Rabu, 26 Oktober 2016

Korban Broken Home

Hal terbesar yang kusesali dalam hidup adalah kelahiranku di dunia.
Dan orang yang paling kubenci di dunia ini adalah orangtuaku.
Alwa


Istilah “broken home” biasanya lekat—atau dilekatkan—pada perceraian dua orangtua yang telah memiliki anak (atau anak-anak). Karenanya, istilah broken home sering (bahkan selalu) ditujukan untuk menyebut anak-anak yang orangtuanya bercerai. Mereka pun disebut “anak-anak korban broken home”.

Jika sepasang suami istri bercerai, dan mereka tidak/belum punya anak, maka perceraian mereka bisa dibilang selesai. Dalam arti, perceraian itu tidak melahirkan sesuatu yang disebut “broken home”. Tetapi, jika sepasang suami istri bercerai, dan mereka telah memiliki anak, maka lahirlah istilah “broken home”, yang ditujukan untuk si anak.

Saya sering memikirkan, apakah istilah “broken home” hanya sebatas itu? Apakah “anak korban broken home” hanyalah anak-anak yang kedua orangtuanya bercerai? Karena, di dunia ini, ada banyak keluarga yang tampak baik-baik saja—dua orangtua tidak bercerai—tetapi anak-anak dalam keluarga itu menghadapi petaka yang lebih mengerikan, dibanding anak-anak korban broken home (yang orangtuanya bercerai).

Mari kita lihat dulu anak-anak korban broken home yang kedua orangtuanya bercerai. Bagaimana pun, mereka anak-anak malang, karena tidak lagi memiliki kasih sayang dan cinta orangtua sebagaimana seharusnya. Jika anak-anak di keluarga lain biasa berkumpul dengan ayah dan ibu, anak korban broken home tentu tidak bisa, karena ayah dan ibu mereka bercerai dan berpisah.

Mungkin anak korban broken home bisa berkumpul dengan sang ayah atau dengan sang ibu, atau memilih berpisah dengan keduanya, dan hidup sendiri. Yang jelas, anak korban broken home tidak bisa berkumpul dengan kedua orangtua sebagaimana keluarga yang utuh. Sesekali mungkin orangtua bertemu, dan mereka bisa menjadi keluarga yang utuh. Tetapi, bagaimana pun dua orangtua mereka telah bercerai, sehingga tidak mungkin bertemu dan bersama seterusnya.

Kondisi itu berbeda dengan anak-anak yang orangtuanya masih utuh, dalam arti masih bersama, dan tidak bercerai. Karena memiliki kedua orangtua dengan jelas, mereka pun dapat hidup bersama ayah dan ibu, memperoleh cinta, kasih sayang, dan perhatian mereka sepenuhnya. Itu faktor penting yang tidak dimiliki anak-anak korban broken home. Cinta, kasih sayang, dan perhatian, dua orangtua sekaligus.

Memang tidak semua anak korban broken home pasti menjadi pribadi yang negatif atau orang gagal. Banyak pula anak korban broken home yang menjadi pribadi baik, bahkan menjadi orang sukses. Tetapi, bagaimana pun, mereka telah kehilangan sesuatu yang seharusnya mereka terima sebagai anak. Yaitu kasih sayang dan cinta orangtua. Itu, di dalam lubuk hati mereka, meninggalkan lubang—atau bahkan luka—yang selalu menganga.

Saya bukan anak korban broken home, dalam arti kedua orangtua saya tidak bercerai. Karenanya, saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi anak yang orangtuanya bercerai. Tetapi, setidaknya, saya bisa membayangkan sesuatu yang mungkin dirasakan anak-anak korban broken home. Kehilangan kasih sayang orangtua, merasa ditinggalkan, atau bahkan merasa terbuang.

Sekarang, saya ingin mengajak kita semua berpikir, dan memikirkan, apakah anak-anak yang disebut “korban broken home” hanya sebatas mereka yang kedua orangtuanya bercerai?

Hal pertama yang hilang dari anak-anak korban broken home adalah kasih sayang orangtua. Apakah yang kehilangan kasih sayang orangtua hanya mereka yang orangtuanya bercerai?

Di sinetron-sinetron, atau di film-film, kadang ada ilustrasi “broken home” dalam bentuk lain. Biasanya diwujudkan dengan sebuah keluarga kaya. Si ayah sibuk kerja atau mengurus bisnis, si ibu sibuk arisan atau semacamnya, dan si anak kehilangan kasih orangtua.

Dalam bingkai semacam itu, si anak pun disebut “korban broken home”. Karena itu, “anak korban broken home” tidak harus selalu yang kedua orangtuanya bercerai. Bahkan dua orangtua masih bersama pun, si anak bisa saja menjadi korban broken home, jika tidak mendapat kasih sayang cukup dari orangtua.

Yang membuat saya sering bingung, penggambaran “broken home” di sinetron atau di film-film sering kali diilustrasikan dengan keluarga kaya. Akibatnya, kebanyakan orang berpikir bahwa “anak-anak korban broken home” hanyalah anak-anak orang kaya.

Sangat jarang sekali—bahkan nyaris tidak pernah—saya melihat penggambaran “anak korban broken home” dari keluarga miskin. Seolah-olah yang berhak menyandang sebutan “anak korban broken home” hanya anak-anak orang kaya. Padahal, sebagaimana pada keluarga kaya, keluarga miskin pun sama melahirkan “anak-anak broken home”, bahkan bisa jadi lebih banyak.

Mari kita kembali mengingat, bahwa faktor utama yang dihadapi anak-anak korban broken home adalah hilangnya kasih sayang dan perhatian orangtua. Anak-anak yang kedua orangtuanya bercerai, kehilangan kasih sayang mereka. Anak-anak yang orangtuanya sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, juga menghadapi hal sama, kehilangan kasih sayang mereka. Pertanyaannya, apakah kondisi semacam itu hanya terjadi pada anak-anak dari keluarga kaya?

Jawabannya, tentu saja, tidak! Tak peduli keluarga kaya, atau keluarga menengah, atau keluarga miskin, semuanya berpotensi melahirkan anak-anak korban broken home!

Kadang-kadang—bahkan sering kali—sinetron atau film menipu kita habis-habisan. Keluarga kaya digambarkan kacau tak karuan, lalu anak-anak tumbuh liar tanpa kasih sayang. Di waktu yang sama, keluarga miskin digambarkan hidup rukun, damai sentosa, dengan anak-anak yang hormat pada orangtua, dengan ayah dan ibu yang begitu menyayangi keluarga.

Mungkin memang ada yang begitu. Mungkin memang ada keluarga kaya yang kacau berantakan, dan anak-anak tumbuh liar. Begitu pun, mungkin ada keluarga miskin yang hidup rukun, damai sentosa, penuh kasih sayang dan cinta. Tetapi, tentu saja, tidak semua keluarga kaya pasti begitu, sebagaimana tidak semua keluarga miskin pasti begitu!

Keluarga kaya maupun keluarga miskin sama-sama punya potensi untuk menjadi keluarga yang baik dan rukun, sebagaimana mereka juga berpotensi untuk melahirkan anak-anak broken home!

Selepas SMA, dulu saya sempat bekerja di pabrik batik, yang dimiliki sebuah keluarga kaya-raya. Keluarga majikan saya memiliki tiga anak—dua laki-laki, dan satu perempuan. Waktu saya masih bekerja di sana, dua anak laki-laki masih SMA, sedang si anak perempuan belum sekolah.

Tempat kerja saya waktu itu di garasi mobil keluarga, yang luasnya melebihi rumah orangtua saya. Karena setiap hari berada di sana, saya pun bisa melihat langsung kehidupan anak-anak kaya itu, serta menyaksikan interaksi mereka dengan orangtua.

Seperti anak-anak orang kaya umumnya, dua bocah SMA itu menjalani gaya hidup sebagaimana anak-anak konglomerat. Sementara teman-teman sekolahnya naik sepeda motor, mereka naik mobil. Sementara saya bekerja seharian hanya untuk mendapat uang beberapa ribu perak, mereka menghabiskan ratusan ribu setiap kali jajan. Masing-masing anak memiliki mobil sendiri, dan dua bocah itu sering tampak asyik memoles mobilnya setiap hari.

Meski begitu, mereka tidak menunjukkan perilaku buruk sebagaimana yang biasa saya lihat di sinetron. Anak-anak itu sangat menghormati orangtua mereka, dan sikapnya kepada orang lain—termasuk kepada kami, para buruh keluarganya—juga sangat baik. Karena mereka sering berada di garasi—yang artinya di tempat kerja saya waktu itu—saya pun mengenal mereka, dan tahu mereka anak-anak baik.

Saat saya menulis catatan ini, dua anak laki-laki majikan saya dulu sudah menikah, dan mungkin sekarang sudah punya anak. Sementara usaha batik keluarga mereka masih langgeng sampai sekarang. Apakah anak-anak itu bahagia? Saya yakin mereka bahagia. Tidak ada alasan bagi orang-orang seperti mereka untuk tidak bahagia.

Orangtua saya juga memiliki tetangga yang tak jauh beda dengan itu. Tetangga orangtua saya juga berbisnis batik, dan luar biasa kaya. Mereka punya anak-anak yang rata-rata lebih muda dari saya, dan bisa dibilang semuanya anak baik, yang menghormati orangtua, serta santun pada orang lain. Anak-anak itu sebagian sudah menikah, sebagian lagi belum, dan biasa membantu orangtua mereka dalam bisnis keluarga. Mereka tampak menikmati kesibukannya, dan bisa dibilang menjalani hidup lurus, serta tidak pernah membuat masalah.

Dua contoh itu hanya secuil contoh yang saya miliki. Di luar dua contoh itu, saya mengenal anak-anak konglomerat yang menjadi orang-orang baik, sangat menghormati orangtua, menyayangi keluarga, dan bisa dibilang menjalani hidup secara lurus. Lebih penting lagi, mereka memiliki kesehatan yang baik, secara fisik maupun psikis.

Bahkan, kalau diingat-ingat, sampai saat ini saya belum pernah menemukan satu pun teman yang berasal dari keluarga kaya yang hidupnya kacau. Nyaris semua teman yang berasal dari keluarga kaya—atau kalangan menengah—menjalani kehidupan yang bisa dibilang baik, lurus, dan sedikit masalah. Mereka jenis orang-orang normal sebagaimana mestinya—tumbuh dengan baik, dapat berinteraksi dengan orang lain secara baik, dapat menjalani hubungan dengan baik, dan semacamnya.

Karenanya, kalau ada yang bilang anak orang kaya pasti rusak, saya akan bingung. Karena teman-teman saya yang anak-anak orang kaya sama sekali tidak seperti itu. Begitu pun, jika dikatakan bahwa anak-anak orang kaya sering menjadi korban broken home, saya juga tidak setuju, karena realitas yang saya lihat tidak begitu.

Sebaliknya, justru teman-teman saya yang berasal dari keluarga miskin yang menghadapi aneka masalah, dari masalah pribadi sampai masalah keluarga. Saya tidak segan mengatakan ini terang-terangan, karena saya merupakan bagian dari mereka. Lebih dari itu—kepada saya—mereka juga secara terbuka mengatakan bahwa kehidupan mereka adalah “kutukan”, sesuatu yang juga saya katakan kepada mereka.

Ada teman saya yang pernah berkata blak-blakan, “Hal terbesar yang kusesali dalam hidup adalah kelahiranku di dunia. Dan orang yang paling kubenci di dunia ini adalah orangtuaku.”

Orang yang mengatakan kalimat mengerikan itu adalah lelaki 30 tahun, saat ia menceritakan bagaimana penderitaannya selama ini. Kedua orangtuanya tidak bercerai. Tetapi teman saya adalah korban broken home dalam arti sesungguhnya. Untuk memudahkan cerita, mari kita sebut teman saya dengan nama Alwa.

