pemukiman tempat saya tinggal bukan komplek modern, melainkan perumahan tradisional. Karenanya, masih cukup banyak bangunan kuno yang berdiri di sana, dan rumah-rumah kuno itu bisa dikenali karena memiliki ciri khas. Rata-rata rumah kuno berukuran besar, dengan bentuk sederhana namun kokoh, dan lantainya sangat tinggi—sekitar 1 meter dari tanah.

Karena lantai rumah-rumah itu tinggi, di depan rumah pun biasanya dibuat undak-undakan. Jika saya perhatikan, umumnya rumah-rumah kuno di komplek saya memiliki empat sampai enam undakan. Bandingkan dengan rumah-rumah modern yang biasanya memiliki lantai nyaris rata dengan tanah tempat dibangunnya.

Dulu, saya berpikir lantai rumah-rumah kuno sengaja dibuat tinggi untuk menghindari banjir, agar rumah tidak kemasukan air. Ternyata saya keliru. Ketika saya ngobrol dengan seorang tetangga yang sudah puluhan tahun tinggal di sana, dia menjelaskan bahwa di masa lalu, banjir bahkan tidak pernah ada di tempat tinggal kami. Jadi, mengapa orang-orang kuno membangun lantai rumahnya begitu tinggi?

“Itu bagian filsafat orang-orang di masa lalu,” tetangga saya menjawab.

Ketika saya bertanya lebih jauh, dia menjelaskan, “Orang-orang kuno sengaja membangun rumahnya begitu tinggi bukan untuk menghindari bencana semisal banjir, juga bukan untuk gagah-gagahan, melainkan untuk mengingatkan diri sendiri bahwa hidup kadang naik dan kadang turun. Setiap kali mereka keluar masuk rumah, mereka melewati undak-undakan di depan rumah, dan undak-undakan itu dimaksudkan untuk terus mengingatkan filsafat tersebut. Bahwa hidup sesekali naik, sesekali turun. Di satu waktu, kita menaiki undak-undakan. Di waktu lain, kita menuruni undak-undakan.”

Sejak mengetahui kenyataan itu, perspektif saya pun berubah. Sebelumnya, saya sempat berpikir orang-orang kuno sengaja membangun rumahnya begitu tinggi sebagai bentuk keangkuhan mereka. Namun ternyata sebaliknya. Orang-orang di masa lalu sengaja membangun rumah begitu tinggi agar tetap rendah hati. Agar selalu ingat bahwa hidup tidak selamanya di atas, karena sewaktu-waktu siapa pun bisa turun. Yang kaya bisa miskin, sebagaimana yang miskin bisa kaya. Yang di atas bisa turun ke bawah, sebagaimana yang di bawah bisa naik ke atas.

Kenyataannya, hidup memang seperti itu. Bersama perputaran bumi pada porosnya, orang-orang menjalani kehidupan yang naik dan turun, naik dan turun, naik dan turun. Kadang mendapatkan, kadang kehilangan. Kadang menyongsong sinar terang, kadang menghadapi kegelapan. Kadang tertawa ceria, kadang berurai air mata. Sebagaimana siang menjemput malam, dan malam selalu menyongsong fajar. Di hari-hari yang kita jalani, matahari pun terbit dan tenggelam.

Lima belas tahun lalu, ketika ponsel mulai populer, Siemens menjadi salah satu pionir, bersama Nokia dan Ericsson. Aneka macam ponsel produksi mereka menguasai pasar dunia, dan di waktu-waktu itu nyaris mustahil untuk mengalahkan dominasi mereka. Tetapi, sekarang, bagaimana kabar ketiganya? Siemens sudah hilang. Nokia telah tumbang. Ericsson pun tidak ada kabar.

Ericsson sempat bergabung dengan perusahaan Jepang, Sony, dan merger mereka melahirkan ponsel tak terhitung banyaknya dengan merek Sony-Ericsson. Itu penggabungan dua raksasa yang diprediksi akan mengalahkan semua saingan mereka. Sony sangat hebat dalam teknologi, sementara Ericsson tahu bagaimana menciptakan ponsel dengan wujud yang manis. Gabungan keduanya melahirkan ponsel-ponsel Sony-Ericsson yang hebat dalam teknologi, sekaligus wujud mempesona.

Kenyataannya, Sony-Ericsson memang pernah merajai pasar ponsel. Nokia, yang terkenal sebagai vendor paling aktif dan paling produktif dalam merilis produk baru, sempat keteteran menghadapi gempuran Sony-Ericsson. Sampai kemudian merger Sony-Ericsson berakhir, dan keduanya kembali bekerja sendiri-sendiri. Lepas dari Ericsson, Sony merilis ponsel-ponsel berteknologi canggih dengan merek Sony, meski wujudnya tidak secantik ponsel-ponsel Sony-Ericsson.

Di Jepang, Sony adalah perusahaan raksasa yang tidak hanya dikagumi, tetapi juga sangat disegani. Perusahaan yang telah berdiri puluhan tahun itu membuat produk-produk hebat dengan teknologi canggih—televisi, Playstation, telepon pintar, dan pernah merilis Walkman yang mengubah dunia. Mereka menjalankan perusahaan dengan omset miliaran dollar, digerakkan para ahli dan eksekutif kelas satu, dengan aneka produk yang menguasai pasar dunia.

Dengan segala kehebatan dan kejayaannya, para eksekutif Sony sangat yakin mereka tak akan pernah dikalahkan siapa pun. Tapi hidup rupanya tak semudah keyakinan mereka. Baru-baru ini, perusahaan raksasa itu sempoyongan, mengalami kerugian terus menerus hingga napas perusahaan kembang kempis, sampai kemudian diakuisisi oleh Samsung.

Itu antiklimaks mengerikan sekaligus ironis. Dua puluh lima tahun yang lalu, Sony menilai Samsung sebagai “bocah kemarin sore yang tak tahu apa-apa”. Para eksekutif Sony bahkan menjadikan Samsung olok-olok sarkastis, dan biasa menyebut para eksekutif Samsung sebagai “bocah-bocah kere”. Tetapi “bocah-bocah kere” itu kemudian mengalahkan si raksasa. Pada tahun kemarin saja, 2014, Samsung membukukan keuntungan sebesar 250 triliun. Di waktu yang sama, Sony justru mengalami kerugian sebesar 25 triliun. Seperti langit dan bumi.

Karenanya, ketika Samsung kemudian mengakuisisi Sony, kenyataan itu merupakan antiklimaks yang mengerikan sekaligus ironis, juga membuka mata banyak orang bahwa hidup memang naik dan turun. Yang semula raksasa bisa jatuh, dan yang semula dihina bisa mengalahkan si raksasa.

Di luar kejatuhan Sony atau Nokia (yang sekarang diakuisisi Microsoft), kita juga sempat menyaksikan kemunculan Blackberry yang pernah bersinar bagai meteor. Ketika mulai menancapkan pengaruhnya di pasar ponsel, Blackberry bagaikan angin puyuh yang memporakporandakan pasar ponsel dunia. Di waktu-waktu itu, nyaris setiap orang beradab ingin memiliki ponsel Blackberry, bahkan hidup rasanya masih kurang jika belum punya ponsel Blackberry.

Tapi berapa lama kejayaan Blackberry? Tidak lama, bahkan sangat sebentar. Secepat kemunculannya yang membahana, pamor Blackberry surut dengan cepat. Terlepas dari konflik internal perusahaan yang terjadi, ponsel Blackberry di pasar dunia tidak “seagung” sebelumnya. Orang tidak lagi merasa hebat karena memiliki ponsel itu, bahkan pelan-pelan mulai meninggalkannya untuk beralih ke ponsel lain. Sesuatu yang semula dipuja-puja bisa berubah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.

Di luar itu, kita pun menyaksikan berbagai perusahaan raksasa tumbang, bahkan tanpa prediksi sebelumnya. Mereka benar-benar tumbang, atau mengalami kerugian miliaran dollar hingga harga sahamnya jatuh—Enron, Lehman Brothers, Sharp, Toshiba, Panasonic, Sanyo, sebut lainnya.

Tak jauh beda dengan perusahaan, orang per orang juga bisa mengalami perputaran nasib yang sama. Orang-orang yang semula dipuja dengan kekaguman tiba-tiba kehilangan pesona dan dilupakan, yang semula kaya-raya tiba-tiba berubah menjadi jelata. Di sisi lain, orang-orang yang semula tak dikenal berubah menjadi sosok yang dipuja, yang semula melarat berubah menjadi konglomerat.

Scott Stapp bisa dijadikan contoh populer. Dia adalah vokalis group musik Creed, yang pernah merajai panggung musik pada era 1990-an hingga awal 2000-an. Pada masa jayanya, Scott Stapp bisa dibilang memiliki segalanya—popularitas, rumah mewah, uang dan kekayaan dalam jumlah besar, dan kemana pun pergi selalu dikelilingi wanita cantik. Dia sosok yang sangat dikagumi, sekaligus membuat banyak orang merasa iri.

Tapi bagaimana nasib Scott Stapp sekarang? Dia menjadi gelandangan! Orang yang dulu menjalani hidup glamor itu sekarang tidak punya rumah, tidak punya uang, dan tiap malam tidur di truk—satu-satunya barang berharga yang masih dimilikinya. Di fanpage-nya di Facebook, dia menggunggah video berdurasi 15 menit berisi pengakuan tentang kehidupannya yang sekarang, dan dunia pun membelalakkan mata.

“Kadang aku tinggal di penginapan, namun beberapa minggu aku tidur di truk. Aku tidak punya uang yang cukup untuk makan atau membeli bensin,” ujar Scott Stapp dalam video tersebut. Bahkan, karena sama sekali tidak punya uang, Scott Stapp pernah tidak makan apa pun selama dua hari, hingga dilarikan ke ruang gawat darurat karena pingsan. Ketika tersadar berada di rumah sakit, dia langsung melarikan diri dari sana. Alasannya sepele—dia tidak punya uang untuk membiayai perawatannya!

Bayangkan, seorang terkenal, kaya raya, dipuja dan dikagumi dunia, berubah menjadi gelandangan yang tidur di truk, bahkan pernah tidak makan sampai dua hari karena tidak punya uang!

Di dunia sepakbola, kita bisa menyaksikan Kenny Sansom, mantan bek Arsenal dan tim nasional Inggris yang dulu sangat terkenal. Kenny Sansom melakukan debut profesionalnya untuk Crystal Palace pada usia 16 tahun, dan menjadi kapten Inggris U-21 sebelum tampil permanen di lini belakang tim senior. Dia menghabiskan 8 tahun di Arsenal, memainkan 314 pertandingan, kemudian pindah ke Newcastle United pada 1988, serta dua kali bermain di Piala Dunia.

Tak jauh beda dengan Scott Stapp, Kenny Sansom juga menjadi sosok yang dikagumi dengan kehidupan glamor ala pemain sepakbola terkenal. Tetapi bagaimana nasibnya sekarang? Sama saja, tak jauh beda dengan Scott Stap, Kenny Sansom juga menjadi gelandangan. Kenyataan itu terungkap saat dia ditemukan tak sadarkan diri di pinggir jalan pada Maret 2014, lalu dilarikan ke rumah sakit. Pada waktu di rumah sakit itulah identitasnya terkuak, bahwa gelandangan menyedihkan itu ternyata mantan pesepakbola terkenal.

Hidup, sebagaimana pendakian ke puncak gunung, memiliki masa sendiri—sebagian ada yang naik, sebagian lain ada yang turun. Orang-orang kuno menyadari itu sepenuhnya, hingga mereka sengaja membuat undak-undakan di depan rumahnya yang tinggi, untuk selalu mengingatkan diri agar tidak tinggi hati. Karena selalu ada saat naik, dan selalu ada saat turun. Saat keluar dari rumah, mereka menuruni undak-undakan. Saat kembali masuk ke rumah, mereka menaiki undak-undakan.