Seperti yang mungkin kalian duga, Alwa lahir dan tumbuh di keluarga miskin. Ayahnya buruh pabrik, ibunya bekerja serabutan untuk menambah penghasilan keluarga. Sejak kecil, Alwa harus mulai bekerja untuk mendapat uang—kisah-klise-usang-bangsat yang biasa dialami anak-anak malang.

Karena orangtuanya sangat miskin, Alwa harus sering makan hati di sekolah. Memakai baju seragam usang, tidak bisa jajan saat jam istirahat, sering nunggak bayar SPP, tidak bisa ceria seperti teman-temannya. Sekali lagi, kisah-klise-usang-bangsat yang biasa dialami anak-anak malang.

Tetapi penderitaan Alwa tidak sebatas itu. Karena ayahnya sering kecapekan bekerja keras seharian, sang ayah pun mudah marah. Dan Alwa sering menjadi korban pelampiasan kemarahan. Hal sama terjadi pada ibunya. Karena kebutuhan belanja sering tidak cukup, sang ibu juga sering stres, dan Alwa yang menjadi korban lampiasan kekesalan.

Meski hidup sangat pas-pasan, bahkan kekurangan, orangtua Alwa punya banyak anak. Alwa anak sulung, dengan empat orang adik. Sedari kecil, Alwa bekerja apa saja, yang penting bisa dapat uang. Ia kehilangan masa kecilnya, kehilangan keceriaannya. Saat tumbuh remaja, dia kehilangan masa remajanya. Saat akhirnya dewasa, Alwa pun menjelma menjadi sosok yang penuh luka.

“Bahkan saat aku dewasa sekarang,” ujar Alwa, “masalah yang ditimbulkan orangtua dan keluargaku tidak juga selesai.”

Karena sedari kecil menjadi korban kekerasan orangtua, dan sedari kecil menjalani kesusahan, penderitaan, dan luka, Alwa menjadi sosok yang sangat rendah diri. Dia sering kesulitan bersosialisasi dengan orang lain, dan orang-orang menganggapnya sosok yang tidak menyenangkan. Alwa adalah contoh “anak korban broken home” yang sangat nyata—yaitu korban dari sebuah keluarga yang rusak—meski kedua orangtuanya tidak bercerai.

Saat ia menceritakan hidupnya, Alwa berkata, “Aku pernah terkejut, saat memikirkan bahwa selama tiga puluh tahun hidup, rasanya aku belum pernah merasakan bahagia. Yang kujalani dan kualami dalam hidup hanya masalah demi masalah, kepahitan demi kepahitan, penderitaan demi penderitaan, luka demi luka. Kalau saja bisa, aku ingin menuntut kedua orangtuaku, kenapa mereka harus melahirkanku ke dunia yang keparat ini.”

Cerita Alwa sebenarnya sangat panjang, dan mungkin akan saya ceritakan di catatan lain. Yang jelas, Alwa tak jauh beda dengan anak-anak malang lain, yang rata-rata tumbuh di keluarga miskin, lalu menjalani kehidupan penuh masalah dan kepahitan, bahkan sampai dewasa. Kisah-klise-usang-bangsat yang biasa dialami anak-anak malang.

Well, yang ingin saya tunjukkan dalam catatan ini, bahwa “korban broken home” sebenarnya tidak sesempit yang mungkin kita bayangkan, atau bahkan belum tentu sama dengan yang selama ini kita pikirkan.

Anak-anak yang orangtuanya bercerai tentu saja anak-anak malang, dan kita patut bersimpati kepada mereka. Tetapi, anak-anak malang semacam itu tidak harus yang orangtuanya bercerai. Banyak pula anak-anak yang orangtuanya tidak bercerai, tapi menjalani kehidupan yang rusak. Dan anak-anak semacam itu tidak selalu berasal dari keluarga kaya, sebagaimana yang biasa ditunjukkan di sinetron. Dalam realitas, anak-anak semacam itu kebanyakan justru berasal dari keluarga miskin.

Sepedih-pedihnya luka yang dialami anak bermasalah dari keluarga kaya, masih jauh lebih pedih luka yang dialami anak bermasalah dari keluarga miskin. Saya tahu betul hal itu, karena saya mengalaminya. Dan saya tidak malu mengakui bahwa saya “anak bermasalah”. Oh, saya bahkan bisa mengatakan bahwa, sebenarnya, saya juga “anak korban broken home”, meski orangtua saya tidak bercerai.

Di balik tubuh dewasa saya, ada anak kecil terluka yang tak pernah berhenti menangis. Di balik kehidupan saya yang tampak normal dan biasa, ada jiwa yang berdarah, hati yang bernanah... sebuah luka yang terus menganga.

Noffret’s Note: Trauma

Terlalu banyak kesulitan yang harus kuhadapi dalam hidup. Aku tak pernah tertarik menambahinya sedikit pun, dari apa pun, dari siapa pun.
—Twitter, 12 September 2016

Bahkan umpama aku jatuh cinta setengah mati pada seseorang, dan dia mencoba mempersulitku, aku akan bilang persetan dengannya.
—Twitter, 12 September 2016

Hubungan pacaran hanya cocok bagi orang-orang kurang kerjaan yang butuh tantangan dan kesulitan. Aku tidak punya waktu untuk disia-siakan.
—Twitter, 12 September 2016

Tawaran menjalin hubungan dengan perempuan, di telingaku seperti tawaran untuk menerima kesulitan. Aku tak pernah tertarik. Sedikit pun.
—Twitter, 12 September 2016

Di luar sana ada banyak wanita menarik, yang sangat ingin kukenal. Tapi aku selalu dihantui ketakutan pada kemungkinan menjalin hubungan.
—Twitter, 12 September 2016

Jika harus memilih antara sendirian tapi tenteram, atau menjalin hubungan dengan seseorang tapi tertekan, aku akan memilih yang pertama.
—Twitter, 12 September 2016

Jika aku tertarik kepada seseorang, dan dia memberiku jaminan bahwa kami bisa bertemu tanpa ada tendensi ikatan, aku akan menemuinya.
—Twitter, 12 September 2016

Makin dewasa, aku makin menyadari sedikit waktu yang kupunya. Aku tak akan menyia-nyiakannya untuk hal-hal menyulitkan yang tak berguna.
—Twitter, 12 September 2016

Menemui seseorang yang menarik itu mudah. Yang menjadikannya sulit, karena urusan itu dipersulit. Aku sangat... sangat benci hal-hal sulit.
—Twitter, 12 September 2016

Rumus hidupku sederhana: Jika aku bisa mendapatkan sesuatu dengan mudah, kenapa harus mempersulit diri hanya untuk mendapat hal yang sama?
—Twitter, 12 September 2016

Seumur hidup, aku telah disiksa kesulitan demi kesulitan, dan aku sudah bosan. Kalau kau menawari hal yang sama... silakan pergi ke neraka.
—Twitter, 12 September 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Lingkaran Setan di Muka Bumi

Sebelum memutuskan punya anak, mungkin setiap orangtua perlu memikirkan, “Apakah anak yang akan kulahirkan memang ingin dilahirkan?”
—Twitter, 22 September 2016

Anak-anak adalah makhluk paling malang di dunia. Tak pernah minta dilahirkan, lalu dilahirkan untuk ditimbuni setumpuk beban dan kewajiban.
—Twitter, 22 September 2016

“Orangtua telah melahirkan dan membiayai anak dengan susah payah.” | Oh, tentu saja begitu, karena itu memang konsekuensi atas pilihanmu.
—Twitter, 22 September 2016

Konyol dan ironis adalah orangtua yang mengungkit-ungkit kebaikannya pada anak, padahal itu memang konsekuensi pilihannya sendiri.
—Twitter, 22 September 2016

Terlalu banyak masalah manusia dan bencana di dunia akibat banyak anak dilahirkan tanpa kesadaran dan kearifan orangtua.
—Twitter, 22 September 2016

Lingkaran setan di muka bumi dimulai, ketika orang-orang berpikir bahwa mereka harus menikah dan punya anak... lalu anaknya berpikir sama.
—Twitter, 22 September 2016

Kelak, kalau aku memutuskan untuk punya anak, aku akan berpikir terlebih dulu, “Apakah anakku akan bersyukur memiliki ayah sepertiku?”
—Twitter, 22 September 2016

“Sejak punya anak-anak, beban hidupku bertambah. Pusing. Kerja siang malam tidak juga cukup. Stres.” | Yang menyuruhmu punya anak siapa?
—Twitter, 22 September 2016

Kalau punya anak adalah pilihanmu, lakukan. Setelah itu, tidak usah mengusik dunia dengan aneka keluhan. Milih sendiri, mengeluh sendiri.
—Twitter, 22 September 2016

Orang-orang sering menuduh orang lain yang tak punya anak sebagai egois. Justru yang punya anak tapi doyan mengeluh itulah yang egois.
—Twitter, 22 September 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 
Kamis, 20 Oktober 2016

Batman, Superman, dan Kita

Sering takjub membayangkan betapa bocah-bocah
superhero DC atau Marvel bisa memiliki kepribadian
masing-masing yang rumit sekaligus unik.
@noffret


Selain berasal dari planet yang berbeda, apa perbedaan penting antara Batman dan Superman? Latar belakang dan masa kecil mereka!

Mari kita mulai dari awal, dan kita akan melihat bagaimana dua manusia bisa tumbuh dewasa dengan perbedaan sikap, prinsip, dan cara memandang dunia, yang sangat dipengaruhi oleh masa lalu dan latar belakang saat mereka tumbuh.

Batman a.k.a Bruce Wayne adalah anak orang kaya, tapi menjalani masa kecil yang pahit. Saat masih kanak-kanak, dia menyaksikan orangtuanya dibunuh perampok. Dia tumbuh di Gotham City, sebuah kota yang rusak dan korup, tempat si kuat menindas yang lemah. Beruntung, Bruce Wayne memiliki pengasuh yang baik, Alfred. Meski begitu, luka hati yang menganga di dalam dirinya—akibat kematian tragis orangtuanya—kelak akan mempengaruhi jalan hidup serta cara berpikir Bruce Wayne.

Apa yang terjadi ketika Bruce Wayne tumbuh dewasa? Dia menjadi pendendam! Di balik sosoknya yang tampak kalem, Bruce Wayne menyimpan amarah, luka, dan api dendam yang tak pernah padam. Kepada kejahatan, kepada kesewenang-wenangan, kepada penindasan, kepada dunia yang telah melukainya. Latar belakang itu pula yang menjadikan Bruce Wayne menciptakan Batman, alter ego yang ia gunakan untuk menumpas kejahatan, yang sebenarnya ia maksudkan untuk melancarkan pembalasan dendam kepada penjahat.

Jika Bruce Wayne mau, dia bisa menjalani kehidupan yang tenteram, tenang, dan berkelimpahan, dan tak seorang pun akan mengganggu. Ingat, dia miliuner, bocah paling kaya di Gotham City, yang bisa membeli hotel semudah membeli kentang goreng. Dia bisa menghabiskan malam-malamnya bersama banyak wanita yang akan dengan senang hati menemani. Tapi apakah itu yang dia lakukan? Tidak, dia justru berkeliaran sebagai Batman, dan membasmi bajingan-bajingan di kotanya.

Apa yang menggerakkan seorang miliuner seperti Bruce Wayne, hingga mau melakukan hal semacam itu? Dendam! Setiap malam, dia sengaja berkeliaran mencari penjahat dan bajingan dan keparat-keparat, demi melampiaskan dendamnya. Sebagai miliuner di siang hari, Bruce Wayne adalah manusia normal. Tetapi, sebagai Batman di malam hari, Bruce Wayne adalah sosok pendendam.