Saat ini, jika ditanya siapa host acara televisi paling terkenal, kebanyakan orang mungkin akan menjawab Tukul Arwana. Kenyataannya, acara Bukan Empat Mata yang diasuhnya menjadi tayangan populer dengan rating tinggi, sementara Tukul menjadi selebritas terkenal sekaligus kaya raya dengan penghasilan miliaran. Tetapi, tiga puluh tahun lalu, siapakah Tukul Arwana?

Tiga puluh tahun lalu, Tukul Arwana bukan siapa-siapa. Lebih tepat, dia hanya gelandangan yang sedang mengadu nasib ke Jakarta. Ketika menginjakkan kaki di ibukota, Tukul tidak punya apa-apa, bahkan harus tidur di tanah dengan atap bedeng, karena tidak punya uang untuk menginap di tempat layak.

Waktu itu, Jakarta belum sepadat sekarang. Masih cukup banyak persawahan atau kebun-kebun kosong yang tak ditinggali. Di pinggir-pinggir sawah atau kebun itulah Tukul tidur dengan menggelar kain seadanya. Biasanya dia mencari yang ada bedeng di atasnya, sehingga tidak kehujanan ketika turun hujan. Dalam acara Hitam Putih yang dipandu Deddy Corbuzier, Tukul menceritakan, “Biasanya, saat pagi, saya terbangun dari tidur gara-gara geli, akibat ada ulat atau kaki seribu yang merayap di kulit.”

Bisa membayangkan sesulit apa kehidupan Tukul waktu itu? Di siang hari, dia ke sana kemari mencari kerja, berharap dapat mengubah nasib. Malam hari, setelah kelelahan, dia tertidur di bawah langit, beralas kain atau kertas koran. Pagi hari, ulat atau kaki seribu yang membangunkan tidurnya. Sendirian, kere, tampak ndeso, tidak ganteng, tak berpendidikan, dan mungkin orang-orang waktu itu menatapnya sebagai orang yang tak punya masa depan.

Tetapi “orang yang tak punya masa depan” itu sekarang berubah menjadi sosok yang dikagumi, dicintai, bahkan dipuja banyak orang, menjadi selebritas terkenal, mendapatkan penghasilan sangat besar, menjalani kehidupan mewah, dan setiap hari muncul di televisi menghibur jutaan orang. Inilah orang yang tiga puluh tahun sebelumnya luntang lantung menjadi gelandangan!

Lebih dari setengah abad yang lalu, dalam satu pidatonya yang menggelegar, Bung Karno pernah meneriakkan kata-kata ini, “Up and down! Up and down! Up and down!”

Begitulah hidup, dan kehidupan orang per orang. Kadang naik, kadang turun. Kadang di atas, kadang di bawah. Dan, seperti orang-orang kuno yang membuat undak-undakan di depan rumah, kita pun perlu mengingat untuk tidak kehilangan harap saat ada di bawah, dan tidak lupa diri saat ada di atas. Karena hidup, sebagaimana lahir dan mati, memiliki masanya sendiri.

Hanya Bocah yang Bisa

“Mbakyuku adalah mahakarya!” ujar seorang bocah dengan jumawa.

Bocah temannya menyahut dengan nada tak kalah jumawa, “Mbakyuku adalah fenomena!”

....
....

Saya tersenyum menatap mereka, dan berpikir, “Hanya bocah yang bisa melakukannya.”

Noffret’s Note: Guru dan Murid

Ada Hari Guru, tapi kenapa tidak ada Hari Murid?
Tidak akan pernah ada guru di dunia ini,
jika tidak ada orang yang mau menjadi murid.
—Twitter, 25 November 2014

Di sekolah, aku punya beberapa guru yang menyenangkan.
Tapi banyak pula guruku yang membuat belajar jadi membosankan,
bahkan mengerikan.
—Twitter, 25 November 2014

Sekolah, kurikulum, dan guru, bisa menetapkan aneka macam
peraturan untuk murid. Tapi murid tidak bisa mengajukan
hak yang sama. Tidak adil!
—Twitter, 25 November 2014

Seharusnya murid-murid sekolah diberi hak untuk memilih
guru mana saja yang mereka inginkan, dan guru mana saja
yang tidak mereka inginkan.
—Twitter, 25 November 2014

Guru yang baik adalah guru yang belajar dari murid-muridnya.
—Twitter, 25 November 2014

Dalam ingatanku, masa-masa sekolah adalah waktu
paling membosankan yang pernah kualami dalam hidup.
Bodohnya, dulu aku jarang bolos.
—Twitter, 25 November 2014

Jika kelak anakku mengatakan bosan sekolah, aku tidak akan
menyalahkannya. Karena dulu aku pun merasakan hal yang sama.
—Twitter, 25 November 2014

Guru-guru terbaik yang pernah kumiliki
adalah mereka yang mengajar penuh kasih.
—Twitter, 25 November 2014

Tidak semua yang sekolah adalah murid.
Murid adalah orang yang mau belajar. Begitu pun,
tidak semua yang mengajar di sekolah pasti guru.
—Twitter, 25 November 2014

Bagiku, guru bukan orang yang pernah mengajarku.
Guru adalah sosok yang ingin kutiru.
—Twitter, 25 November 2014

Setiap orang adalah murid, setiap orang adalah guru.
Kita belajar, dan mengajar, setiap waktu.
—Twitter, 25 November 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Rabu, 18 Maret 2015

Dari Penulis kepada Editor (6)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Meski mungkin hal-hal itu terkesan sepele, tetapi efeknya bisa menganggu. Karena itulah, untuk kesekian kalinya, penulis maupun editor harus terus memperbarui pengetahuannya, khususnya dalam teknik menulis, agar selalu up to date. Suatu teori, teknik, atau wawasan yang kita yakini belum tentu benar, atau telah ketinggalan zaman, dan karena itulah perlunya terus belajar. Bahasa terus berkembang, teknik penulisan terus berkembang, dan siapa pun yang bekerja dalam bidang penulisan harus mengikuti perkembangan.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Jika kita membuka dan mencermati buku-buku terbitan lama—setidaknya pada era 1990-an—kita masih menemukan banyak buku yang di dalamnya menggunakan sistematika penulisan ala skripsi. Buku-buku itu menggunakan BAB I, BAB II, BAB III, dan seterusnya. Lama-lama, gaya atau sistematika penulisan semacam itu ditinggalkan, dan tidak lagi digunakan.

Di toko buku, sekarang sudah sangat jarang ada buku yang masih menggunakan sistematika kaku seperti itu. Buku-buku modern telah menghilangkan BAB I, BAB II, dan seterusnya, untuk menunjukkan perbedaan dengan karya ilmiah murni semacam skripsi. Bahkan, jika kita ingin membukukan skripsi atau disertasi, dan ingin menjualnya secara komersial, kita harus mematuhi sistem penulisan dalam ilmiah populer, yang salah satunya tidak lagi menggunakan penanda BAB.

Ilustrasi itu tidak hanya secara tegas menunjukkan perbedaan antara penulisan ilmiah murni dan ilmiah populer, namun juga dengan jelas menunjukkan bahwa di dunia penulisan dan penerbitan terus terjadi perubahan, dinamika, dan pembaruan-pembaruan. Yang semula tampak hebat sekarang terlihat kuno. Yang di masa lalu terlihat modern sekarang telah ketinggalan zaman. Yang wajib mengikuti dinamika semacam itu bukan hanya penulis, tetapi juga editor, serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam kerja penulisan dan industri penerbitan.


Relasi penulis-editor

Saya menyadari, catatan ini mungkin terkesan menggurui, meski saya tidak bermaksud begitu. Yang saya sampaikan dalam tulisan ini adalah hal-hal yang sebenarnya ingin disampaikan banyak penulis kepada editornya, namun khawatir atau merasa segan jika harus mengatakan secara langsung. Tidak semua editor memiliki dada yang lapang sehingga terbuka pada saran dan masukan. Karena usia atau karena pengalaman yang lama, kadang editor menganggap dirinya lebih tahu dari penulis, kemudian menutup diri dari kemungkinan saran, masukan, apalagi teguran.

Seorang teman sesama penulis, sebut saja namanya Ferdi, pernah mendapati editor semacam itu. Ceritanya, Ferdi mengirim naskah ke suatu penerbit, dan kebetulan editor yang menangani naskahnya kurang terbuka pada saran. Lebih dari itu, si editor tampaknya menganggap posisinya lebih tinggi dari si penulis.

Selama menangani naskah Ferdi, si editor beberapa kali menelepon Ferdi, namun isi pembicaraan mereka tidak jelas, bahkan tidak penting, karena lebih banyak membahas hal-hal di luar naskah. Jika kebetulan Ferdi sedang di jalan, sehingga tidak bisa menerima telepon, si editor tersinggung. Editor itu bersikap seolah-olah Ferdi adalah bawahannya. Sampai begitu pun, Ferdi masih menahan diri, dan tetap berusaha menghadapi si editor dengan baik. Bagaimana pun, editor itu sebaya ayahnya, sehingga Ferdi merasa perlu menghormati.

Yang menjadi masalah, si editor juga tampaknya tidak mau menerima saran atau masukan, dan menganggap pendapatnya pasti benar. Editor itu meminta Ferdi agar memasukkan hal-hal tertentu pada naskah, padahal menurut Ferdi hal itu tidak penting, tidak relevan, bahkan tidak dibutuhkan. Lebih dari itu, si editor juga seenaknya sendiri “mengacak-acak” isi naskah Ferdi. Hal itu baru diketahui Ferdi ketika naskahnya telah terbit menjadi buku, dan di dalamnya penuh typo atau kesalahan ketik.

Rupanya, editor tersebut menambah-nambahi banyak kalimat di dalam naskah Ferdi, namun kalimat-kalimat tambahan yang ditulisnya banyak mengalami salah ketik. Padahal, kalimat-kalimat yang ditambahkan editor itu bisa dibilang tidak penting. Misalnya, saat Ferdi menulis “saya” yang merujuk dirinya sebagai penulis, si editor menambahkan “(penulis buku ini)”.

Padahal, bisa dibilang semua orang tahu bahwa “saya” yang terdapat dalam buku merujuk pada si penulis buku. Yang menyedihkan, kesalahan ketik tidak hanya terdapat di dalam buku, tetapi juga pada sampulnya, dan lagi-lagi kesalahan ketik itu terdapat pada kalimat yang dibuat si editor. Puncaknya, editor itu juga seenaknya sendiri mengubah judul buku Ferdi, hingga judul yang semula memikat berubah menjadi judul yang sama sekali tak menarik. Editor itu melakukan hal-hal tersebut, tanpa mengonfirmasikannya kepada Ferdi.

Tentu saja Ferdi kecewa dengan hal itu, namun nasi telah menjadi bubur. Ketika dia menyampaikan kekecewaannya, tanggapan si editor sangat tidak simpatik, bahkan menunjukkan sikap tersinggung. Tapi bukan cuma itu yang membuat Ferdi kecewa. Karena tampilan dan judul bukunya yang kurang menarik, dan karena banyaknya kesalahan ketik yang sangat mencolok, buku Ferdi jeblok di pasar.

Siapa yang paling dirugikan ketika kasus semacam itu terjadi? Mungkin penerbit dirugikan, karena telah membiayai penerbitan buku yang ternyata gagal di pasar. Tapi penulis lebih merasa dirugikan. Dia sudah meluangkan banyak waktu, energi, biaya, selama menulis naskah, dan berharap bukunya disukai pembaca. Tapi hanya gara-gara seorang editor yang merasa dirinya pasti benar, buku karyanya jeblok di pasar.