Kondisi psikologis itu pula yang menjadikan Bruce Wayne senantiasa ragu untuk menjalin hubungan jelas dengan wanita mana pun. Meski Bruce Wayne jatuh cinta kepada Rachel Dawes, tapi kita tahu... Bruce Wayne selalu ragu.

Kenyataan itu sangat mudah dipahami. Jika Bruce Wayne memantapkan diri untuk menjadikan Rachel Dawes sebagai pasangannya, sejak dulu mereka pasti sudah menikah, toh kenyataannya Rachel juga jatuh cinta kepada Bruce Wayne. Faktanya tidak, Bruce Wayne tidak pernah memberi kepastian, dan Rachel Dawes yang bijaksana memahami hal itu, hingga ia memutuskan untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain (Harvey Dent).

Cara berpikir Bruce Wayne sangat mudah dipahami. Jika dia menikah, maka dia akan disibukkan urusan keluarga, belum lagi jika punya anak-anak. Jika itu terjadi, Bruce Wayne tidak akan leluasa lagi menjadi Batman, dan itu artinya pembalasan dendamnya harus berhenti. Tidak, bukan itu yang diinginkan Bruce Wayne. Sebagai bocah terluka, yang diinginkan Bruce Wayne hanya satu: Membuat orang-orang yang melukainya—bajingan-bajingan dan penjahat dan keparat dan bangsat—merasakan luka yang dirasakannya. Sebelum misi itu selesai, dendamnya tidak akan berakhir.

(Dalam hal ini, Christopher Nolan mampu menghadirkan visi tersembunyi Batman dengan sangat bagus, lewat trilogi Batman Begins, hingga ia “mengakhiri” hidup Bruce Wayne melalui The Dark Knight Rises.)

Sekarang kita beralih ke Superman, dan melihat bagaimana latar belakang masa kecilnya juga ikut membentuk kepribadian, cara berpikir, serta jalan hidupnya.

Superman, kita tahu, berasal dari planet Kryptonite yang hancur. Dia dikirim orangtuanya ke Bumi, dan ditemukan serta diasuh oleh pasangan Kent. Oleh pasangan Kent, Kal El (nama asli Superman) diberi nama Clark Kent.

Meski orangtua angkat, pasangan Kent mengasuh dan membesarkan Clark Kent dengan baik, penuh cinta kasih, seperti orangtua kandung. Mereka hidup dalam kesederhanaan, namun dunia Clark Kent adalah dunia yang indah dan damai. Latar belakang itu ikut membentuk kepribadian Clark Kent, bahkan saat ia masih remaja. Dia jauh dari perasaan dendam, dia bahkan tumbuh besar dengan sifat suka menolong.

Dalam film Superman: Man of Steel, digambarkan bahwa Clark Kent telah menyadari dirinya memiliki kekuatan hebat sejak masih remaja. Di sekolah, saat ada teman yang mem-bully, dia memilih mengalah dan menahan diri, bukannya memanfaatkan kekuatannya untuk membalas mereka yang menyakiti. Itu bukti penting keberhasilan pasangan Kent dalam mendidik dan membesarkan Clark Kent. Bocah itu benar-benar tumbuh dengan pikiran yang baik, dan sikap yang baik.

Ketika akhirnya Clark Kent dewasa, dan menyadari siapa dirinya, Clark Kent pun menjadi Superman. Dan apa yang dilakukan Superman? Mencari musuh seperti yang dilakukan Batman? Tidak. Jika Batman menggunakan kemampuan dan kekuatannya untuk membasmi kejahatan, Superman memilih menggunakan kemampuan dan kekuatannya untuk menolong orang lain. Bukan Superman yang mencari musuh, tapi musuhlah yang memaksa Superman berhadapan dengan mereka.

Jika Batman menjalani hidup sebagai manusia biasa dalam sosok Bruce Wayne, sang miliuner terkenal, Superman menjalani hidup sebagai manusia dalam sosok Clark Kent, seorang reporter yang tak dikenal. Dua kehidupan yang jauh berbeda.

Meski begitu, kehidupan Clark Kent tampak lebih damai—dia menjalin hubungan dengan Lois Lane, wanita yang dicintai dan mencintainya, dan menjalani kehidupan dengan relatif tenang. Asal tidak ada gangguan dari psikopat atau alien mana pun, Clark Kent dapat hidup tenteram tanpa harus repot-repot berganti kostum menjadi Superman.

Sebagai manusia, Clark Kent bisa dibilang tidak memiliki misi pribadi apa pun. Dia orang yang mudah bahagia dengan kehidupan tenteram, tidak suka macam-macam, meski kehidupannya bisa dibilang sederhana. Dalam berbagai kesempatan, dia terpaksa menggunakan kekuatan supernya semata-mata karena kebutuhan menolong orang lain. Bahkan, sebutan “Superman” pun diberikan orang-orang kepadanya, bukan sebutan yang sengaja diciptakan Clark Kent. 

Hal itu bertolak belakang dengan Bruce Wayne. Sebenarnya, Bruce Wayne manusia biasa, dalam arti tidak memiliki kekuatan super sebagaimana Clark Kent. Tetapi, sebagai manusia, Bruce Wayne memiliki misi pribadi. Misi itu pula yang lalu memacu Bruce Wayne menempa dan membentuk dirinya hingga memiliki kekuatan super, demi bisa mewujudkan misinya. Bahkan, sebutan “Batman” pun diciptakan olehnya, dengan alasan, “Agar musuh-musuhku ketakutan pada sesuatu yang pernah kutakuti.”

Menatap kehidupan Batman dan Superman adalah menatap kehidupan dua orang hebat dengan latar belakang berbeda. Yang satu kaya, yang satu miskin. Yang satu tumbuh dalam luka dan kehilangan, yang satu tumbuh dalam cinta dan kasih sayang. Yang satu hidup menjadi sosok pendendam, yang satu hidup menjadi sosok penolong. Saat dewasa, mereka sama menjadi sosok hebat. Tapi latar belakang kehidupan keduanya membuat pola pikir dan cara hidup mereka jauh berbeda.

Dan, omong-omong, begitulah manusia.

Manusia bukan garis lurus seperti angka satu atau tiang listrik yang kaku. Manusia adalah makhluk kompleks dengan segala hal yang membentuk dan mempengaruhi, hingga setiap orang mewujud sebagai manusia dengan segala perbedaan dan kepribadian. Banyak yang mengatakan, Batman alias Bruce Wayne adalah sosok introver, karena hanya muncul di malam hari. Kenyataan itu berbeda dengan Superman alias Clark Kent yang biasa muncul di siang hari.

Bahkan, jika kita jeli memperhatikan, kita akan menemukan bahwa nyaris semua foto Batman (yang memakai kostum) tampak sedang menundukkan kepala. Padahal dia memakai topeng. Jika dia menengadahkan kepala sekali pun, orang tidak akan mengenali wajahnya. Sebaliknya, foto-foto Superman tampak jelas menampakkan muka, padahal dia tidak memakai topeng atau penutup apa pun, sehingga orang bisa mudah mengenalinya.

Penampakan dalam foto-foto itu tidak dibuat tanpa maksud—itu upaya untuk menegaskan kepribadian mereka—bahwa Batman dan Superman adalah dua sosok yang jauh berbeda, meski sama-sama superhero. Batman—sebagaimana julukan yang diberikan untuknya, “The Dark Knight”—adalah sosok yang ingin melakukan sesuatu tanpa dikenali siapa pun. Sementara Superman melakukan semua yang dilakukannya terang-terangan. Dan, sekali lagi, semua itu dipengaruhi oleh latar belakang mereka.

Apakah Bruce Wayne pernah meminta agar kehidupannya seperti yang ia jalani? Apakah Bruce Wayne pernah berharap kehilangan orangtuanya saat ia masih kecil, sehingga kehilangan cinta dan kasih sayang? Apakah Bruce Wayne pernah merencanakan dirinya untuk menjadi sosok pendendam? Kita tahu jawabannya, tidak!

Pasti akan jauh lebih baik jika Bruce Wayne menjalani kehidupan masa kecil yang indah dan damai, kedua orangtuanya tidak terbunuh oleh perampok, hingga Bruce Wayne dapat tumbuh dewasa bersama kasih sayang mereka. Bisa jadi, saat dewasa, Bruce Wayne benar-benar menjadikan Rachel Dawes sebagai pasangannya, dan mereka menikah, lalu hidup bahagia selama-lamanya.

Jika itu terjadi, pasti kehidupan Bruce Wayne akan jauh lebih indah dan damai. Dia mewarisi perusahaan raksasa milik orangtuanya, hidup sebagai bangsawan di Gotham City, memiliki istri yang cantik dan bijaksana, lalu mereka memiliki anak-anak, dan Batman tak pernah ada...

Begitu pula Kal El atau Clark Kent alias Superman. Apakah dia meminta dikirim ke Bumi, agar bertemu pasangan Kent? Juga tidak! Orangtua kandungnya terpaksa mengirim Kal El ke Bumi, karena planet mereka terbakar. Pasti akan jauh lebih mudah bagi Kal El jika tumbuh besar di planetnya sendiri, bersama orangtua kandungnya sendiri, dan menjalani kehidupan sebagai makhluk planet Kryptonite. Dan, jika itu terjadi, Superman tak akan pernah ada.

Batman, Superman, dan kita, adalah makhluk-makhluk yang dibentuk oleh latar belakang hidup masing-masing, yang tumbuh bersama pengalaman—beserta kebahagiaan dan kepahitan—yang pernah dijalani. Segala yang ada di belakang hidup kita ikut membentuk dan mempengaruhi kepribadian kita, cara berpikir kita, hingga cara kita menatap hidup dan menjatuhkan pilihan-pilihan.

Yang menjalani hidup sebagai miliuner kaya-raya bisa jadi sosok introver, dan menyimpan luka menganga dalam hatinya. Yang menjalani hidup sebagai reporter sederhana bisa jadi sosok ekstrover, dan menjalani kehidupan dengan lebih ceria. Kita tidak tahu, tak pernah tahu. Karena yang tampak di luar kadang tak sama dengan yang tersimpan di dalam. Yang kita lihat belum tentu sama dengan hal-hal yang tidak kita lihat.

Seperti kebanyakan orang, kita hanya melihat Batman dan Superman, atau melihat Bruce Wayne dan Clark Kent, tanpa sempat memikirkan dan merenungkan siapakah mereka sebenarnya, apa yang memotivasi mereka, bagaimana isi hati dan pikiran mereka. Kita hanya menatap mereka sebagai superhero, dan melupakan bahwa mereka juga menjalani kehidupan sebagai manusia seperti kita, dengan latar belakang, masa kecil, beserta kebahagiaan dan kesepian yang mungkin mereka alami.

Sering kali, kita melihat manusia hanya sebatas manusia. Dan melupakan bahwa manusia tidak sekadar manusia. Selalu ada jalan panjang di belakang mereka yang tidak pernah kita lihat, tetapi tersimpan di lubuk terdalam diri mereka.

Janji Tanpa Ikatan

Di luar sana ada banyak wanita menarik,
yang sangat ingin kukenal. Tapi aku selalu dihantui ketakutan
pada kemungkinan menjalin hubungan.
@noffret


Seorang teman dari luar kota datang, dan kami menikmati makan malam di tempat langganan. Seusai makan, kami mengobrol panjang lebar sambil merokok, membicarakan banyak hal. Dia teman di dunia nyata, tapi kemudian harus tinggal di kota lain karena urusan kerja. Jika sebelumnya kami biasa bertemu, sekarang kami hanya bisa bertemu saat dia pulang, atau kalau kebetulan dia sedang cuti atau liburan.