Editor yang baik adalah impian setiap penulis, sebagaimana editor yang buruk bisa menjadi mimpi buruk bagi penulis. Sayangnya, dalam hal ini, penulis tidak bisa memilih editor yang akan menangani naskahnya. Ketika suatu naskah masuk penerbit, pihak penerbit yang menentukan siapa editor yang menangani naskah tersebut. Tentu saja penulis merasa beruntung jika mendapat editor yang baik, tapi bisa pula penulis menghadapi nasib buruk seperti Ferdi gara-gara editornya mau menang sendiri karena menganggap posisinya lebih tinggi.

Izinkan saya sekali lagi mengutip David Rosenthal. Sebagai editor berpengaruh di Amerika, dan telah bekerja puluhan tahun sebagai editor, David Rosenthal memiliki nasihat untuk sesama editor.

“Tugas yang penting (sebagai editor),” ujar David Rosenthal, “ialah melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu penulis dalam menciptakan buku sebaik mungkin. Dalam melakukan tugas ini, kita sebenarnya lebih berfungsi sebagai pelayan; ketimbang sebagai majikan si penulis. Kita bersikap mendukung dan kritis terhadap penulis. Kita melakukan apa saja yang perlu dilakukan untuk membuat sebuah karya menjadi lebih baik. Dan dalam hubungan dengan penulis tertentu, ini bisa berarti bahwa kita tak perlu berbuat apa-apa lagi.”

Ketika ditanya adakah kasus ketika bantuan editor tidak diperlukan lagi, David Rosenthal menjawab, “Ada. Kadang-kadang kita menerima naskah yang sangat sempurna. Dan dalam kasus seperti ini, yang kita lakukan tinggal menandatangani satu-dua potong kertas agar naskah segera masuk ke proses produksi.”

Usia tua bukan jaminan senioritas. Dalam konteks dunia penerbitan, kadang ada penulis berusia tua mendapat editor yang jauh lebih muda. Sebaliknya, kadang ada penulis yang masih belia mendapat editor yang jauh lebih tua. Perbedaan usia semacam itu seharusnya tidak menjadikan masing-masing pihak merasa lebih senior atau lebih tahu dari pihak lainnya. Yang muda tidak perlu minder pada yang tua, sementara yang tua juga tidak perlu merasa lebih tahu. Karena posisi penulis dan editor adalah setara—keduanya bisa menerima saran dan memberi masukan.

Dalam kasus tertentu, editor kadang pula merasa serba salah ketika berurusan dengan penulis yang terkenal. Padahal, sebagaimana usia, popularitas atau keterkenalan seseorang juga bukan jaminan senioritas. Tak peduli seterkenal apa pun, seorang penulis (seharusnya) juga menyadari bahwa posisinya tetap tidak lebih tinggi dari editor. Kenyataannya, penulis yang baik memang begitu.

Saya pernah mengobrol panjang dengan seorang editor. Kami telah lama berteman, dan cukup sering bertemu. Karena tahu profesi masing-masing, topik obrolan kami pun sering tak lepas dari dunia penerbitan. Suatu hari, saat kami ngobrol asyik, dia bercerita, “Aku dapat naskah bagus, tapi bingung. Mau diterima (untuk diterbitkan) rasanya kurang beres, mau ditolak rasanya juga sayang, karena naskah itu sangat bagus.”

Saya menyahut, “Jadi, apa masalahnya?”

Dia pun menjelaskan. Naskah yang sedang ditanganinya memiliki 26 bab. Dari 26 bab, 22 di antaranya bisa dibilang tidak ada masalah. Tapi 4 bab lain bermasalah, karena bab-bab tersebut dinilai tidak terlalu relevan. “Sebenarnya,” ia berujar, “aku sangat menyukai naskah itu. Tapi empat bab yang bermasalah itu membuatku ragu meloloskannya.”

Memahami yang ia maksudkan, saya pun berkata, “Kenapa empat bab itu tidak dipotong saja? Pangkas empat bab yang tidak penting, dan terbitkan sisanya.”

Dia menjawab ragu, “Masalahnya, penulis naskah ini sangat terkenal. Sejujurnya aku segan, dan tidak yakin dia mau menerima saranku.”

Saya memberi pertimbangan, “Kalau aku penulis naskah itu, dan editorku memberi penilaian seperti yang kamu katakan tadi, tentu saja aku tidak keberatan.”

Dia terdiam sesaat, seperti berpikir, kemudian menjawab, “Coba besok aku hubungi penulisnya. Semoga dia punya pikiran sepertimu.”

Besoknya, dia benar-benar menghubungi si penulis, dan memberitahu pandangannya. Seperti yang sudah saya duga, si penulis tidak keberatan. Dia merelakan 4 bab dalam naskahnya dipangkas atau dihilangkan, dan hanya 22 bab yang diterbitkan menjadi buku. Sebagai penulis, saya memahami bahwa hal semacam itu bukan masalah besar. Tetapi, rupanya, kadang editor mengira hal semacam itu tidak bisa didiskusikan, khususnya jika si penulis dinilai terkenal.

Setiap orang, dalam hal ini penulis, sebenarnya terbuka pada saran, masukan, atau lainnya, khususnya saran atau masukan dari editor. Jika saran atau masukan itu memang baik dan relevan, penulis tentu tidak punya alasan menolak. Karenanya, yang perlu dilakukan editor hanya menghubungi si penulis, dan mengomunikasikan saran atau masukannya. Sebagaimana editor, penulis juga manusia biasa. Yang kadang salah, kadang khilaf, dan kadang perlu diberitahu—tak peduli seterkenal apa pun.

Karenanya, editor tidak perlu bingung saat akan menyampaikan saran atau masukannya pada penulis, sebagaimana penulis juga tidak perlu khawatir saat akan menyampaikan pandangannya pada editor. Buku yang baik dihasilkan oleh naskah yang baik. Naskah yang baik tidak hanya membutuhkan penulis yang baik, namun juga editor yang baik. Hubungan yang baik antara penulis dan editor memerlukan jembatan komunikasi yang baik.

Tentu saja bukan berarti setiap penulis dan editor harus “mesra” atau sangat intens berkomunikasi, hingga malah buang-buang waktu. Komunikasi dibutuhkan ketika berkaitan dengan konteks naskah yang sedang dikerjakan. Kalau memang ada yang perlu dikomunikasikan, tentu saja komunikasi menjadi perlu. Namun, jika memang tidak ada yang perlu dikomunikasikan, penulis dan editor juga tidak perlu maksa berkomunikasi. Toh keduanya punya kesibukan sendiri-sendiri.


Penutup

Untuk mengakhiri catatan ini, mari kita ingat poin-poin penting yang telah kita pelajari.

Pertama, hubungan penulis dan editor adalah hubungan yang setara, sehingga keduanya perlu berlapang hati menerima masukan, dan tak perlu berkecil hati saat ingin menyampaikan saran. Sehebat apa pun penulis, dia tetap manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Dan sehebat apa pun editor, tetap saja dia bukan Tuhan.

Kedua, dunia penulisan adalah dunia kreatif yang terus dan selalu berkembang. Bahasa selalu berkembang, teknik penulisan terus berkembang, dan penulis serta editor perlu mengikuti dinamika yang terjadi, agar terus bertambah wawasan dan tidak ketinggalan zaman.

Ketiga, usia atau popularitas bukan ukuran lebih tahu atau lebih tinggi. Editor yang telah berusia tua tidak perlu merasa lebih tahu dari penulis yang lebih belia, sebagaimana penulis yang terkenal tidak perlu merasa lebih tinggi dari editornya.

Keempat, masing-masing penulis dan editor memiliki kode etik yang perlu diingat dan dijalani. Penulis tidak boleh melanggar kode etiknya dalam berkarya, sebagaimana editor juga tidak boleh lupa batasan kode etiknya dalam menangani naskah penulis.

Kelima, kesuksesan sebuah buku adalah hasil kerjasama antara penulis dan editor. Jika kerjasama berjalan baik, buku yang dihasilkan akan baik, dan semua pihak akan senang. Sebaliknya, kerjasama yang buruk antara penulis dan editor adalah mimpi buruk di dunia penerbitan.

Terakhir, mohon maaf jika catatan ini terkesan menggurui. Anggap saja ini curhat kegelisahan penulis yang selama ini terpendam, karena tidak tahu bagaimana cara menyampaikan. Editor yang baik selalu terbuka pada saran, jadi saya berharap saran dan semua masukan ini bisa diterima dengan lapang hati.

Sebaliknya, penulis yang baik juga terbuka pada saran dan masukan. Karenanya, jika ada editor membaca catatan ini, dan menemukan kesalahan atau kekeliruan dalam penjelasan saya, tidak perlu ragu untuk menegur, mengoreksi, atau memberi saran balik. Sejujurnya, saya justru akan sangat berterima kasih.

Dari Penulis kepada Editor (5)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Selain pada tulisan tersebut, masih banyak tulisan Goenawan Mohamad yang juga menggunakan “dan” di awal kalimat, namun tidak diikuti atau dibubuhi koma. Omong-omong, saya telah mengkhatamkan semua tulisan Goenawan Mohamad dalam buku kumpulan Catatan Pinggir, dari jilid 1 sampai jilid 10, sehingga saya tahu pasti mengenai hal ini.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Begitu pula tulisan-tulisan AS Laksana. Jika kita cermati tulisan-tulisannya, kita juga akan mendapati banyak “dan” di awal kalimat yang sama sekali tidak diikuti koma. Saya sengaja menggunakan contoh Goenawan Mohamad dan AS Laksana di sini, agar tidak terkesan main-main. Semua orang tahu siapa Goenawan Mohamad, dan semua orang tahu siapa AS Laksana. Mereka bukan cuma penulis yang telah memiliki pengalaman panjang mengakar dalam jurnalisme, tetapi juga telah dianggap guru menulis yang dihormati.

Karenanya, sebagai penulis, saya benar-benar heran ketika mendapati ada editor yang ngotot harus membubuhkan koma pada “dan” di awal kalimat. Padahal, berdasarkan pembelajaran saya pada tulisan-tulisan para penulis yang saya anggap “guru”, kenyataan sebaliknyalah yang terjadi. Bahwa “dan” di awal kalimat tidak harus diikuti koma!


Ilmiah murni dan ilmiah populer

Masih soal “dan” di awal kalimat, kadang ada editor yang melarang dengan tegas. Editor semacam itu biasanya memegang prinsip bahwa “dan” adalah kata hubung, sehingga tidak boleh diletakkan di awal kalimat. Karenanya, jika mendapati “dan” di awal kalimat, dia akan menghapus atau menghilangkannya.

Di satu sisi, maksud editor itu benar. Dalam penulisan karya ilmiah murni—semisal skripsi, tesis, atau disertasi—sistem dan struktur tulisan memang harus benar-benar ilmiah, lengkap dengan aneka footnote. Dengan kata lain, ketika menulis karya ilmiah murni, kita memang harus benar-benar mematuhi semua aturan (termasuk aturan penulisan) secara kaku. Tetapi jangan lupa, naskah (dalam hal ini naskah buku), adalah karya ilmiah populer, bukan ilmiah murni.

Apa artinya itu?

Artinya, fellas, kita memang harus menulis naskah sesuai kaidah dan aturan yang baku, tetapi tidak perlu terlalu kaku!

Dalam karya ilmiah murni, “dan” atau “yang”—sebagai misal—tidak boleh diletakkan di awal kalimat. Aturan semacam itu memang relevan diterapkan pada karya semacam skripsi atau disertasi. Tetapi penulisan naskah tidak harus sekaku itu. Naskah buku—bahkan naskah artikel untuk koran atau majalah—adalah karya ilmiah populer, yang ditulis secara populer. Karena itu pula, dalam penulisan karya ilmiah populer dikenal istilah “gaya menulis”, sesuatu yang tidak dikenal dalam tulisan ilmiah murni.