Di sela-sela obrolan, dia berkata, “Aku perlu menyampaikan pesan seorang teman. Dia ingin bertemu denganmu, dan sangat berharap kau mau menemuinya.”

“Wanita?”

Dia mengangguk. “Wanita.”

“Sudah kuduga.”

Dia tersenyum kikuk. “Terdengar klise, eh?”

“Kau yang mengatakan.”

Setelah terdiam sesaat, dia bertanya, “Kenapa kau terkesan menutup diri, dan tidak mau menemui orang yang ingin bertemu denganmu?”

“Aku sudah menjelaskan itu di blog. Aku sangat sibuk, dan tak punya waktu untuk dibuang-buang. Lagi pula, aku tidak tahu siapa temanmu.”

Dia tersenyum. Lalu mengambil ponselnya, membuka sebuah situs, dan menyodorkan ke arah saya.

Di layar ponsel, saya melihat sebuah situs yang memuat foto seseorang sedang tersenyum. Saya tahu siapa wanita yang ada di foto. Saya mengenal sosoknya. Beberapa majalah di rumah saya memuat foto-fotonya.

“Dunia begitu sempit, ya?” ujar saya perlahan.

Dia tersenyum, memahami maksud saya, dan berujar, “Jadi, kau mau menemuinya?”

“Dengan syarat.”

“Sebutkan.”

Saya mengisap rokok, lalu menjawab, “Aku mau menemuinya, tapi dengan syarat pertemuan itu tidak bertendensi apa pun, semisal berharap jadian, berharap pacaran, atau semacamnya. Intinya, pertemuan itu murni pertemuan, tanpa tendensi ikatan apa pun. Jika aku diberi jaminan pasti tentang hal itu, aku akan menemuinya.”

“Aku menjamin...”

Buru-buru saya memotong, “Bukan kau yang harus memberi jaminan, tapi dia! Suruh dia meneleponku, dan minta dia memberi jaminan seperti yang tadi kukatakan. Aku harus mendengarnya langsung dari mulutnya, bahwa kami hanya akan bertemu, tanpa tendensi ikatan apa pun, semisal berharap pacaran, berharap jadian, atau semacamnya. Jika dia mau melakukannya, aku akan menemuinya.”

Dia tampak kebingungan.

Lalu saya menjelaskan, “Aku tahu, permintaanku mungkin terdengar bodoh atau bahkan keterlaluan. Tapi aku pernah mengalami peristiwa yang membuatku trauma. Aku menjalin hubungan dengan perempuan yang kuanggap teman, tapi dia menganggapku pacar. Aku tidak ingin mengulangi hal sama, karena sudah sangat... sangat trauma. Karena itulah, sedari awal, aku ingin diberi kejelasan dan kepastian terlebih dulu soal itu, agar kami bisa bertemu dan menjalin hubungan dengan nyaman.”

Dia menatap saya ragu-ragu. “Bagaimana kalau dia tidak mau?”

Saya tersenyum, lalu menyahut, “Bukan aku yang ingin bertemu dengannya. Dia yang ingin bertemu denganku.”

Umum

Kadang-kadang aku ingin umum. Tapi lalu menyadari betapa banyak hal umum di dunia ini.

Sabtu, 15 Oktober 2016

Dua Cinta, Dua Cerita

Kadang-kadang hatiku bisa diajak untuk jatuh cinta.
Tetapi, setiap kali itu terjadi, pikiranku menertawakannya.
@noffret


Ini kisah lama, dan saya baru menuliskannya sekarang, setelah semua pihak yang terlibat dalam cerita ini telah memiliki jalan hidup sendiri-sendiri, yang tampaknya happy ending. Kisah ini melibatkan empat orang, dua lelaki dan dua perempuan, dengan kisah yang nyaris persis, tapi memiliki akhir berbeda.

Stefani (bukan nama sebenarnya) adalah perempuan ramah yang menyenangkan. Karenanya tidak heran banyak orang menyukainya. Saya pun bisa kenal hingga dekat dengannya, karena sikapnya yang ramah dan menyenangkan. Di antara orang yang dekat dengan Stefani adalah lelaki bernama Zahir (juga bukan nama sebenarnya). Zahir dan Stefani telah saling kenal, jauh hari sebelum saya mengenal Stefani.

Saya juga mengenal Zahir. Secara keseluruhan, dia lelaki yang baik, juga ramah dan memiliki pembawaan menyenangkan. Ada cukup banyak kesempatan ketika Stefani, Zahir, dan saya, bersama-sama dan saling mengobrol asyik.

Sampai suatu hari, Zahir menyatakan cinta pada Stefani. Dan kisah yang rumit sekaligus aneh dimulai.

Semula, saya tidak tahu kenyataan itu. Selama bertemu Zahir atau Stefani sebelumnya, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda “keanehan” apa pun. Sesekali, saya bahkan ketemu Zahir di rumah Stefani, dan selama itu segalanya tampak baik-baik saja. Tapi ternyata sesuatu yang bergejolak sedang terjadi.

Suatu malam, saat saya dolan ke rumah Stefani, dia menceritakan hal itu. Bahwa Zahir menyatakan cinta kepadanya, dan dia kebingungan. Saya masih ingat yang dikatakan Stefani malam itu, “Aku terpaksa menceritakannya sekarang, karena aku sudah sangat kebingungan.”

Selama ini, Stefani menceritakan, dia hanya menganggap Zahir sebagai teman, sebagaimana dia menghadapi teman-teman lelaki yang lain. Stefani tidak punya perasaan apa pun terhadap Zahir, dan dia pikir Zahir pun memiliki perasaan serupa; hanya menganggapnya sebagai teman. Bagaimana pun, Stefani mengakui, Zahir lelaki yang baik, dan Stefani senang berteman dengan Zahir. Tapi kenyataan bahwa Zahir kemudian menyatakan cinta, itu sesuatu yang tidak diharapkan Stefani.

Jadi, waktu itu—saat Zahir menyatakan cinta—Stefani hanya menjawab bahwa dia perlu waktu untuk memikirkan, meski juga tak bisa memberi kepastian kapan akan bisa memutuskan. Tetapi, akhirnya, setelah berbulan-bulan, dan Zahir masih setia menunggu, Stefani merasa “tidak tega”. Akhirnya pula, Stefani menerima Zahir sebagai pacarnya... meski dalam hati ia mengakui sama sekali tidak jatuh cinta kepada Zahir.

“Bagaimana pun,” ujar Stefani waktu itu, “aku hanya menganggapnya teman. Sama sekali tidak ada perasaan lain yang kurasakan kepadanya.”

Dari situlah dilema dimulai. Di satu sisi, Stefani telah “terikat” sebagai pacar Zahir, dan dia pun mengakui Zahir sebagai lelaki yang baik. Tetapi, di sisi lain, dia sama sekali tidak pernah jatuh cinta kepada Zahir. Karena perasaan dilema itu pula, Stefani kerap curhat pada teman-teman dekatnya (sesama perempuan), dan berharap mereka bisa memberi solusi atau saran bagaimana menghadapi kenyataan itu.

“Teman-temanku sampai bosan mendengarku,” ujar Stefani. “Hampir setiap kami ketemu, aku selalu menceritakan persoalan ini, dan lama-lama mereka malas mendengarkan.”

Karena itulah, Stefani akhirnya menceritakan hal itu kepada saya, hingga saya menjadi satu-satunya teman lelaki yang mengetahui cerita tersebut. Stefani pun berani menceritakan kisah itu kepada saya, karena... waktu itu saya sedang menghadapi hal serupa!

Sekarang kita beralih ke cerita dan dilema yang saya hadapi.

Salah satu teman perempuan saya adalah Dini (sekali lagi, ini nama samaran). Saya tidak pernah punya perasaan apa pun kepada Dini, dan saya pun berpikir hal sama kepadanya, bahwa dia menganggap saya sebagai teman. Saya memperlakukan Dini, persis seperti saya memperlakukan teman-teman perempuan yang lain. Bahwa dia cantik, ya. Bahwa dia baik, ya. Bahwa dia sangat menarik, ya. Tetapi, sekali lagi, saya tidak punya perasaan apa pun kepadanya.

Di waktu-waktu itu, saya bahkan tahu banyak lelaki kerap mengunjungi Dini—biasanya malam Minggu—dan lelaki-lelaki itu tentu berharap Dini mau jadi pacarnya. Tetapi, melihat itu pun, saya tidak punya perasaan apa-apa. Wong saya hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Sama biasa dengan teman-teman perempuan yang lain.

Tetapi, suatu hari, terjadi sesuatu yang sangat membingungkan.

Hari itu, Dini ulang tahun. Terus terang, saya tidak tahu hari atau tanggal ulang tahun Dini. Karena itu pula, saya tidak punya persiapan apa pun, semisal mengucap selamat ulang tahun atau semacamnya. Saya menjalani hari itu dengan biasa, dengan aktivitas dan kesibukan biasa.

Malam harinya, saya ditemui seorang teman dekat Dini. Sebut saja namanya Nia. Kepada saya, Nia menyatakan bahwa hari itu Dini sangat sedih, karena saya tidak datang ke rumahnya, padahal hari itu Dini ultah, dan dia sangat mengharapkan bisa merayakan hari istimewa itu bersama saya. Setelah panjang lebar, Nia berkata, “Aku terpaksa ngomong ini ke kamu, karena sekarang dia (Dini) lagi nangis sedih di kamarnya.”

Yang membuat saya bingung, waktu itu Nia berbicara seolah-olah saya pacar Dini. Secara jelas, Nia bahkan menyatakan, “Sebagai pacar, mestinya kamu jangan begitu.”

Selama beberapa detik, saya merasa seperti orang tenggelam.

Seharusnya, yang perlu saya lakukan waktu itu adalah menjernihkan hal tersebut, dan mengklarifikasi kepada Nia bahwa saya bukan pacar Dini. Tetapi, logika dan akal waras saya memberitahu, “Nia tidak akan menganggapmu sebagai pacar Dini, jika Dini tidak mengatakan hal itu kepada Nia.”

Jadi, saya pun memutuskan untuk mengambil langkah yang saya pikir lebih bijak. Alih-alih memberitahu Nia bahwa saya bukan pacar Dini, waktu itu saya bermaksud mengklarifikasi langsung kepada Dini. Langkah itu, saya pikir, lebih baik. Tapi ternyata langkah bijak yang tampak sederhana itu sulitnya luar biasa.

Sebelum masuk ke cerita berikutnya, saya perlu menegaskan hal ini terlebih dulu. Selama waktu-waktu itu, saya tidak pernah menyatakan cinta—secara eksplisit maupun implisit—kepada Dini. Seperti yang saya sebut di atas, saya menganggapnya sebagai teman, dan saya memperlakukan Dini persis seperti saya memperlakukan teman-teman perempuan yang lain. Fakta bahwa Dini kemudian menganggap saya sebagai pacarnya, itu sesuatu yang tidak pernah saya sangka.

Besoknya, saya melakukan sesuatu yang saya pikir bijak, tapi ternyata justru menjerumuskan saya ke dalam kebingungan yang mengerikan. Setelah mendengar penuturan Nia, saya pun memutuskan untuk menemui Dini. Saya datang ke rumahnya, dan berkata, “Sori, aku tidak ingat kemarin hari ultahmu.”

Dini menyambut saya dengan mata berbinar, dengan senyum kebahagiaan yang membuat saya tidak tega untuk mengatakan kepadanya bahwa saya hanya menganggapnya sebagai teman. Itulah awal mula dilema mengerikan yang kemudian saya jalani dalam hidup, yang bahkan meninggalkan trauma berkepanjangan.