Cobalah masuk ke kampus mana pun, dan baca skripsi mahasiswa kampus itu yang terkumpul di perpustakaan. Dari ribuan skripsi yang ada di sana, kita akan mendapati bentuk yang sama, sistematika yang sama, struktur yang sama, bahkan model tulisan yang sama. Padahal ribuan skripsi itu ditulis ribuan orang berbeda, yang memiliki identitas dan jati diri berbeda. Apa artinya itu? Karya ilmiah murni tidak mengenal gaya menulis! Tak peduli siapa pun penulisnya, tak peduli apa pun tema yang ditulis, semua karya ilmiah murni memiliki bentuk dan struktur yang sama!

Kenyataan itu tentu berbeda dengan karya ilmiah populer, yang salah satunya berbentuk naskah buku. Karena karya ilmiah populer, masing-masing penulis memiliki ruang yang lebih luas (tidak kaku) untuk mengeksplorasi gaya tulisannya. Selama tulisannya bisa dipahami, tidak bertele-tele, dan mematuhi kaidah berbahasa yang baik, penulis dapat memasukkan gayanya sendiri. Dari situ pulalah yang membedakan antara karya ilmiah murni dan karya ilmiah populer. Yang satu baku dan kaku, sedang satunya lagi baku namun tidak kaku.

Termasuk dalam penggunaan “dan” di awal kalimat. Meski hal itu bisa dibilang “sangat haram” jika ada dalam karya ilmiah murni, namun “tidak terlalu haram” bila digunakan dalam karya ilmiah populer. Jika seorang penulis menemukan suatu kreasi kalimat menggunakan “dan” di awal kalimat, editor tidak perlu kebakaran jenggot. Ingatlah selalu, editor naskah buku bukan dosen pembimbing skripsi atau supervisor disertasi!

Untuk hal ini, kita bisa mengambil contoh tulisan Djenar Maesa Ayu, yang dimuat dalam majalah Rolling Stone, edisi Juni 2013. Di majalah itu, Djenar menulis artikel berjudul “Soundwaves: Mengapung Pulang Bersama Float”. Paragraf-paragraf terakhir artikel itu menunjukkan kreasi pribadi Djenar sebagai penulis, dalam menggunakan kata “dan”. Berikut ini saya kutip paragraf-paragraf tersebut sesuai aslinya:

Terus jauh mengapung di keping-keping CD yang akan mereka distribusikan sendiri dari satu kafe ke kafe. Dan lalu. Dari satu bistro ke bistro. Dan lalu. Dari satu mulut ke mulut. Dan lalu. Dari satu tangan ke tangan. Dan lalu. Dari satu cinta ke cinta.

“Dan lalu...sekitarku tak mungkin lagi kini meringankan lara/Bawa aku pulang, rindu/Segera!”

Dan lalu, semoga satu saat nanti kita sadar bahwa sebenarnya manusia merindukan rumah yang tidak hanya didirikan oleh angka, semen dan batu bata, demi berteduh raga. Tapi juga rumah peristirahatan jiwa.


Kita sepakat, kalimat-kalimat itu sangat bagus, bahkan indah. Meski begitu, jika dimasukkan ke dalam bab skripsi, kalimat semacam itu akan dicoret oleh dosen pembimbing. Dalam penulisan karya ilmiah murni, kalimat-kalimat itu bahkan sederet kesalahan. Tetapi Djenar tidak menulis kalimat-kalimat itu dalam skripsi. Dia menulisnya sebagai bagian artikel untuk majalah. Dan, puji Tuhan, editor majalah itu membolehkan!

Sekarang kita mulai melihat perbedaan prinsip antara karya ilmiah murni dan karya ilmiah populer. Sekarang kita juga mulai melihat perbedaan prinsip antara dosen pembimbing skripsi dan editor naskah. Karenanya, editor naskah tidak perlu bersikap sekaku dosen pembimbing skripsi, karena penulis naskah juga tidak menulis naskahnya sebagaimana mereka menggarap skripsi!

Jadi, dalam penulisan naskah, penulis memang harus menjaga tulisannya agar sesuai kaidah bahasa yang berlaku, tetapi tidak perlu kaku. Begitu pula dengan editor. Jika penulis mengalami kekeliruan dalam penyebutan kata, atau kalimatnya terlalu bertele-tele, editor memang bisa “mencoret-coret” naskah seperti umumnya dosen pembimbing skripsi. Tetapi jika si penulis sekadar meletakkan “dan” di awal kalimat, sepertinya kita perlu bersepakat bahwa itu bukan masalah.

Yang lebih perlu dipermasalahkan, sebenarnya, bukan apakah penulis naskah boleh meletakkan “dan” di awal kalimat atau tidak, melainkan apakah “dan” di awal kalimat harus selalu dibubuhi koma atau tidak. Untuk hal itu, kita telah mengetahuinya, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Bahwa “dan” di awal kalimat tidak harus selalu diikuti koma. Jika ada editor yang tidak sepakat dengan hal ini, silakan marahi Goenawan Mohamad atau AS Laksana!

Selain “dan” di awal kalimat, kata lain yang juga tidak wajib diikuti koma adalah “maka”, “lalu”, “kemudian”. Tidak wajib—artinya boleh dibubuhi koma, tapi tidak harus. (Untuk lebih pasti mengenai hal ini, silakan merujuk pada Buku Panduan Penyuntingan Naskah yang ditulis Pamusuk Eneste).

Lucunya, masih banyak editor yang selalu membubuhkan koma pada kata “maka” di awal kalimat. Mereka juga selalu membubuhkan koma pada “lalu” atau “kemudian” yang ada di awal kalimat. Akibatnya, banyak tulisan tersendat-sendat, gara-gara editor terlalu rajin meletakkan koma di berbagai tempat.

Lanjut ke sini.

Dari Penulis kepada Editor (4)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Ketika penulis menggunakan kata ganti “kau” atau “kalian” dalam naskah saat menyapa pembaca, misalnya, editor harus mempertahankan istilah atau kata ganti itu, meski mungkin tidak sesuai seleranya. Editor tidak bisa seenaknya mengubah “kau” menjadi “kamu”, atau “kalian” menjadi “Anda”, hanya dengan alasan dia lebih nyaman dengan “kamu” atau “Anda”. Ini bukan soal selera editor, ini soal gaya si penulis. Sebagaimana terdapat dalam kode etik profesinya, editor harus menghormati gaya si penulis.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Sekali lagi, naskah adalah karya penulis, bukan karya editor. Meski kalimat itu mungkin terdengar tajam, kita harus mengakui. Penulislah yang menulis naskah dari tidak ada menjadi ada. Penulislah yang merangkai kalimat demi kalimat sejak halaman pertama sampai naskah selesai. Karenanya, naskah adalah karya si penulis, dan gaya tulisan yang digunakan juga gaya si penulis. Meski mungkin editor tidak menyukai gaya si penulis, editor tidak berhak mengubah seenaknya. Karena melalui gaya yang khas itulah masing-masing penulis dikenali karakternya yang unik oleh pembaca.

Saya punya kisah pribadi soal ini. Selama bertahun-tahun menulis, saya sangat jarang—bahkan tidak pernah—menggunakan kata “lantas” dalam tulisan di mana pun. Di blog ini, misalnya, ada lebih dari 1.300 tulisan. Jika kalian mau membaca dan memperhatikan satu per satu, tidak ada satu pun tulisan itu yang di dalamnya terdapat kata “lantas”. Biasanya, saya menggunakan “lalu” atau “kemudian”.

Nah, saya pernah mengirim naskah ke suatu penerbit. Sebagaimana naskah atau tulisan saya yang lain, di dalam naskah itu sama sekali tidak ada satu pun kata “lantas”. Tetapi, ketika naskah terbit menjadi buku, di dalamnya terdapat sangat banyak kata “lantas”. Ketika saya membaca buku itu, saya merasa itu bukan tulisan saya. Apa yang terjadi di sini? Editor yang menangani naskah saya telah memaksakan gayanya sendiri ke dalam naskah!

Mungkin dia suka istilah “lantas”. Karenanya, ketika menangani naskah saya, dia menghapus banyak “lalu” atau “kemudian” dalam naskah, dan menggantinya dengan “lantas”. Mungkin dia menganggap itu hal sepele, padahal langkah yang dilakukannya telah menyalahi kode etik profesinya sendiri. Meski seorang editor mungkin tergila-gila pada kata “lantas”, dia tidak bisa seenaknya memasukkan istilah itu ke dalam naskah seorang penulis, jika si penulis tidak menggunakannya.

Sekarang bayangkan jika setiap editor boleh seenaknya memasukkan kata-kata kesukaannya ke dalam naskah seorang penulis. Bayangkan seorang editor sangat suka istilah “astaga”, misalnya. Saat menangani naskah seorang penulis, dia merasa perlu memasukkan istilah “astaga” ke banyak bagian tulisan dalam naskah. Apa yang terjadi? Si penulis akan merasa asing dengan tulisannya sendiri!

Sekali lagi, naskah adalah karya penulis, bukan karya editor. Gaya tulisan yang digunakan dalam naskah—yang kemudian terbit menjadi buku—adalah gaya tulisan si penulis, bukan gaya si editor. Tugas editor adalah memperbaiki dan menyempurnakan naskah, tetapi bukan mengubah gaya si penulis atau memaksakan gayanya sendiri ke dalam naskah. Keterampilan itulah yang menjadikan seseorang sebagai editor, yaitu mampu memperbaiki naskah tanpa mengubah substansi, dan menyempurnakan isi naskah tanpa merusak gaya si penulis.


Soal tanda baca

Di antara hal lain, ada hal-hal yang mungkin terkesan remeh, tapi juga sangat mengganggu. Ketika menulis, kadang penulis meletakkan “dan” di awal kalimat. Entah mendapat pengetahuan dari mana, ada editor yang selalu membubuhkan koma (,) pada setiap “dan” di awal kalimat. Padahal, berdasarkan buku panduan editing mana pun yang pernah saya pelajari, tidak ada aturan yang menyatakan bahwa setiap “dan” di awal kalimat harus dibubuhi koma.

Dalam Buku Pintar Penyuntingan Naskah, misalnya, Pamusuk Eneste menjelaskan kata dan frase yang harus diikuti koma. Dia menyusun daftar 49 kata yang wajib dibubuhi koma jika diletakkan di awal kalimat, tetapi tidak ada “dan” dalam daftar itu. Dengan kata lain, “dan” di awal kalimat tidak harus dibubuhi koma. Tidak harus—artinya boleh dibubuhi, tetapi tidak wajib.

Kenapa ini menjadi penting? Ketika menulis kalimat tertentu, seorang penulis kadang memikirkan efek keterbacaan suatu kalimat atau paragraf. Karenanya, sering kali penulis mengotak-atik tanda baca pada kalimat-kalimat yang ditulisnya, dengan harapan kalimat/tulisan itu nyaman dibaca. Kalimat panjang yang tidak dipisah koma akan membuat pembaca kehabisan napas. Sebaliknya, jika suatu kalimat disisipi terlalu banyak koma, pembacaan akan tersendat-sendat. Lebih dari itu, koma yang diletakkan pada “dan” di awal kalimat kadang mengubah efek yang diinginkan si penulis.

Agar yang saya maksud dapat lebih dipahami, coba perhatikan kalimat penutup pada catatan saya tentang Menemukan Gaya Menulis. Tulisan panjang itu ditutup dengan kalimat-kalimat ini:

Untuk bisa memiliki gaya menulis yang khas, unik, dan berkarakter, kita membutuhkan tiga hal. Pertama, wawasan dan pengetahuan yang luas. Kedua, keterampilan menulis yang terus terasah. Ketiga, kemampuan memasukkan kepribadian kita ke dalam tulisan, atau menjadi diri sendiri. Poin terakhir itulah yang paling penting—menjadi diri sendiri. Menulis adalah proses untuk menjadi.