Sejak hari itu, saya mulai menyadari bahwa sikap Dini kepada saya berbeda dibanding sikapnya terhadap lelaki lain. Sebenarnya, sejak sebelumnya, sikapnya kepada saya memang sudah berbeda. Tetapi mungkin saya tidak menyadari, karena selama waktu-waktu itu saya pikir kami cuma berteman. Sejak peristiwa ulang tahun itu pula, Dini pun semakin menunjukkan sikap kalau saya memang pacarnya.

Semula, saya menganggap itu persoalan ringan. Waktu itu, saya sempat berpikir, suatu saat—jika ada kesempatan yang tepat—saya akan berkata terus terang kepada Dini, bahwa saya tidak pernah punya perasaan apa pun kepadanya, bahwa saya hanya menganggapnya sebagai teman, bahwa saya TIDAK PERNAH SEKALI PUN MENYATAKAN CINTA KEPADANYA, dan berharap dia bisa memahami.

Tetapi, ternyata, sesuatu yang tampak ringan itu sungguh sulit dilakukan. Hampir setiap hari, Dini datang ke rumah saya. Dengan sikap yang manis, dengan mata berbinar penuh kebahagiaan, dengan kehalusan dan kelembutan yang membuat saya selalu kebingungan untuk “melukainya” dengan kenyataan.

Selama waktu-waktu itu—meski Dini telah jelas menganggap saya sebagai pacar—saya sangat jarang datang ke rumahnya, meski malam Minggu, sebagai upaya halus untuk menunjukkan kepadanya bahwa saya sebenarnya bukan pacarnya. Tetapi Dini rupanya tidak mau menyadari hal itu. Dia malah menggunakan ketidakhadiran saya sebagai alasan dia rajin mengunjungi saya ke rumah.

Jadi, itulah yang kemudian terjadi, dan terus terjadi. Kadang kami hanya mengobrol di rumah saya, kadang dia mengajak keluar, dan saya selalu, selalu, selalu, tidak tega untuk menolak. Perlahan namun pasti, bahkan kawan-kawan kami pun akhirnya berpikir kalau saya memang telah pacaran dengan Dini. Sejak itu pula, lelaki-lelaki yang biasa datang ke rumah Dini hilang sama sekali.

Dilema itu semakin hari semakin menyakitkan. Di satu sisi, saya benar-benar tidak punya perasaan apa pun kepada Dini. Oh, kita tahu bagaimana perasaan yang kita rasakan kepada seseorang yang membuat jatuh cinta, kan? Selalu ada perbedaan yang jelas di dalam diri kita, saat berhadapan dengan orang yang dicintai, dan saat berhadapan dengan orang yang sebatas kita anggap sebagai teman. Dalam hal ini, saya benar-benar tidak punya perasaan apa pun kepada Dini.

Sementara itu, di sisi lain, saya benar-benar kebingungan bagaimana menjelaskan kenyataan kepada Dini, bahwa saya hanya menganggapnya sebagai teman. Tidak tega, adalah alasan paling besar yang selama waktu itu menguasai perasaan saya. Setiap kali saya bertekad untuk mengungkapkan kebenaran itu kepada Dini, setiap kali pula saya tidak tega. Dan begitu terus menerus.

Seiring dengan itu, bulan demi bulan terus berjalan, dan perasaan saya terhadap Dini perlahan-lahan menjadi gumpalan rasa kasihan bercampur kejengkelan. Kasihan, karena saya tahu Dini telah benar-benar menganggap saya sebagai pacar. Tapi juga jengkel, karena dia bisa sampai menyimpulkan saya pacarnya, padahal tidak sekali pun saya pernah menyatakan cinta.

Dalam dilema dan kekalutan itu, saya kadang curhat ke teman dekat (sesama lelaki), mengenai apa yang harus saya lakukan, bagaimana melakukannya, dan lain-lain. Rata-rata mereka yang mendengar curhat itu, biasanya hanya memberi saran standar yang tidak pernah bisa saya lakukan.

“Katakan saja terus terang kalau kamu tidak mencintainya,” ujar mereka. Saran yang mudah. Tapi melakukan itu, terus terang, bukan sesuatu yang mudah.

Karena tidak bisa mendapat solusi yang baik dari teman-teman lelaki, saya akhirnya memberanikan diri menceritakan dilema tersebut kepada Stefani. Karena dia perempuan, saya pikir Stefani bisa memberi saran atau solusi yang lebih baik, yang lebih layak saya lakukan, tanpa harus terlalu menyakiti perasaan Dini. Di luar dugaan, waktu itu Stefani ternyata juga sedang mengalami dilema yang sama.

Ketika mendengar saya menceritakan semua ini, Stefani pun akhirnya membuka diri, dan menceritakan dilema yang juga sedang dialaminya, menyangkut Zahir yang menyatakan cinta kepadanya, padahal Stefani hanya menganggapnya sebagai teman. Sama seperti saya, Stefani juga akhirnya menjalani hubungan dengan Zahir, meski sebenarnya dia sama sekali tidak pernah jatuh cinta kepada Zahir.

“Orang-orang mungkin menganggap ringan masalah yang kita hadapi,” ujar Stefani waktu itu. “Tapi kita yang menjalani tahu betul, ini bukan masalah ringan. Sebaliknya, ini masalah yang sangat rumit sekaligus berat, dan aku hampir gila menjalaninya.”

Dia benar. Saya pun hampir gila menjalani hubungan dengan Dini—suatu hubungan yang entah akan disebut apa. Dini telah benar-benar menganggap saya sebagai pacar, sementara saya tersiksa dan diam-diam memendam kenyataan yang mengerikan; bahwa saya tidak pernah jatuh cinta kepadanya.

Mengatakan kenyataan pada seseorang bahwa kita tidak mencintainya, memang terdengar mudah. Tetapi, demi Tuhan, itu sesuatu yang sangat... sangat sulit.

Dalam hidup, saya telah melakukan hal-hal yang luar biasa sulit, yang tidak bisa dilakukan kebanyakan orang. Tetapi, mengatakan kebenaran kepada Dini, bahwa saya tidak jatuh cinta kepadanya, jauh lebih sulit dibanding segala hal sulit yang pernah saya lakukan.

Sementara itu, waktu-waktu berlalu. Selama satu setengah tahun saya tenggelam dalam dilema yang tidak pernah bisa saya selesaikan.

Selama satu setengah tahun, saya menjalani hubungan dengan seorang perempuan yang yakin saya pacarnya, padahal saya tidak pernah jatuh cinta kepadanya. Selama itu saya memendam kebingungan, kemarahan, frustrasi, dilema, yang semuanya bercampur dengan rasa kasihan. Sialnya, rasa kasihan itu pula yang terus membungkam mulut saya untuk mengatakan kebenaran sesungguhnya.

Akhirnya, puji Tuhan, suatu hari sesuatu muncul, dan memungkinkan saya “melepaskan” Dini dari kehidupan saya.

Waktu itu, saya harus pergi untuk suatu urusan, dan membutuhkan waktu lama. Saya pun memanfaatkan moment itu untuk mengakhiri dilema yang saya hadapi. Saya berkata kepada Dini, bahwa saya harus pergi jauh untuk waktu yang lama, dan ada kemungkinan saya tidak akan pernah kembali. Untuk itu, saya menyarankan kami memutuskan hubungan, agar dia tidak perlu menunggu saya pulang.

Respons Dini sudah saya duga. Dia menolak! Tetapi, waktu itu, saya telah bersikeras untuk mengakhiri semuanya. Saya tidak bisa terus menerus menjalani hubungan palsu dengannya, dan dilema membingungkan ini harus diakhiri. Waktu itu, jika saya menunggu lebih lama lagi, maka saya akan semakin tenggelam dalam kebodohan dan kebingungan saya sendiri.

Akhirnya, meski berat hati, Dini menerima keputusan itu.

Dia berpikir kami putus.

Saya berpikir telah melepaskan beban.

Jujur saja, waktu itu, saat Dini akhirnya menerima untuk berpisah, saya merasa telah melepaskan beban yang luar biasa berat dari hidup saya. Lalu saya pun pergi untuk urusan yang harus saya hadapi... dan sejak itu kami tidak pernah bertemu lagi.

Berbulan-bulan kemudian, saat akhirnya saya pulang, saya pun berusaha agar tidak pernah lagi bertemu Dini. Saya takut pertemuan yang terjadi bisa melahirkan masalah lain, dilema lain, dan sejujurnya saya sudah sangat trauma.

Dan trauma itu kemudian sangat mempengaruhi psikis saya. Bertahun-tahun sejak itu, setiap kali teringat kisah tersebut, saya benar-benar membenci Dini dan membenci diri saya sendiri. Kami telah membuang waktu satu setengah tahun untuk sesuatu yang benar-benar bodoh dan sia-sia!

Sejak itu pulalah, saya jadi sangat berhati-hati, bahkan waspada, setiap kali berinteraksi dengan lawan jenis. Saya benar-benar trauma dan ketakutan, kalau sampai mengalami masalah serupa. Trauma yang saya alami gara-gara itu, bahkan tak pernah hilang sampai sekarang.

Sering kali saya introspeksi, kesalahan sikap apa yang mungkin telah saya lakukan, hingga Dini sampai berkesimpulan bahwa saya menganggapnya pacar? Tetapi, meski telah sangat lama introspeksi, saya tetap tidak menemukan perbedaan sikap yang mungkin telah saya lakukan. Saya benar-benar menghadapi Dini sebagaimana saya menghadapi teman-teman perempuan yang lain.

Karena itulah, seperti yang dibilang tadi, saya pun akhirnya lebih berhati-hati dan waspada setiap kali berinteraksi dengan lawan jenis. Bisa jadi, sikap yang bagi saya—dan bagi perempuan lain—dianggap biasa, tapi ternyata dianggap istimewa oleh seseorang, lalu dia salah sangka. Jika memang seperti itu, saya pikir, jauh lebih baik saya menjaga jarak dengan lawan jenis, daripada mengulangi masalah serupa.

Kalau boleh ngomong blak-blakan, saya lebih memilih ditolak perempuan, meski itu menyakitkan, daripada harus menjalani hubungan dengan perempuan yang tidak saya cintai.

Kini, saat saya menulis catatan ini, Dini telah menikah dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Kabarnya mereka juga telah punya anak. Saya tidak pernah bertemu lagi dengannya, bahkan saat hari perkawinannya. Bagaimana pun, saya berharap dia menjalani kehidupan yang bahagia.

Lalu bagaimana dengan Stefani? Well, Stefani juga telah menikah dengan Zahir!

Beberapa bulan sebelum menikah, Stefani berkata kepada saya, “Meski aku menyadari tidak jatuh cinta kepadanya, tapi akhirnya aku berpikir... apa salahnya aku belajar mencintainya? Bagaimana pun, dia lelaki yang baik—kamu pun mengakui hal itu. Mungkin aku bisa menemukan lelaki lain yang benar-benar membuatku jatuh cinta. Tapi mungkin pula belum tentu sebaik dirinya. Jadi, aku sekarang bersedia menikah dengannya, sambil berharap bisa belajar jatuh cinta kepadanya.”

Saat ini, Stefani dan Zahir telah dikaruniai seorang anak. Kadang-kadang, saya bertemu Zahir, Stefani, dan anak mereka, saat berbelanja di swalayan, dan saya melihat sorot kebahagiaan di masing-masing mata mereka. Saya yakin, Stefani telah belajar jatuh cinta, dan kini telah benar-benar mencintai lelaki yang menjadi suaminya.

Dan saya...? Oh, well, masih ada beberapa hal yang harus saya lakukan.

Kasus Kopi Sianida yang Membingungkan

Makin hari aku makin yakin, Jessica tidak melakukan pembunuhan yang dituduhkan kepadanya. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.

Inti masalah dalam kematian Mirna adalah keberadaan sianida. Padahal tidak ada jaminan apalagi kepastian dia benar mati karena sianida.