Dan proses itu tak pernah selesai.


Pada kalimat terakhir (Dan proses itu tak pernah selesai), “dan” diletakkan di awal kalimat. Ketika menulis kalimat itu, saya telah mencoba meletakkan koma setelah “dan”. Tetapi kemudian menghapusnya, karena berpikir efek yang saya inginkan akan lebih baik jika tidak ada koma setelah “dan”. Sekarang, perhatikan perbedaan efek kedua kalimat di bawah ini:

Dan proses itu tak pernah selesai.

Dan, proses itu tak pernah selesai.


Pada kalimat pertama tidak ada koma setelah “dan”, sementara pada kalimat kedua terdapat koma setelah “dan”. Bisa merasakan perbedaan efeknya? Hanya dengan menambah atau menghilangkan koma setelah “dan” di awal kalimat, efek yang timbul bisa berbeda. Karena kenyataan itu pulalah, salah satu kemampuan penting yang perlu dimiliki penulis, dan salah satu kode etik editor, adalah “memiliki kepekaan bahasa”, agar mereka bisa mengetahui efek tanda baca pada kata.

Goenawan Mohamad, AS Laksana, atau Seno Gumira Ajidarma, adalah beberapa “dewa” dalam dunia menulis di Indonesia. Mereka memiliki latar belakang jurnalistik yang panjang, memiliki pengalaman yang luas dalam dunia kepenulisan, dan telah menulis dalam jumlah tak terhitung banyaknya. Jika kita baca dan cermati tulisan-tulisan mereka, kita akan menemukan banyak sekali kata “dan” di awal kalimat yang sama sekali tidak diikuti koma. Apa artinya itu? Para “dewa” itu telah memberitahu kita, bahwa “dan” di awal kalimat memang tidak wajib diikuti koma!

Jika menginginkan contoh, kita bisa melihat salah satu tulisan Goenawan Mohamad, yang berjudul “Titorelli”. Tulisan itu diterbitkan sebagai kolom Catatan Pinggir di majalah Tempo, edisi 2 Januari 2011. Tulisan itu juga dimasukkan ke dalam buku Catatan Pinggir ~ jilid 10. Berikut ini bagian tulisan Goenawan Mohamad yang menggunakan “dan” di awal kalimat, yang tidak diikuti koma (saya kutip sesuai aslinya):

Di sekitar hari Natal ini, saya bayangkan itulah hasrat tiga orang Majus yang berani menyeberangi benua menuju ke sebuah tempat di bawah bintang yang gilang-gemilang. Ada sesuatu yang mendorong mereka—meskipun tak selamanya pasti—untuk mencari sang penebus di dunia yang banyak kehilangan dan cedera.

Dan sejarah manusia mirip perjalanan dari Timur itu.


Perhatikan kalimat terakhir. Di situ “dan” diletakkan di awal kalimat, namun tidak diikuti koma.

Lanjut ke sini.

Dari Penulis kepada Editor (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, perkembangan teknik penulisan semacam itu tidak hanya perlu diketahui penulis, tapi juga editor. Penulis perlu meng-update pengetahuannya mengenai hal itu, agar teknik menulisnya terus berkembang, sementara editor juga perlu mengembangkan wawasan agar dapat menangani naskah dengan lebih baik. Karena naskah sebagus apa pun akan menjadi buku yang buruk jika ditangani editor yang buruk, sebagaimana naskah yang buruk pun bisa menjadi buku yang bagus jika ditangani editor yang bagus.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Oh, saya tidak sedang berlebihan. Ketika editor ketinggalan zaman menangani naskah modern, hasilnya adalah malapetaka. Untuk hal ini, ada kisah yang bisa saya ceritakan.

Febriana (bukan nama sebenarnya) menulis novel dengan teknik penulisan modern. Novelnya dibangun dengan bab-bab singkat, dan menggunakan multi-plot, sehingga adegan per adegan di masing-masing bab tidak menggunakan tanda ***. Sebagai gantinya, Febriana memberi ruang kosong dobel spasi untuk memisahkan adegan per adegan yang berganti. Sebenarnya, itu hal lazim pada novel modern. Tapi rupanya editor yang menangani naskah novel Febriana sudah ketinggalan zaman.

Editor yang menangani naskah Febriana rupanya tidak memahami maksud ruang kosong dobel spasi, yang sengaja diletakkan Febriana pada setiap pergantian adegan. Rupanya, editor itu masih menganggap bahwa pemisahan per adegan ditandai ***. Ketika dia tidak mendapati tanda *** pada naskah Febriana, dia “menumpuk” semua adegan dalam novel itu dengan menghilangkan ruang-ruang kosong dobel spasi. Bisa dibayangkan akibatnya?

Ketika naskah itu dikerjakan oleh editor, Febriana tidak diberi kesempatan untuk melihat atau memeriksa. Waktu itu, Febriana juga berpikir editornya pasti paham teknik penulisan novel modern. Tetapi, ketika novel itu telah terbit dan beredar luas, Febriana shock mendapati novelnya kacau tak karuan. Ruang-ruang kosong dobel spasi yang sengaja ia letakkan pada masing-masing adegan telah dihapus atau dihilangkan oleh editor, sementara semua adegan yang ada ditumpuk tanpa jeda. Hasilnya, cerita dalam novel itu sangat kacau, membingungkan, bahkan sulit dipahami.

“Jangankan orang lain,” ujar Febriana dengan jengkel, “bahkan aku yang menulisnya pun tidak paham ketika membacanya!”

Bayangkan sehancur apa perasaan Febriana ketika novelnya terbit dan beredar luas, dengan isi acak-acakan. Dia menulis novelnya berbulan-bulan, memikirkan jalan cerita, membangun adegan demi adegan, mengembangkan alur yang masuk akal dengan plot yang menarik, dengan harapan novelnya disukai pembaca hingga bisa terjual banyak. Tetapi editor dengan seenaknya sendiri “mengacak-acak” novel itu akibat kurang update wawasan.

Ketika novel itu sampai di tangan pembaca, dan mereka tidak memahami isi novel itu akibat kisah di dalamnya kacau tak karuan, siapakah yang kira-kira mendapat banyak kritik pembaca? Siapakah yang paling menanggung malu? Tentu saja Febriana, si penulis yang namanya ada di sampul buku. Meski isi novel itu kacau akibat ulah editor, tapi pembaca tidak berpikir sejauh itu. Pada akhirnya, ketika novel itu jeblok di pasar karena tidak laku, yang paling berat menanggung beban adalah Febriana, si penulis.

Dari kisah itu kita melihat bahwa editor yang buruk bisa “menghancurkan” seorang penulis. Di pihak editor, jebloknya buku Febriana mungkin tidak terlalu memberi banyak pengaruh, toh dia masih bisa bekerja menangani naskah lain di pernerbitnya. Bahkan, dia bisa selamat dari serangan kritik akibat buruknya novel itu. Tapi bagaimana dengan Febriana? Selain menghadapi novelnya yang jeblok dan mendapat banyak kritik pembaca, novel yang buruk itu juga akan menjadi beban moral baginya selaku penulis.

Karenanya, sekali lagi, yang wajib memperbarui diri dan mengembangkan wawasan bukan hanya penulis, tetapi juga editor. Editor tidak bisa bersembunyi di balik kemapanan tempatnya bekerja dan menganggap telah tahu segalanya. Meski setiap hari editor terus bergelut dengan naskah yang menumpuk, bukan berarti dia tidak perlu lagi belajar. Karena, sebagaimana editor buruk bisa merusak naskah yang bagus, editor yang bagus juga bisa mengubah naskah yang aslinya buruk menjadi bagus.

Ketika naskah masuk ke penerbit, salah satu poin penting yang dipertimbangkan penerbit adalah daya jual. Kadang-kadang, ada naskah yang memiliki daya jual tinggi, tapi penulisannya kacau—karena mungkin ditulis pemula. Ketika menghadapi naskah semacam itu, editor yang hebat bisa “mempermak” naskah itu hingga sangat bagus. Hasilnya, ketika terbit menjadi buku, naskah itu tidak hanya memiliki daya jual tinggi, tetapi juga berkualitas.

Jadi, dalam hubungan antara penulis dan editor, kira-kira seperti inilah rumusnya:

Penulis baik + Editor baik = Buku bagus.
Penulis buruk + Editor baik = Buku bagus.
Penulis baik + Editor buruk = Buku buruk.
Penulis buruk + Editor buruk = Buku buruk.

Penulis membuat naskah, dan editor mempermak. Naskah buruk di tangan editor bagus bisa berubah menjadi karya bagus. Tapi naskah bagus di tangan editor buruk bisa menjadi karya yang buruk. Idealnya, tentu saja, penulis baik bertemu editor baik, sehingga karya (buku) yang dihasilkan benar-benar baik. Ketika naskah bagus ditangani editor yang juga bagus, hasilnya adalah karya yang benar-benar bagus. Intisari yang dapat kita ambil dari sini adalah kedua pihak harus terus belajar dan meng-upadate wawasannya, serta bisa saling menerima saran dan masukan.

Ketika John Grisham menulis naskah A Time to Kill, dia masih penulis pemula. Saat naskah itu diserahkan kepada editor, John Grisham diberitahu, “Naskahmu ini terlalu tebal, karena kisahmu bertele-tele.” Dia juga diberitahu bagian-bagian mana saja dalam naskah yang sebaiknya dihapus atau dihilangkan.

Grisham percaya pada editornya. Meski merasa sayang karena harus menghapus banyak bagian dalam naskah, dia rela memangkas hampir separuh isi naskah yang telah ditulisnya. Hasilnya, naskah itu pun jauh lebih baik. Ketika terbit, A Time to Kill masih tergolong tebal, tapi kisahnya enak dibaca dan tidak bertele-tele. Novel itu bahkan menjadi debut yang hebat bagi Grisham—terjual ratusan ribu eksemplar, sampai difilmkan. Setelah itu, Grisham pun memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai pengacara, dan beralih profesi menjadi penulis.

Editor yang hebat adalah pencetak penulis hebat. Sebagaimana editor yang buruk adalah mimpi buruk setiap penulis. Untuk hal ini, David Rosenthal menyatakan, “Tidak ada hal yang lebih baik daripada seorang editor yang baik mendampingi seorang penulis. Penulis yang baik pasti akan setuju dengan pendapat itu. Dan tidak ada yang lebih merusak daripada seorang editor yang buruk, atau yang tak berbakat, yang mendampingi seorang penulis.”


Kode etik editor

Selain meng-update wawasan agar pengetahuan tidak ketinggalan zaman, hal lain yang juga perlu diingat editor adalah mengetahui batasannya dalam menangani naskah. Dalam profesinya, editor memiliki kode etik, khususnya ketika menangani naskah seorang penulis. Di antara beberapa kode etik tersebut, berikut adalah tiga poin yang kadang dilupakan editor:

1) Editor bukan penulis naskah.

2) Editor harus mempertahankan gaya tulisan penulis, jika maksud si penulis sudah jelas dan teksnya tidak bertele-tele; walaupun terkadang gaya tersebut tidak sesuai dengan selera si editor.
   
3) Editor tidak dibenarkan mengubah karya seorang penulis hanya untuk menyesuaikannya dengan gaya kalimatnya sendiri.


Naskah adalah karya penulis, bukan karya editor. Karenanya, gaya tulisan yang digunakan dalam naskah (yang kemudian terbit menjadi buku) adalah gaya si penulis, bukan gaya editor. Berdasarkan kode etiknya, editor harus menghormati gaya si penulis—meski gaya itu mungkin tidak sesuai seleranya—dan tidak berhak seenaknya mengubah gaya tulisan si penulis. Karenanya, editor yang memasukkan apalagi memaksakan gayanya sendiri ke dalam naskah, sama artinya melanggar hak si penulis.

Dalam Buku Pintar Penyuntingan Naskah (terbitan Gramedia, 2005), halaman 90, Pamusuk Eneste menjelaskan hal tersebut secara jelas dan lugas. Dia menyatakan, “Dalam menyunting naskah perlu disadari bahwa penyunting naskah berfungsi membantu penulis naskah. Jadi, penyunting naskah bukanlah penulis naskah! Dengan kata lain, yang harus ditonjolkan adalah gaya penulis naskah dan bukan gaya penyunting naskah. Hal ini perlu disadari agar penyunting naskah tidak sembarangan menyunting naskah menurut seleranya. Jadi, yang pokok adalah gaya si penulis dan bukan gaya si penyunting.”

Lanjut ke sini.

Dari Penulis kepada Editor (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Coba perhatikan, hanya untuk urusan kalimat atau ungkapan saja, masing-masing pihak bisa berbeda pikiran. Ilustrasi itu menunjukkan bahwa masing-masing penulis dan editor bisa jadi memiliki pemikiran berbeda atas isi suatu naskah, dan keduanya perlu menyadari bahwa diri mereka bisa keliru, sehingga terbuka pada masukan pihak lain. Karena itulah, sebagaimana yang ditekankan tadi, penulis maupun editor perlu menyadari bahwa kedudukan mereka setara. Kesadaran itu dibutuhkan, agar tidak ada pihak yang antikritik. Penulis bisa keliru, editor pun begitu.

Yang jadi masalah, kadang ada editor yang merasa dirinya lebih penting atau posisinya lebih tinggi dari penulis. Atau sebaliknya, ada penulis yang merasa dirinya lebih penting atau posisinya lebih tinggi dari editor. Ketika masing-masing pihak merasa lebih penting dan lebih tinggi dari yang lain, maka kerjasama pun tidak akan terjalin baik. Bahkan, jika dipaksakan, hasilnya juga akan meninggalkan rasa tidak puas bahkan penyesalan.

Posisi penulis dan editor

Kita mungkin pernah mendapati editor yang mengeluh, “Kalau sebuah buku sukses dan disukai pembaca, yang paling banyak mendapat pujian adalah penulis, padahal editor juga ikut berperan dalam buku tersebut.”

Mungkin memang benar. Ketika sebuah buku mengalami kesuksesan, nama penulisnya pun melambung dan segala puja-puji diarahkan kepadanya. Orang-orang tidak ingat bahwa ada editor yang juga ikut bekerja di balik kesuksesan buku itu. Tetapi jangan lupa, jika sebuah buku mendapat banyak kritik dari pembaca, yang paling malu dan menanggung beban adalah si penulis. Jika buku mengalami kegagalan dan jeblok di pasar alias tidak laku, yang paling menderita adalah penulis.

Agar lebih adil, mari kita lihat posisi editor dan penulis secara proporsional. Umumnya, editor adalah orang yang bekerja di sebuah penerbit. Editor mengerjakan tugas-tugas hariannya sehubungan dengan pekerjaannya di penerbit, dan setiap bulan mendapat gaji rutin. Bisa dibilang, editor tidak terlalu terpengaruh jika suatu buku yang dieditorinya ternyata jeblok di pasar, toh dia masih mendapat gaji secara rutin. Lebih dari itu, seorang editor menangani banyak naskah yang masuk ke penerbit, karena itu memang pekerjaannya.

Sekarang, mari kita lihat posisi penulis. Umumnya, penulis adalah pekerja profesional yang menjadikan aktivitas menulis sebagai mata pencaharian. Umumnya pula, para penulis mendapat “gaji” tiga atau enam bulan sekali, melalui royalti dari bukunya yang terjual. Karena menyadari nafkahnya berasal dari tulisan, para penulis pun berusaha agar naskahnya benar-benar bagus dan bisa diterima pasar. Karenanya pula, jika ternyata bukunya jeblok di pasar, yang paling menanggung akibat adalah penulis, karena jumlah royalti yang pasti minim. Belum lagi jika ada kritik dari pembaca akibat isi buku yang “kacau”.

Bagi editor, sebuah buku hanya “bagian pekerjaannya”. Bagi penulis, sebuah buku adalah “hidup matinya”. Jika sebuah buku gagal di pasar, editor masih mendapat gaji bulanan. Dengan kata lain, dia tidak terlalu terpengaruh dengan tidak lakunya buku tersebut. Tetapi, bagi penulis, gagalnya sebuah buku di pasar adalah risiko bagi nafkahnya.

Uraian ini mungkin terkesan blak-blakan, tetapi harus ada yang mengatakannya, agar masing-masing pihak bisa lebih saling memahami, khususnya editor. Jika seorang editor—atas nama penerbit—berharap suatu buku bisa sukses dan disukai pembaca, maka percayalah bahwa penulis jauh lebih menginginkan hal itu.

David Rosenthal, editor senior di Penerbit Random House, Amerika, mengatakan, “Di antara editor dan penulis harus ada rasa saling percaya yang luar biasa besar, yang ditopang oleh rasa saling menghargai, dan rasa saling menyenangi yang besar pula.”

Ketika penulis atau editor merasa lebih tinggi dari lainnya, maka yang menjadi korban pertama adalah kualitas buku yang kemudian terbit. Buku buruk yang mungkin pernah kita baca belum tentu memang berasal dari naskah buruk. Bisa jadi, naskah buku itu sebenarnya bagus, tapi hubungan editor dan penulis yang buruk kemudian menjadikan hasil bukunya menjadi buruk.

Seperti yang saya ceritakan di sini, ada penulis mengirim naskah ke penerbit, dan dalam naskah itu si penulis menggunakan kata ganti “kau” untuk menyapa pembaca. Oleh editor, kata ganti “kau” diubah menjadi “engkau”, karena menurutnya itulah yang benar. Si penulis sudah menyampaikan pada editor, bahwa istilah “kau” sekarang telah digunakan di banyak buku, dipakai oleh banyak penulis, pengarang, bahkan sastrawan. Tapi editor tetap memaksa istilah “kau” harus diubah menjadi “engkau”, karena menurutnya itulah yang benar.

Karena tidak terjadi kesepakatan, si penulis memilih untuk menarik kembali naskahnya. Hasilnya, naskah itu kemudian diterbitkan penerbit lain, dan istilah “kau” tetap dipertahankan dalam naskah. Belakangan, si penulis bercerita, “Untung aku sempat membaca editing naskah itu sebelum bukunya terbit. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana anehnya buku itu kalau di dalamnya penuh istilah ‘engkau’ yang sudah ketinggalan zaman. Bukan hanya isi buku yang akan aneh, aku juga pasti akan sangat malu.”

Sekarang bayangkan jika buku itu terbit melalui penerbit pertama, yang editornya ngotot mengubah “kau” menjadi “engkau”. Hasilnya pasti akan menjadi buku yang aneh, dan bisa jadi para pembaca akan menuduh si penulis ketinggalan zaman. Padahal bukan si penulis yang ketinggalan zaman, tapi editornya yang tidak mengikuti perkembangan zaman, khususnya perkembangan bahasa dan teknik penulisan.

Menulis adalah kerja kreatif. Sebagaimana kerja kreatif lain, seorang penulis perlu terus mengasah diri, memperbaiki diri, menyempurnakan diri, dan proses itu bisa dibilang tak pernah berhenti. Tetapi, yang memiliki tanggung jawab semacam itu bukan hanya penulis. Editor juga perlu meng-update bahkan meng-upgrade pengetahuan dan wawasannya, agar bisa terus mengikuti perkembangan, dalam hal ini perkembangan bahasa, teknik penulisan, dan—lebih khusus—gaya tulisan si penulis.

Bahasa terus berkembang, berbagai istilah baru terus muncul, istilah lama diperbaiki, sementara berbagai istilah lain telah ditinggalkan karena usang. Teknik penulisan baru yang lebih modern juga mulai menggantikan teknik penulisan lama. Pengetahuan-pengetahuan semacam itu tidak hanya perlu diketahui penulis, namun juga editor. Agar keduanya bisa saling mengimbangi, agar keduanya bisa saling melengkapi. Lebih dari itu, agar keduanya tidak saling merasa lebih tinggi.

Well, jika kita perhatikan novel-novel lama, misalnya, kita sering mendapati tanda *** (tiga bintang) yang biasa digunakan untuk membatasi adegan per adegan. Coba buka novel serial Lupus terbitan lama, atau novel-novel lama karya Mira W atau Marga T. Di novel-novel itu, ada banyak tanda *** yang terus muncul setiap kali adegan berganti. Umumnya, novel-novel di masa lalu menggunakan satu plot, dengan adegan per adegan yang cukup panjang, sehingga satu adegan dengan adegan lain kadang berbeda waktu.

Di masa lalu, penggunaan *** dalam novel bisa dibilang telah baku. Setiap kali adegan berganti, penulis membubuhkan tanda itu. Tetapi, sekarang, seiring perkembangan teknik penulisan novel modern, tanda *** telah mulai ditinggalkan. Para penulis modern tidak lagi menulis novel dengan adegan per adegan panjang dengan satu plot, tetapi menggunakan alur yang lebih cepat sehingga adegannya lebih singkat, dan menggunakan beberapa plot sekaligus dalam satu waktu.

Teknik penulisan modern yang lebih cepat terbukti lebih disukai pembaca, karena jalan cerita tidak membosankan dan tidak bertele-tele. Karena adegan per adegan dalam novel modern semakin singkat, sementara plot yang digunakan biasanya lebih dari satu, maka penggunaan tanda *** pun ditinggalkan. Sebagai gantinya, penulis akan meletakkan jarak (biasanya dobel spasi) untuk memisahkan adegan per adegan dalam novel.

Untuk lebih memahami yang saya maksudkan, buka dan perhatikanlah novel-novel (asli atau terjemahan) karya Sidney Sheldon, Mary Higgins Clark, Sandra Brown, atau penulis-penulis modern dari Indonesia maupun luar negeri. Penulis-penulis novel modern tidak lagi membubuhkan tanda *** ketika berganti adegan, karena kisah dalam novel modern berjalan lebih cepat, sementara plotnya terus berganti-ganti dalam satu waktu.

Di masa lalu, satu adegan dalam novel bisa sepanjang beberapa halaman. Sekarang, seiring teknik penulisan modern, satu adegan dalam novel bisa hanya beberapa paragraf atau bahkan beberapa baris. Hasilnya, pembaca bisa menikmati kisah yang filmis—imajinasi mereka lebih mudah berjalan seperti saat menyaksikan film—karena adegan per adegan dalam novel terus berganti secara simultan, dan tidak lagi panjang bertele-tele.

Lanjut ke sini.

Dari Penulis kepada Editor (1)

editor & penulis itu setara. tentu, keduanya akan bersama-sama
menjadi lebih baik bila mau belajar & saling menerima masukan.
@windyariestanty


Pengantar:

Catatan ini berjudul Dari Penulis kepada Editor, karena saya menulisnya dari sudut pandang penulis. Untuk setiap istilah “penulis” yang digunakan dalam catatan ini, yang dimaksud adalah “penulis profesional”, kecuali jika dinyatakan lain.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Penjelasan-penjelasan teknis dalam catatan ini merujuk pada—khususnya—Buku Pintar Penyuntingan Naskah yang ditulis Pamusuk Eneste yang banyak digunakan di Indonesia, Book Editors Talk to Writers (kumpulan transkripsi wawancara tentang aspek editorial) terbitan John Wiley & Sons, dan The Cambridge Handbook for Editors, Copy-editors, and Proofreaders yang digunakan berbagai penerbit di dunia.