Keberadaan sianida dalam kasus kematian Mirna itu sangat aneh. Dalam gelas, jumlahnya sangat banyak. Di dalam tubuh, jumlahnya sangat minim.

Sianida dalam tubuh Mirna bukan jaminan dia mati karena sianida. Karena saat mati, tubuh kita bisa memproduksi sianida, dalam dosis kecil.

Mirna disebut “kejang-kejang” saat mati, dan diyakini dia keracunan sianida. Padahal korban yang mati keracunan sianida tidak kejang-kejang.

Ada banyak sekali keanehan dan kejanggalan dalam kasus kematian Mirna, dari keberadaan sianida sampai tuduhan langsung terhadap Jessica.

Bagaimana banyak (atau bahkan semua) pihak bisa langsung menuduh Jessica membunuh Mirna, padahal bukti-bukti yang ada belum jelas?

Ada orang lain yang bersama Mirna saat ia mati, tapi hanya Jessica yang langsung dituduh. Karenanya, sejak awal, aku meyakini dia cuma apes.

Keterpojokan Jessica sebagai tertuduh atas kematian Mirna memang tak bisa dilepaskan dari media. Seperti biasa, mereka yang memantik nyala.

Aku khawatir, Jessica adalah korban media dan korban tuduhan massa, padahal tidak bersalah, sebagaimana yang dulu terjadi pada kasus JIS.

Semua tuduhan bahkan indikasi kecurigaan terkait Jessica dan latar belakangnya, bisa dijawab dan dijelaskan secara masuk akal.

Semua tuduhan terhadap Jessica terbukti tak berdasar, sementara semua kecurigaan terhadapnya dapat dimentahkan dengan bukti dan penjelasan.

Semakin lama mempelajari kasus kematian Mirna, aku semakin meragukan bahwa Mirna mati karena sianida atau Jessica pelaku pembunuhannya.

Dari runtutan kronologi yang terjadi sejak awal sampai sekarang, aku bisa memahami. Kecuali satu... yaitu keberadaan sianida di gelas Mirna.

Keberadaan sianida di gelas Mirna adalah bagian paling membingungkan dan paling mencurigakan. Sekaligus menjadi awal petaka bagi Jessica.

Jika Mirna mati, dan di gelasnya tidak ada sianida, Jessica mungkin selamat. Yang menjadikannya tertuduh, karena ada sianida di gelas Mirna.

Yang masih jadi persoalan, bagaimana sianida bisa ada di gelas Mirna? Atau jangan-jangan sebenarnya tidak ada sianida di gelas Mirna...?

Ada bagian yang sangat... sangat aneh terkait sianida di gelas Mirna, yang tidak diperhatikan banyak orang.

Seusai Mirna mati setelah menyeruput kopi di kafe, gelas yang digunakannya tidak langsung diamankan, bahkan sempat dicuci pihak kafe.

Lalu muncul berita bahwa di gelas Mirna ada sianida, yang konon jumlahnya dapat membunuh semua orang yang ada di kafe. Aneh? Sangat!

Jika gelas (yang konon mengandung sianida) yang digunakan Mirna sudah dicuci, bagaimana bisa di gelas itu masih ada banyak sianida?

Jika memang di antara barang bukti tertuduhnya Jessica adalah gelas Mirna yang mengandung sianida, bukti itu sangat membingungkan.

Berdasarkan yang kupahami dari tumpukan berkas kasus kematian Mirna, inilah yang mungkin terjadi....

Mirna tidak mati karena sianida, tapi oleh sebab lain. Kebetulan saja dia mati seusai minum kopi, dan kebetulan di situ ada Jessica.

Keberadaan sianida dalam tubuh Mirna setelah mati bukan disebabkan dari luar, tapi dari tubuhnya sendiri. Itu hal alamiah pada orang mati.

Kenyataannya kadar sianida di tubuh Mirna memang sangat sedikit, jumlah yang setara dengan proses alami yang kadang terjadi pada orang mati.

Lalu bagaimana dengan keberadaan sianida di gelas kopi yang diminum Mirna? Bagian itulah yang paling membingungkan.

Di satu sisi, gelas yang dipakai Mirna konon sudah dicuci pihak kafe, tapi di sisi lain dinyatakan ada sejumlah sianida dalam gelas Mirna.

Dua fakta atau penjelasan itu saja sudah bertolak belakang. Bisa jadi, sianida itu baru dimasukkan ke gelas Mirna... setelah dia mati.

Pertanyaannya, tentu saja, siapa yang menaruh sianida di gelas Mirna? Bisa siapa saja. Apa alasannya? Kita semua telah tahu jawabannya.

Dengan adanya sianida di gelas Mirna, Jessica menjadi tertuduh. Dan jika memang begitu kenyataannya, “si pelaku” benar-benar profesional.

Si pelaku, siapa pun dia, tahu bahwa jasad Mirna kelak akan memproduksi kadar sianida, dan dia sengaja memasukkan sianida ke gelas Mirna.

Omong-omong, jika kita sering mengonsumsi obat (misal pil/obat sakit kepala), saat mati kelak tubuh kita akan mengandung sejumlah racun.

Jika Si A sering minum pil, dan kebetulan dia mati tanpa sebab, lalu dilakukan otopsi, dalam tubuhnya pasti akan ditemukan sejumlah racun.

Jika Si A kebetulan mati saat bersamamu, dan aku menaruh racun ke dalam gelas Si A, bisa jadi orang-orang akan menuduhmu meracuni Si A.

Orang-orang tidak akan mencurigaiku, karena aku tidak kenal Si A. Kau yang mengenal Si A, yang bersamanya, jadi kau yang akan dituduh.

Sudah paham bagaimana alur peristiwa yang mungkin terjadi...? Itulah kenapa, aku meragukan Mirna mati karena sianida dan Jessica pelakunya.

Akhirnya, jika memang polisi, jaksa, dan hakim, tidak bisa membuktikan bahwa Jessica membunuh Mirna, seharusnya Jessica dibebaskan.

Jika memang polisi, jaksa, dan hakim, tidak bisa membuktikan kesalahan Jessica, itu bukan urusan atau masalah Jessica. Itu urusan mereka.

Di atas semua itu, lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Oktober 2016.

KMPGCMLNG

Iya.

Senin, 10 Oktober 2016

Hegemoni Nasi Goreng, Monopoli Keyakinan, Kepicikan Ideologi, dan Masalah Terbesar Umat Manusia

Memilih berbeda itu mudah. Yang sulit adalah menjalaninya.
@noffret


Judul catatan ini mungkin terdengar seperti judul makalah mahasiswa sok pintar. Padahal catatan ini saya tulis gara-gara pusing mikir penjual nasi goreng. Akar kepusingan saya sederhana. Yaitu, mengapa setiap malam ada banyak penjual nasi goreng lewat di depan rumah saya, tapi tidak ada penjual nasi lain?

Dalam pikiran saya sebagai bocah, mestinya setiap malam ada banyak penjual nasi lain, sehingga setiap orang—termasuk saya—punya pilihan untuk makan malam. Kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang beragam, sehingga setiap orang memiliki alternatif, dan bebas menentukan pilihan. Sebaliknya, kehidupan yang tidak memiliki pilihan adalah hidup yang gelap. Dalam hal ini, nasi goreng membekukan pilihan.

Saban malam, ada puluhan penjual nasi goreng yang lewat di depan rumah. Satu penjual lewat, beberapa menit kemudian ada penjual nasi goreng lain yang lewat, dan begitu seterusnya. Dulu, saya bersyukur dengan keberadaan mereka, sehingga nyaris setiap malam makan nasi goreng. Waktu itu, saya pikir sungguh enak bisa makan malam tanpa harus kelayapan ke mana-mana. Tinggal menunggu di rumah, dan nasi goreng lewat. Saya bisa kenyang tanpa harus terjebak macet di jalanan.

Tetapi, lama-lama, saya jenuh setiap malam makan nasi goreng. Sebulan dua bulan saya masih tahan, dan nasi goreng masih terasa enak. Tapi setelah rutinitas itu berlangsung beberapa tahun, saya pun sampai pada titik kebosanan. Akhirnya, saya bahkan benar-benar bosan makan nasi goreng, bahkan kini sudah masuk tahap tidak doyan.

Ketika sampai pada tahap itu, saya pun berpikir. Lalu pusing.

Keberadaan banyak penjual nasi goreng setiap malam, seperti yang disebut tadi, telah membekukan pilihan. Setiap malam, saat ingin makan, orang tidak punya pilihan lain selain nasi goreng. Itu tidak sehat, pikir saya. Pertama, karena sesuatu yang dibiasakan akan sampai pada titik bosan. Dalam hal ini, kebosanan saya bisa menjadi contoh. Kedua, karena setiap malam yang ada cuma nasi goreng, maka—disadari atau tidak—nasi goreng pun menjadi semacam hegemoni.

Saya kerap bertanya-tanya, kenapa tidak ada orang yang mencoba jualan nasi lain? Misalnya nasi kebuli keliling, atau nasi tomat keliling, atau nasi uduk keliling, dan sebagainya? Kalau penjual aneka macam nasi itu juga berkeliling ke kampung-kampung, maka orang-orang akan memiliki banyak pilihan. Bisa tetap memilih nasi goreng, atau memilih nasi kebuli, nasi tomat, nasi uduk, atau yang lain. Tapi kenapa tidak ada orang yang jualan nasi keliling selain nasi goreng?

Mungkin saja ada orang-orang yang punya ide semacam itu. Mereka punya ide untuk membuat nasi tomat, nasi kebuli, atau nasi lain, dan menjajakannya seperti nasi goreng. Tetapi, mungkin, mereka berpikir bahwa orang-orang telah terbiasa dengan nasi goreng setiap malam, dan mereka pun khawatir dagangan mereka tidak laku jika menjual nasi lain selain nasi goreng.

Di sisi lain, setiap orang yang ingin makan malam tapi malas keluar rumah harus menerima kenyataan bahwa mereka hanya punya satu pilihan, yaitu nasi goreng. Artinya, suka atau tidak, mereka harus makan malam dengan nasi goreng. Padahal, jika mau keluar rumah, mereka akan menemukan makanan apa pun yang jauh lebih enak dan lebih lezat dibanding nasi goreng.

Itulah awal mula hegemoni.

Diakui atau tidak, nasi goreng telah menjadi hegemoni. Penjual nasi goreng keliling selalu ada setiap malam, karena selalu ada yang membeli. Setiap malam selalu ada orang membeli nasi goreng, karena mereka tidak punya pilihan lain selain nasi goreng. Oh, well, itulah hegemoni! Yaitu suatu bentuk pengondisian—secara sadar atau pun tidak—sehingga orang-orang tidak punya pilihan, meski sebenarnya mereka punya pilihan.

Dalam urusan nasi goreng keliling, dua hal terbentuk. Di sisi konsumen, nasi goreng menawarkan satu-satunya pilihan. Sementara di sisi bukan konsumen, nasi goreng seolah menutup kemungkinan alternatif.

Seperti yang disebut tadi, bisa jadi ada orang-orang yang punya ide untuk menjual nasi tomat keliling, nasi uduk keliling, nasi kebuli keliling, dan lain-lain. Tetapi, karena keberadaan nasi goreng keliling telah berlangsung bertahun-tahun (atau bahkan berabad-abad), mereka yang punya ide itu jadi khawatir tidak akan mampu bersaing dengan nasi goreng. Padahal nasi kebuli atau nasi tomat jauh lebih enak dibanding nasi goreng—setidaknya di lidah saya—tapi orang-orang yang ingin bersaing sudah keburu khawatir.

Dan, sekali lagi, itulah hegemoni! Yang menyedihkan, hegemoni tidak hanya dibentuk oleh penjual nasi goreng keliling.