Istilah “editor” dan “editing” berasal dari bahasa Inggris. Istilah itu mengambil dari bahasa Latin, “editus”, yang berarti “menyajikan kembali”. Kamus Inggris-Indonesia (Echols & Shadily) menyebut bahwa “editor” bermakna redaktur; pemeriksa naskah untuk penerbitan. Sedangkan istilah “edit” bermakna membaca dan memperbaiki (naskah), mempersiapkan (naskah) untuk diterbitkan. Sementara KBBI menyebut “editor” sebagai orang yang mengedit naskah tulisan atau karangan yang akan diterbitkan di majalah, surat kabar, dan sebagainya.

Sebenarnya, dalam dunia penerbitan, ada banyak istilah editor, dari editor-in-chief (pemimpin redaksi), managing editor (redaktur pelaksana), editor (redaktur), dan lain-lain. Namun, yang akan kita bahas dalam catatan ini adalah editor yang berhubungan dengan penulis dalam rangka kerjasama penerbitan naskah buku. Bisa jadi, di masing-masing penerbit, istilah untuk editor semacam itu berbeda. Karenanya, untuk memudahkan pemahaman bersama, saya hanya akan menyebut “editor”.

Di dunia penerbitan, penulis dan editor memiliki peran sangat penting, bahkan bisa dibilang penggerak utama. Penulis memproduksi naskah, sementara editor menjadi jembatan agar naskah penulis bisa diterima publik. Kerjasama keduanya difasilitasi penerbit, dan lahirlah buku yang beredar secara luas dan sampai ke tangan pembaca.

Meski peran penerbit (dan elemen lain semisal proofreader, desainer sampul, dan lainnya) tidak bisa dikesampingkan dalam lahirnya sebuah buku, namun catatan ini hanya akan berfokus pada hubungan antara penulis dan editor. Kedua pihak itu ada di balik industri penerbitan dengan tujuan saling melengkapi. Sehebat apa pun seorang penulis, ia tetap manusia yang bisa keliru, khilaf, juga bisa subjektif. Karenanya, penulis butuh editor. Sebaliknya, sehebat apa pun seorang editor, ia juga tetap manusia yang tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan. Karena editor memang bukan Tuhan.

Mari kita mulai dari editor. Di dunia penerbitan buku, editor adalah jembatan yang menghubungkan penulis, penerbit, dan pembaca. Editor harus menjadikan karya si penulis lebih bagus, agar pembaca puas menikmati hasilnya, dan penerbit mendapat keuntungan dari penjualan buku. Jika tugas itu dapat dijalankan dengan baik, semua pihak (penulis, pembaca, dan penerbit) akan puas. Sebaliknya, jika tugas itu tidak beres, maka hubungan dengan penulis bisa rusak, pembaca tidak puas, sementara penerbit tidak memperoleh untung.

Sekarang kita lihat tugas penulis. Dalam industri penerbitan, penulis bekerja menghasilkan naskah untuk penerbit. Ketika membuat naskah, para penulis profesional tidak hanya berusaha menghasilkan karya yang bagus, tapi juga memikirkan prospek dari karyanya. Bagaimana pun, mereka menggantungkan hidup pada menulis. Jika karyanya tidak laku, maka mereka akan kehilangan banyak waktu, tenaga, pikiran, bahkan biaya.

Dari ilustrasi singkat itu, kita melihat masing-masing tugas editor maupun penulis tidak ringan. Penulis bekerja menghasilkan naskah, sementara editor bertugas menjadikan naskah itu memberi kepuasan dan keuntungan bagi semua pihak. Nah, karena pihak penerbit yang berhubungan langsung dengan penulis adalah editor, maka penulis dan editor harus saling memahami. Bukan hanya memahami tugas masing-masing dalam kerjasama mereka, namun juga memahami bahwa mereka adalah dua orang dengan kedudukan setara.

Poin itu sengaja saya tekankan, karena kadang ada penulis yang merasa lebih tinggi dari editor, sebagaimana juga kadang ada editor yang merasa lebih tinggi dari penulis. Ketika kenyataan semacam itu yang terjadi, maka kerjasama pun tidak akan berjalan baik. Kesadaran bahwa penulis dan editor memiliki posisi setara dibutuhkan keduanya, agar masing-masing penulis dan editor terbuka pada saran, masukan, bahkan kritik, serta tidak merasa dirinya yang pasti benar. 

Ketika menulis dan menghasilkan naskah, bagaimana pun penulis tetap manusia. Artinya, selalu ada kemungkinan kesalahan dalam tulisannya—meski definisi “kesalahan” dalam naskah bisa sangat beragam dan tersamar. Kita tidak perlu membahas kesalahan tulis atau kesalahan ejaan, karena itu sudah jelas salah. Unsur subjektivitas, misalnya, adalah kesalahan umum yang biasa dilakukan penulis, meski para penulis kadang tidak menyadari.

Mari kita gunakan contoh, agar yang saya maksud bisa lebih dipahami.

Ketika menulis, kadang penulis memasukkan humor tertentu ke dalam tulisan. Dia mungkin sangat mengenal humor tersebut, dan menyukainya. Tapi apakah humor itu juga dipahami orang lain, khususnya pembaca bukunya? Ada humor universal, yaitu humor yang memang bisa dipahami semua orang. Ada humor internal, yaitu humor yang hanya dipahami sekelompok orang tertentu. Begitu pula ada humor basi, yaitu humor yang terlalu sering diungkapkan, sehingga orang tidak bisa lagi tertawa saat membaca atau mendengarnya.

Karena kurang pengetahuan, bisa jadi penulis baru mendengar atau mengetahui suatu humor, dan dia sangat menyukainya, padahal humor tersebut sudah sangat basi. Atau, dalam kasus lain, seorang penulis menyukai suatu humor, dan memasukkannya ke dalam naskah dengan harapan orang lain akan tertawa. Padahal itu humor internal, yang tidak dipahami semua orang. Alih-alih tertawa, pembaca justru mengerutkan kening karena tidak paham.

Ketika hal semacam itu terjadi, penulis membutuhkan editor. Editor akan memberitahu hal tersebut, dan menjelaskan bahwa bagian humor itu bermasalah. Solusinya, penulis bisa menghapus bagian itu dari naskah, atau menggantinya dengan yang lebih baik. Jika si penulis memang menyadari dirinya keliru, maka dia tentu perlu memenuhi saran editor.

Itu contoh sepele dalam hubungan antara penulis dan editor, khususnya dalam hal penulisan naskah. Para pemula mungkin tidak sampai memikirkan hal-hal itu, tapi para profesional sangat memperhatikan. Jangankan sebuah ilustrasi berbentuk humor (sebagaimana yang saya gunakan dalam contoh tadi), bahkan kalimat pun kadang sangat diperhatikan, baik oleh editor maupun oleh si penulis.

Dalam Majalah Tempo, edisi Oktober 2014, Ayu Utami menceritakan “perdebatan” yang ia lakukan dengan editornya, menyangkut suatu kalimat yang digunakan dalam naskah novel Bilangan Fu. Ceritanya, dalam naskah novel itu, Ayu Utami menulis ungkapan, “padaku ada sesuatu”. Karena pertimbangan tertentu, editor ingin menyederhanakan kalimat itu dan menggantinya jadi “aku punya sesuatu”. Tapi Ayu Utami menolak, dan tetap ingin menggunakan kalimat yang ditulisnya. Untuk hal itu, dia menjelaskannya seperti ini (saya kutip secara utuh dari Majalah Tempo):

Saya bertahan, sebab penyederhanaan itu mengubah makna. Sesungguhnya bukan cuma mengubah arti, melainkan mengganti paradigma berpikir-jika bukan berkesadaran. “Padaku ada sesuatu” dan “aku punya sesuatu” adalah dua kalimat yang berasal dari cara pikir yang berbeda. Dunia modern yang mencari kecepatan dan kesederhanaan mungkin menyukai yang kedua. Kalimat aktif, subjek-predikat-objek, jelas. Huh, Microsoft Office pun lebih suka kalimat aktif daripada pasif!

Tapi, perhatikanlah, kalimat kedua itu membuat perkara jadi sekadar relasi kepemilikan. Saya punya sesuatu. Katakanlah, saya punya roh. Atau saya punya nyawa. Saya punya suami. Saya punya anak. Sebaliknya, struktur kalimat yang pertama tidak melihat perkara dalam relasi kepunyaan. Pada saya ada roh. Pada saya ada nyawa. Pada saya ada istri. Pada saya ada suami. Pada saya ada anak. Struktur ini berasal dari kesadaran bahwa ada yang tidak berada dalam hubungan kepemilikan. Dan itu biasanya berhubungan dengan kemanusiaan atau kehidupan. Jika kita beranggapan bahwa sesuatu hidup karena memiliki roh atau spirit, cara pandang ini dekat dengan cara spiritual.


Lanjut ke sini.

Mengapa Cewek Sekarang Bening-bening?

Darwin tertawa dalam kuburnya.

Kamis, 12 Maret 2015

“Jadul”, “Jomblo”, dan Lainnya

“Berlomba-lomba” adalah istilah kuno. Mari kita cari
istilah lain yang sepadan, tapi lebih modern.
@noffret


Seorang teman mendapati istilah “zadul” dalam koran, dan dia heran. Dia menyadari bahwa “zadul” yang dimaksud dalam tulisan di koran tersebut adalah singkatan “zaman dulu”. Dia juga memahami bahwa penyingkatan “zaman dulu” menjadi “zadul” mengadopsi singkatan populer “jadul” yang merupakan akronim “jaman dulu”. Yang membuatnya heran, kenapa editor koran itu sampai “memaksa” istilah populer “jadul” menjadi “zadul”?

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Saat dia menanyakan hal itu, saya mengajukan pandangan bahwa editor koran itu sengaja mengubah “jadul” menjadi “zadul”, demi memenuhi kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena, dalam bahasa Indonesia baku, yang benar adalah “zaman”—bukan “jaman”. Karenanya pula, ketika ingin menyingkat “zaman dulu”, dia pun menggunakan istilah “zadul”—bukan “jadul”.

“Tapi jadul kan sudah jadi semacam idiom,” sahut teman saya. “Sepertinya kok jadi aneh, ketika idiom terkenal—semacam jadul—tiba-tiba diubah menjadi zadul. Kesannya kok maksa banget.”

Saya setuju dengannya. Kita yang terbiasa menggunakan istilah “jadul” untuk menyebut atau menyingkat “jaman dulu”, tentu agak aneh ketika mendapati istilah itu dibakukan menjadi “zadul”. Sama halnya ketika kita mendapati istilah “jomlo” di buku, padahal yang dimaksud adalah “jomblo”. Kenapa penulis/editor buku tersebut menggunakan istilah “jomlo” (tanpa b) padahal istilah “jomblo” (dengan b) telah populer sebagai idiom?

Saat menelusuri istilah itu, saya mendapat keterangan bahwa istilah sebenarnya memang “jomlo” (tanpa b). “Jomlo” berasal dari bahasa Sunda, yang artinya kira-kira “perempuan yang telah berumur, namun belum punya pasangan atau belum menikah”. Ketika istilah itu populer dalam pergaulan sehari-hari, yang berubah bukan hanya makna atau artinya, tapi juga cara penulisannya.

Jika sebenarnya arti “jomlo” hanya merujuk pada perempuan yang telah berumur namun belum punya pasangan, kini “jomlo” memiliki arti lebih luas, yaitu siapa pun—perempuan atau laki-laki—yang tidak atau belum punya pasangan. Selain itu, penyebutan atau penulisan “jomlo” menjadi “jomblo” (mendapat tambahan b)—mungkin karena efek pengucapan dalam bahasa/percakapan sehari-hari.

Ketika istilah itu populer dan biasa digunakan, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memasukkannya ke dalam daftar istilah Indonesia, dan membakukannya sebagai “jomlo”, sesuai istilah aslinya. Karenanya, penulis/editor yang ingin mematuhi aturan baku KBBI pun cenderung menulis istilah itu dengan “jomlo”, bukan “jomblo”. Lalu mana yang benar? Kalau merujuk pada KBBI, maka yang benar adalah “jomlo” (tanpa b).