Dalam hidup, orang-orang juga menghadapi banyak hal, dan mereka terjebak dalam hegemoni yang sama. Merasa dan menganggap tidak punya pilihan, padahal bentangan pilihan begitu luas tersedia. Mereka telah terperangkap dalam monopoli pikiran yang dikondisikan oleh lingkungan, dan mereka tidak memiliki keberanian untuk keluar dari kungkungan itu. Konsekuensinya, mereka menghadapi satu-satunya hal yang harus dipilih, padahal di luar sana ada banyak pilihan lain yang bisa jadi lebih baik.

Kita mengahadapi nasi goreng sebagai satu-satunya pilihan untuk makan malam, kenapa? Karena kita tidak mau keluar rumah! Sesederhana itu masalahnya!

Karena kita tidak mau keluar rumah, kita pun terpaksa memilih nasi goreng. Karena kita terus memilih nasi goreng, penjual nasi goreng pun terus ada. Karena penjual nasi goreng keliling terus ada, maka timbul keyakinan bahwa nasi yang bisa dijual hanya nasi goreng. Akibatnya, orang-orang yang ingin mencoba berjualan nasi lain jadi khawatir tidak laku. Sudah melihat lingkaran setan di sini?

Nasi goreng muncul sebagai satu-satunya pilihan, bukan karena menjadi yang terbaik, melainkan karena datang di waktu yang tepat, dalam kondisi yang tepat, dan berhadapan dengan orang-orang yang tepat. Mereka datang di waktu malam, saat orang-orang lapar dan ingin makan, tapi tidak mau repot-repot keluar. Kondisi itu sempurna bagi penjual nasi goreng keliling, dan mereka pun menjelma hegemoni.

Tetapi, persoalan besar umat manusia bukan penjual nasi goreng. Karena penjual nasi goreng—sebagaimana yang saya ocehkan di sini—hanyalah secuil ilustrasi dari hegemoni yang lebih besar, yang kita hadapi setiap hari. Kita, disadari atau tidak, menghadapi hegemoni yang lebih luas, lebih besar, yang sama-sama menjebak dan memerangkap kita untuk tidak punya pilihan, padahal di luar sana ada begitu banyak pilihan.

Seperti ideologi, misalnya. Atau keyakinan. Atau perspektif. Atau cara kita dalam memandang kehidupan. Semuanya bisa membentuk hegemoni, tanpa kita sadari, lalu kita berpikir seolah tak punya pilihan, tanpa mau menyadari dan melihat bahwa sebenarnya kita punya banyak pilihan.

Mari kita ambil contoh yang mudah. Perkawinan.

Saat ini, perkawinan telah menjelma sebagai hegemoni, sebagai satu-satunya pilihan, padahal setiap orang memiliki pilihan lain selain menikah. Kenapa? Karena kita dikondisikan untuk percaya dan yakin begitu.

Tetangga kita menikah, famili kita menikah, saudara kita menikah, teman-teman kita menikah, lingkungan kita menikah, dan masyarakat kita menikah. Itu pun masih ditambah dengan banyaknya keparat kurang kerjaan yang terus dan terus dan terus memprovokasi kita untuk menikah. Akibatnya, kita menganggap—bahkan meyakini—pernikahan sebagai satu-satunya pilihan, padahal sebenarnya ada pilihan lain.

Dalam konteks kehidupan kita, perkawinan tidak jauh beda dengan penjual nasi goreng keliling. Selalu ada, sejak zaman dahulu kala, dan kita terbiasa dengannya, hingga menganggap ia satu-satunya pilihan.

Akibatnya, orang-orang menganggap bahwa satu-satunya pilihan hidup adalah perkawinan, dan mereka pun ngebet kawin, meski telah diberitahu dan diingatkan bahwa perkawinan belum tentu seindah yang mereka bayangkan.

Meyakini nasi goreng sebagai satu-satunya pilihan tentu saja keliru, karena di luar sana ada banyak pilihan lain. Meyakini bahwa hidup hanya untuk kawin juga keliru, karena di luar perkawinan ada pilihan lain. Tetapi, sekali lagi, kita telah dikondisikan untuk percaya begitu, karena perkawinan—sebagaimana nasi goreng keliling—telah menjadi hegemoni.

Itulah masalah terbesar umat manusia. Kebiasaan yang menjadi hegemoni. Hegemoni yang menjelma monopoli. Lalu monopoli menyempitkan cara kita berpikir. Ideologi yang sempit dan keyakinan picik lahir dari kondisi semacam itu.

Kini, setiap malam, setiap kali mendengar suara penjual nasi goreng menabuh wajan, saya berpikir, “Apakah hidup memang harus dihabiskan dengan memakan nasi goreng setiap malam?”

Dan saya tahu jawabannya, “Tidak!”

Kemudian, saya juga berpikir, “Apakah setiap manusia dilahirkan hanya untuk tumbuh besar, lalu kawin, beranak pinak, mewariskan keyakinan yang sama pada keturunannya, lalu mati?”

Oh, well, sebagaimana tadi, saya pun tahu jawabannya, “Tidak!”

Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan menikmati sesuatu yang monoton bahkan membosankan, sama singkatnya jika dihabiskan hanya untuk kawin dan beranak pinak. Kawin atau tidak kawin adalah soal pilihan, dan—sebagai manusia—saya menyadari punya pilihan selain perkawinan.

Kebebasan dan Kemerdekaan

Sebenarnya, aku tidak peduli siapa berkewarganegaraan apa. Selama manusia bisa saling menghargai dalam hening, kupikir dunia baik-baik saja.
—Twitter, 16 Agustus 2016

Kemerdekaan adalah menjalani kehidupan sesuai pilihan, dan bertanggung jawab pada pilihan, dan tidak ada orang yang meributkan pilihanmu.
—Twitter, 16 Agustus 2016

Kebebasan adalah hak untuk menentukan kau akan kawin atau tidak, dan tidak ada orang yang mengusik pilihanmu untuk kawin atau tidak.
—Twitter, 16 Agustus 2016

Hidup bebas dan merdeka adalah hidup berdasarkan pilihan, dan tidak ada orang lain yang meributkan. Tanpa itu, kita semua masih terjajah.
—Twitter, 16 Agustus 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Tingkat Tabu

Sambil mengisap rokok dengan kenikmatan tingkat tabu, seseorang berkata, “Tidak cukup...”

Saya manggut-manggut, sambil mengisap rokok dengan kenikmatan tingkat tabu.

Kamis, 06 Oktober 2016

Rumah di Samping Masjid

Kita sedang hidup di abad pamer,
ketika yang esensial menjadi sebatas artifisial,
yang seharusnya hening diteriakkan hingga sangat bising.
@noffret


Dalam bisnis properti, ada hukum yang selalu diingat para pialang, berbunyi, “Lokasi, Lokasi, Lokasi.” Artinya, semakin baik lokasi suatu properti berada, semakin bernilai tinggi atau semakin mahal harganya. Rumah yang ada di pusat kota memiliki nilai lebih tinggi dibanding rumah yang ada di pinggir kota, meski memiliki ukuran dan wujud sama. Karena lokasi yang strategis ikut menentukan nilai dan harga.

Ternyata, dalam hal ini, rumah yang berdekatan dengan masjid agak memiliki masalah. Setidaknya, itulah yang dialami Husein, seorang teman, yang sedang berusaha menjual rumah warisan orangtuanya. Sudah ditawarkan ke orang-orang, tapi transaksi selalu batal, setelah diketahui rumah itu berada di samping masjid. Biar cerita ini utuh dan bisa lebih dipahami, izinkan saya mengisahkan latar belakangnya.

Orangtua Husein memiliki rumah, yang telah dibangun puluhan tahun lalu. Husein memiliki tiga kakak perempuan yang semuanya telah menikah, dan hidup bersama suami masing-masing. Karenanya, yang masih tinggal bersama orangtua hanya Husein. Ketika kemudian ayah-ibu Husein meninggal, rumah itu pun menjadi hak waris Husein dan ketiga kakaknya.

Karena ketiga kakak Husein telah punya rumah sendiri-sendiri, mereka pun tidak membutuhkan rumah warisan tersebut. Mereka bahkan meminta Husein tinggal di rumah orangtua mereka, agar rumah itu tetap menjadi milik keluarga. “Kita bisa menggunakannya untuk kumpul-kumpul pas lebaran,” kata kakak sulung Husein.

Sebenarnya, itu tawaran yang baik. Sayangnya, Husein sudah tidak betah tinggal di sana. Pasalnya, rumah itu ada di samping masjid, dan setiap saat suara TOA yang sangat keras terdengar dari masjid hingga masuk ke rumah-rumah. Banyak orang di sana—tetangga-tetangga Husein—yang terganggu dengan hal itu, termasuk Husein.

Lingkungan tempat tinggal Husein adalah lingkungan muslim, tidak ada satu pun yang nonmuslim. Meski begitu, mereka terganggu dengan aneka suara bising yang nyaris tanpa henti terdengar dari masjid. Husein dan tetangga-tetangganya tentu tidak mempermasalahkan seruan azan dari masjid, karena salah satu fungsi masjid memang menyerukan datangnya waktu shalat. Tetapi, di luar itu, masjid di lingkungan mereka seperti terus memperdengarkan suara lain yang sama keras. Dari suara rekaman tilawah sampai suara-suara lain, yang semuanya dikeraskan melalui TOA.

Sehabis subuh, saat orang-orang ingin menikmati keheningan, ada suara orang mengaji yang dikeraskan TOA. Setelah itu selesai, ada pengajian ibu-ibu yang biasanya diisi oleh seorang ustad, dan suara ceramah itu pun dikeraskan TOA. Menjelang dhuhur, terdengar suara rekaman tilawah hingga datang waktu azan dhuhur. Lalu hal sama terulang menjelang ashar. Seusai ashar sampai maghrib, suara rekaman tilawah atau lainnya terus terdengar melalui TOA.

Seusai maghrib, ada pengajian bapak-bapak, yang juga diisi seorang ustad, dan lagi-lagi suara ceramah dari sana dikeraskan TOA sampai isya. Seusai isya, kadang masih ada hal-hal lain yang terus memperdengarkan suara dan kebisingan. Dan hal semacam itu terjadi setiap hari. Padahal, pada acara pengajian—untuk bapak-bapak maupun ibu-ibu—kadang yang ada di sana cuma beberapa orang. Tapi suara ceramah si ustad dikeraskan TOA hingga seisi komplek mendengar.

Orang-orang di sana sudah tidak nyaman dan terganggu sejak lama, tapi tidak ada satu pun yang berani mengatakan terang-terangan. Masalah semacam itu, kita tahu, sangat sensitif. Satu orang yang terang-terangan mengatakan terganggu akibat suara bising dari masjid bisa dianggap “salah”, dan tidak ada satu pun yang berani menanggung risiko. Padahal, itu lingkungan muslim, dan tidak ada satu pun nonmuslim. Jadi, warga di sana—yang semuanya muslim—diam-diam hidup dalam perasaan tertekan.

Latar belakang itulah yang menjadikan Husein ingin segera meninggalkan rumah orangtuanya, hingga ia memutuskan untuk menjual rumah tersebut. Lebih dari itu, Husein juga sudah punya rumah sendiri di tempat lain, yang ia beli melalui KPR. Rencana Husein, kalau rumah orangtuanya telah terjual, dia akan pindah ke rumahnya sendiri. Rencana Husein disetujui tiga kakaknya, dan Husein pun mulai menawarkan rumah itu kepada orang-orang yang mungkin berminat. Dia membuat dokumentasi rumah orangtuanya, lengkap dengan foto-foto.