Sekali lagi teman saya menyanggah, bahwa hal itu kesannya “terlalu maksa”. Bagaimana pun, dia berkata, istilah “jadul” atau “jomblo” telah menjadi idiom sehari-hari, dan orang telah menggunakannya bersama istilah lain dalam percakapan. Mengubah “jadul” menjadi “zadul” atau mengubah “jomblo” menjadi “jomlo” kesannya malah aneh, meski dianggap benar.

Dalam beberapa hal, saya setuju dengannya. Segala yang telah menjadi kebiasaan memang sering kali telah dianggap benar, sampai kemudian kita diberitahu sebaliknya. Begitu pula dalam hal bahasa atau berkata-kata. Bahasa, sebagaimana hal lain, adalah soal kebiasaan. Dan sebagaimana hal lain pula, yang biasa kita lakukan kadang belum tentu benar.

Saat ini, masih banyak orang yang terbiasa menulis “resiko”, meski sebenarnya salah, karena yang benar adalah “risiko”. Istilah “risiko” diadopsi dari bahasa Inggris, yaitu “risk”. Ketika dibakukan ke dalam bahasa Indonesia, istilah itu menjadi “risiko”—bukan “resiko”. Begitu pula, banyak orang yang masih terbiasa menggunakan istilah “sekedar”, meski yang benar adalah “sekadar”. Kebiasaan belum tentu benar, begitu pula dalam kebiasaan menggunakan kata-kata.

Rhoma Irama adalah penyanyi dan pencipta lagu yang hebat—dunia mengakuinya. Dia bisa menulis lirik-lirik lagu indah, kemudian menciptakan musik yang sama indahnya. Tetapi bahkan orang yang terkenal hebat semacam itu pun tidak terjamin lepas dari kekhilafan berbahasa. Dalam beberapa lagunya, Rhoma Irama masih terjebak dalam penggunaan istilah yang keliru, hanya karena istilah itu telah menjadi kebiasaan.

Rhoma Irama punya lagu yang sangat saya sukai, berjudul “Gali Lobang Tutup Lobang”. Sebagai musik, lagu itu hebat. Tetapi secara bahasa, kata-kata dalam lagu itu mengalami banyak kesalahan. Dalam bahasa Indonesia baku, yang benar adalah “lubang” bukan “lobang”. Begitu pula, yang benar adalah “utang” bukan “hutang”. Kita menyebut “utang piutang” bukan “hutang pihutang”.

“Pikiran” dan “fikiran”—mana yang benar? Merujuk pada bahasa Indonesia baku, yang benar adalah “pikiran”. Kita “berpikir” bukan “berfikir”. Sebaliknya, “nafsu” dan “napsu”, yang benar adalah “nafsu”. Kemudian, “handal” adalah istilah yang keliru, karena yang benar adalah “andal”. Istilah lain yang juga sering disalahpahami adalah “tips”. Sebenarnya itu juga keliru, karena yang benar adalah “tip” (tanpa s). “Tips” yang kita pahami selama ini berasal dari bahasa Inggris, dan tambahan “s” pada “tips” sebenarnya menyiratkan arti jamak (dalam perspektif bahasa Inggris).

Kemudian, masih banyak orang yang keliru membedakan antara “simpati” dan “simpatik”. Orang kadang menulis, “Aku simpatik kepadanya.” Padahal, “simpatik” adalah kata sifat, sedangkan “simpati” adalah kata kerja. Karenanya, kalimat “Aku simpatik kepadanya” tidak tepat, karena yang benar “Aku simpati kepadanya.”

Pengetahuan dan pemahaman mengenai bahasa adalah hal penting bagi penulis, editor, atau siapa pun yang aktif di dunia kepenulisan. Penulis adalah produsen kata-kata, pencipta tulisan. Mereka memiliki pengaruh besar dalam mengenalkan istilah atau kata-kata yang benar kepada para pembaca. Karenanya, selain perlu terus mengasah diri agar semakin terampil menulis, penulis juga harus akrab dengan kamus (di antaranya KBBI) agar mengetahui kata dan istilah yang benar.

Sejujurnya, dalam hal ini, saya pun masih perlu banyak belajar, karena kadang masih keliru menggunakan istilah tertentu, atau bahkan salah ketika menulis kata-kata tertentu. Jika saya introspeksi, kekeliruan atau bahkan kesalahan yang terjadi sering kali bukan karena kekhilafan (salah ketik atau salah tulis), melainkan lebih karena kebiasaan—dalam hal ini kebiasaan menggunakan kata-kata.

Ada kisah menarik menyangkut hal ini, yang menunjukkan besarnya pengaruh kebiasaan, khususnya dalam kebiasaan menggunakan istilah. Seorang penulis mengirim naskah ke suatu penerbit. Dalam naskah itu terdapat kata “lavendel”—tumbuhan berbunga harum yang dibuat minyak wangi.

Ketika naskah itu terbit menjadi buku, istilah “lavendel” telah diubah editornya menjadi “lavender”. Si penulis memprotes pada editornya, karena istilah itu diubah. Si editor menjelaskan bahwa yang benar adalah “lavender”. Ketika dia mendapati kata “lavendel” dalam naskah, dia mengira si penulis salah ketik, jadi dia pun “membetulkannya”.

Manakah yang benar—lavender atau lavendel? Jika merujuk pada KBBI, yang benar adalah “lavendel” bukan “lavender”, meski istilah “lavender” mungkin lebih terkenal karena biasa digunakan sehari-hari. Coba lihat, bahkan editor yang sangat akrab dengan dunia kepenulisan pun bisa terjebak dalam kekeliruan penggunaan istilah, hanya karena istilah itu telah menjadi kebiasaan.

Kasus lain yang tak jauh beda terjadi pada istilah “kau”. Kisahnya, seorang penulis mengirimkan naskah yang di dalamnya menggunakan istilah “kau”. Istilah itu ia gunakan untuk menyapa pembaca, juga dalam percakapan yang terdapat dalam naskah. Oleh editor, istilah “kau” dalam naskah diubah menjadi “engkau”. Ketika si penulis mendapati hal itu, seketika dia menolak. Isi naskahnya akan menjadi kaku sekaligus aneh jika istilah “kau” diubah menjadi “engkau”.

Si editor menjelaskan, bahwa yang benar adalah “engkau”, bukan “kau”. Si penulis heran, dan mengira si editor mungkin terlalu lama membaca buku-buku ejaan lama, hingga tidak mengetahui bahwa istilah “kau” telah ada dalam jutaan buku yang menggunakan bahasa Indonesia baku, dan telah digunakan oleh banyak penulis, pengarang, serta sastrawan. Hanya karena masalah itu, si penulis menarik naskahnya—dia tidak mau naskahnya terbit menjadi buku yang aneh, hanya karena menggunakan istilah “engkau”. 

Sekali lagi, coba lihat. Bahkan seorang editor yang seharusnya mampu mengikuti perkembangan bahasa pun kadang masih ketinggalan, hingga terus memegang kebiasaan-kebiasaan lama, meski sebenarnya sudah kedaluwarsa.

Bahasa adalah soal kebiasaan. Namun, di luar itu, bahasa juga terus berkembang secara dinamis. Karena perkembangannya yang dinamis pula, ada banyak istilah baru yang muncul, sebagaimana ada banyak istilah yang telah dianggap kuno atau usang. Kalimat-kalimat yang dulu dianggap hebat, bisa jadi saat ini telah dianggap ketinggalan zaman. Penulis, editor, juga orang-orang lain yang aktif dalam dunia kepenulisan, perlu terus meng-update pengetahuan agar bisa terus mengikuti perkembangan dan dinamika bahasa.

Di masa lalu, kalimat “saya mendesak Anda untuk melakukan hal ini,” mungkin terdengar hebat. Tetapi, di masa sekarang, kalimat semacam itu sudah kuno, bahkan menggelikan. Kalimat yang diawali “saya mendesak Anda” atau semacamnya sudah sangat ketinggalan zaman, karena berbagai kalimat baru yang lebih baik dan variatif telah menggantikannya.

Itu tak jauh beda dengan kalimat yang biasa muncul di spanduk. Di zaman Orde Baru, kalimat “dalam rangka menyambut hari bla-bla-bla...” mungkin dianggap modern. Tetapi, di zaman sekarang, kalimat semacam itu sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman, karena berbagai kalimat baru yang lebih baik dan variatif telah menggantikannya.

Berbahasa Indonesia yang baik dan benar—dalam konteks penulisan modern—bukan saja berarti menggunakan bahasa yang tepat, melainkan juga menggunakan kata-kata dan kalimat yang tidak kuno atau sudah usang. Di masa lalu, kata “agar supaya” mungkin masih terdengar benar. Tetapi di masa sekarang, “agar supaya” bukan hanya salah (karena mengalami penumpukan kata), tetapi sudah sangat kuno. Begitu pula kata “sedemikian hingga”—sama usang dan sama kunonya.

Istilah lain yang sama menggelikan adalah “beliaunya”. Dalam teknik penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kata itu bahkan sebenarnya sudah salah, karena menambahkan “nya” pada “beliau”. Itu salah satu bentuk “kemubaziran berbahasa”. Kata ganti—semisal “saya”, “Anda”, “kamu”, “dia”, “mereka”—tidak membutuhkan tambahan “nya”. Penulis/editor yang baik akan mengenali hal itu, dan akan memangkas/menghilangkan semua “nya” pada setiap kata ganti yang terdapat dalam tulisan.

Omong-omong soal kata ganti “beliau”, saat ini sudah sangat jarang penulis modern menggunakan istilah itu. Di masa lalu, “beliau” mungkin terdengar hebat, karena terkesan menghormati orang yang kita sebut dalam tulisan. Tapi di masa sekarang, istilah “beliau” terdengar kuno dan feodal. Karenanya, jika kita perhatikan, kebanyakan penulis modern sangat jarang menggunakan istilah “beliau”, dan baru menggunakannya jika kebetulan menyebut orang yang benar-benar tepat—misalnya ketika menyebut Nabi.

Teknik penulisan di koran/majalah (cetak) yang baik dan berintegritas—misalnya Kompas atau Tempo—bisa dijadikan acuan dalam mengenal teknik penulisan bahasa Indonesia modern. Di koran atau majalah itu sangat jarang, bahkan nyaris tidak ada istilah “beliau”. Ketika menyebut lurah, camat, bupati, bahkan presiden, para jurnalis menggunakan kata ganti “dia”, bukan “beliau”. Karena kenyataannya istilah “beliau” memang sudah jarang digunakan, khususnya dalam tulisan.

Bahasa terus berkembang, begitu pula teknik penulisan. Dalam teknik penulisan modern, ada banyak hal yang telah berubah dan berkembang, dan dalam perkembangan itu banyak hal yang telah dianggap kuno sehingga telah ditinggalkan. Dalam hal ini, sekali lagi, setiap penulis, editor, dan siapa pun yang aktif di dunia kepenulisan, perlu terus meng-update pengetahuan agar tidak ketinggalan zaman. Karena segala yang kita anggap biasa kadang sudah kedaluwarsa, yang kita anggap hebat kadang sudah berkarat.

Penulis perlu terus mengasah diri, meng-update dirinya agar dapat mengenali perkembangan bahasa serta teknik penulisan, dan editor juga perlu melakukan hal yang sama. Dalam kerja kepenulisan, penulis membutuhkan kerjasama bahkan bantuan editor. Editor yang baik akan menjadikan karya si penulis semakin baik, sebagaimana editor yang ketinggalan zaman akan menjadikan karya si penulis berantakan.

Di catatan mendatang, kita akan membicarakan lebih spesifik mengenai hubungan penulis-editor, kerjasama mereka, dan kaitannya dengan konteks penulisan modern.

 
;