Karena rumah kuno, dan menggunakan kayu-kayu jati, ada cukup banyak orang yang berminat pada rumah orangtua Husein. Dilihat di foto, rumah itu tampak megah, anggun, sekaligus asri. Maka, satu per satu dari mereka pun tertarik untuk melihat langsung rumah tersebut. Tetapi, setiap kali orang-orang itu datang ke rumah Husein, setiap kali pula mereka kehilangan minat. Bukan karena wujud rumahnya, melainkan karena lokasinya!

Seperti yang dibilang tadi, rumah itu berada di samping masjid. Ketika mereka datang ke rumah Husein, mereka mengalami kesulitan komunikasi, akibat polusi suara yang datang dari TOA masjid. Jadi, mereka terpaksa bercakap-cakap di sana dengan suara keras, demi mengatasi bising TOA yang terdengar.

Salah satu orang yang pernah datang ke sana adalah seorang pria yang kebetulan menyukai benda-benda kuno, termasuk rumah kuno. Semula, pria itu antusias saat melihat foto-foto rumah yang ditunjukkan Husein, dan dia pun datang ke rumah Husein untuk melihat langsung. Tetapi, seketika dia kehilangan minat saat sampai di sana, akibat pekaknya telinga.

Husein menceritakan, saat berada di rumahnya, pria tersebut bertanya—atau mungkin lebih tepat disebut berteriak—“APAKAH SUARA KERAS ITU SERING TERDENGAR?”

“YA,” jawab Husein jujur. “MASJID SEBELAH MEMANG SERING ADA ACARA, JADI SERING TERDENGAR SUARA-SUARA.”

Orang itu pun pergi. Sama seperti orang-orang sebelumnya yang pernah datang ke sana. Sepertinya memang tidak ada yang sanggup menahan bising TOA.

Tergerak ingin membantu Husein, saya mempertemukan Husein dengan Haji Iskandar. Siapa tahu Iskandar berminat membeli rumah orangtua Husein, pikir saya. Iskandar punya usaha dalam skala besar, punya uang, dan ada kemungkinan dia butuh rumah baru, karena tak lama lagi akan menikah. Lebih dari itu, dia orang salih, taat beragama, jadi kemungkinan besar akan tahan dengan suara-suara dari masjid.

Ketika Husein memperlihatkan foto-foto rumahnya, Iskandar tertarik. Maka, suatu sore—setelah Iskandar punya waktu dari kesibukan kerjanya—dia pun mengajak saya ke rumah Husein, untuk melihat langsung rumah tersebut. Husein menyambut kami, dan mengantarkan Iskandar untuk melihat-lihat isi rumah. Waktu itu, sebenarnya, Iskandar tertarik, karena rumah itu luas, asri, dan bangunannya benar-benar kokoh, khas rumah zaman dulu.

Tetapi, lagi-lagi, bising TOA dari masjid membuyarkan hal itu. Iskandar, sebagaimana orang-orang lain yang pernah datang ke rumah itu, seketika kehilangan minat.

Saya ingat betul, waktu itu Iskandar berkata pada Husein, “Sejujurnya aku sangat berminat dengan rumahmu, karena rumah seperti inilah yang ingin kutempati. Apalagi aku akan menikah tak lama lagi, dan tentu butuh rumah yang luas, karena mungkin akan punya anak-anak. Tapi suara dari masjid sangat keras, dan terus terang... maaf, aku tidak akan nyaman dengan suara-suara sangat bising seperti itu.”

Husein memaklumi pernyataan Iskandar, karena dirinya pun merasakan hal yang sama. Jadi, seperti yang lain-lain, Iskandar batal membeli rumah Husein.

Dalam perjalanan pulang, saya sempat berkata pada Iskandar, “Kupikir kamu orang salih, dan rumah itu tepat di samping masjid. Ternyata...”

“Salih sih salih,” ujar Iskandar sambil nyengir. “Tapi kalau selalu terdengar suara TOA sebising itu, aku bisa gila kalau tinggal di sana.”

Sebagai properti, rumah Husein sebenarnya tidak punya masalah. Dibangun di atas tanah yang luas, memiliki bangunan kokoh dan dilengkapi kayu-kayu jati, dengan halaman depan dan belakang yang sama-sama luas. Lokasi rumah itu juga tergolong ada di dekat pusat kota. Secara keseluruhan, rumah itu sebenarnya masuk golongan “properti bagus”. Satu-satunya masalah cuma... tempatnya di samping masjid!

Itu ironis, kalau dipikir-pikir. Orang-orang yang pernah datang ke rumah Husein, untuk melihat rumah itu secara langsung, adalah orang-orang Islam. Tapi mereka kehilangan minat pada rumah tersebut, karena letaknya di samping masjid yang terus mengumbar kebisingan. Masjid itu ada di lingkungan muslim, yang dihuni oleh orang-orang Islam. Tetapi, meski begitu, orang-orang di sana juga tidak nyaman dengan suara-suara masjid yang mengumbar kebisingan.

Bahkan Husein—yang lahir dan besar di sana—ingin segera angkat kaki dari tempat itu, agar bisa tinggal di rumahnya sendiri yang ada di lingkungan lain yang lebih hening, meski kredit KPR-nya belum lunas.

Sekali lagi, itu ironis, kalau dipikir-pikir. Islam datang untuk membawa rahmat, sebagaimana dikatakan para ulama. Tetapi rahmat itu kemudian berubah menjadi sesuatu yang justru mengganggu, bahkan bagi orang-orang Islam sendiri.

Beberapa orang, dengan TOA masjid, mungkin berpikir sedang menyebarkan ajaran agama melalui kerasnya suara kepada orang-orang, karena menganggap begitulah cara menyebarkan rahmat. Tetapi, mungkin, yang dibutuhkan umat Islam adalah keheningan, agar dapat lebih khusyuk berpikir tentang apa sebenarnya rahmat, agar bisa menjalani ibadah dan mengamalkan agama dalam kehalusan budi pekerti di kesunyian... bukan di antara pekak tuli akibat kebisingan.

Bara Dalam Sunyi

Yang paling membara dalam diam,
yang paling sulit dipadamkan.
@noffret


Di sebuah desa yang tenang dan sunyi, seorang filsuf menjalani kehidupan sederhana sebagai petani. Setiap pagi, dia menggiring kerbau ke sawah, membajak tanah dan disengat matahari. Saat siang, bersama teman-temannya sesama petani, dia makan di saung, menikmati makanan sederhana ala petani. Lalu meneruskan kerja sampai sore hari, bersama lelah, keringat, dan hari demi hari.

Selama waktu-waktu itu, orang-orang di sana tidak tahu siapa dia. Mereka hanya tahu lelaki itu seorang petani seperti mereka—sosok sederhana yang menjalani kehidupan sederhana. Tetapi, rupanya, ada seorang bocah di suatu tempat yang diam-diam mengetahui identitas sang filsuf.

“Kenapa dia menyamar jadi petani,” pikir si bocah. Dia tahu, di balik pakaian petani sederhana itu tersembunyi sesosok filsuf. Si bocah pernah mendapati sang filsuf di suatu tempat jauh, dan dia menyaksikan orang-orang sangat menghormati sang filsuf. Kenapa orang terhormat semacam itu menyembunyikan diri di balik kehidupan miskin para petani?

Si bocah merasa dirinya hebat—tipe keparat yang baru merasa pintar—seperti remaja yang baru belajar pencak silat, dan gatal ingin pamer jurus. Ketika tanpa sengaja dia mendapati sang filsuf menyembunyikan identitas di balik kehidupan petani, dia pun menemui sang filsuf. Dengan jumawa, dia berkata, “Tuan Filsuf, aku tahu siapa dirimu.”

Waktu itu sang filsuf baru selesai makan siang, dan saung sudah sepi, karena para petani mulai bekerja kembali. Sang filsuf menatap bocah di hadapannya, dan bergumam, “Kau mengenalku, Nak?”

“Sangat,” jawab sang bocah. “Meski kau menyembunyikan identitasmu dengan rapi di balik baju petani, aku tahu siapa dirimu. Aku pernah melihatmu di tempatku, dan kau menunjukkan dirimu yang asli—sosok filsuf yang dihormati.”

Sang filsuf kembali menggumam, “Jadi?”

“Jadi, aku heran mendapatimu di sini. Bagaimana mungkin seorang filsuf menjalani kehidupan petani sambil menyembunyikan identitas?”

“Menurutmu, Nak, apa yang harus kulakukan?”

“Yang harus kaulakukan, Tuan Filsuf, tentu saja keluar dan menunjukkan jati dirimu pada dunia, berdiskusi dan berdebat dengan orang-orang pintar lain, sebagaimana umumnya para filsuf yang terhormat dan cendekia! Bukan malah menyembunyikan identitas dan menjalani kehidupan petani di desa terbelakang seperti ini!”

“Hidup adalah soal pilihan, Nak.”

Si bocah tersenyum. “Begitu pun aku, Tuan Filsuf.”

“Tentu saja begitu,” sahut sang filsuf.

Si bocah menatap filsuf di hadapannya, kemudian dengan jumawa berkata, “Aku ingin berdebat denganmu.”

Aku tidak suka berdebat dengan siapa pun, Nak, termasuk denganmu.”

Si bocah kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. “Tapi aku ingin berdebat denganmu, Tuan Filsuf. Ayolah, bersikaplah sebagaimana mestinya seorang filsuf.”

Sang filsuf menatap bocah di hadapannya, dan menyahut, “Kenapa kau ingin berdebat denganku?”

“Aku berpikir, jika seorang filsuf menyembunyikan identitasnya, dia tentu bukan filsuf sejati. Karenanya, aku ingin membuktikan apakah kau benar-benar seorang filsuf yang menyamar jadi petani, atau hanya petani bodoh yang pernah mengelabui banyak orang dengan pura-pura menjadi filsuf.”

“Jadi, kau ingin berdebat denganku?”

Si bocah menjawab dengan jumawa, “Jadi, aku ingin berdebat denganmu.”

“Aku menghormati keinginanmu, Nak,” ujar sang filsuf. “Tetapi, sebelum kita mulai berdebat, biar kuberitahu sesuatu. Aku lawan debat yang kejam. Begitu kita mulai berdebat, aku tidak hanya akan mengalahkanmu, tapi juga akan menghancurkanmu sampai lebur. Saat kita selesai berdebat, kau tidak hanya akan merasa kalah, tapi juga akan merasa sangat... sangat... sangat hina.”

Setelah terdiam sesaat, sang filsuf melanjutkan, “Aku tidak tahu siapa kau, Nak, tapi aku tahu siapa diriku. Aku menyembunyikan diri bukan karena lemah, tapi sebaliknya—karena aku tak pernah kalah.”

Menyelamatkanmu, Kata Sebuah Lagu

Ooh... menyelamatkanmu, kata sebuah lagu.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Angon Bebek Tapi Miliuner

Bekerja adalah hak mulia yang hanya dimiliki manusia.
Mencintai pekerjaan yang dipilih adalah menjalani hidup dengan mulia.
@noffret


Angon bebek adalah istilah Jawa untuk menyebut “penggembala bebek”. Orang yang disebut “angon bebek” biasanya bertugas menggembala sekumpulan bebek agar dapat menemukan makanan di tempat luas. Bebek-bebek berjalan di depan, sementara si angon bebek berjalan di belakang, kadang sambil membawa galah panjang untuk menghalau bebek-bebek agar tetap ada dalam barisan.

Sebagaimana pekerjaannya yang sederhana, seorang angon bebek juga sosok sederhana. Saat menggembala bebek, biasanya dia cuma mengenakan kaos lusuh, celana lusuh, sandal jepit, atau tidak mengenakan alas kaki sama sekali. Biasanya, saat menemukan padang luas, angon bebek akan berhenti, beristirahat, dan membiarkan bebek-bebeknya mencari makan dengan asyik.

Sekarang, jika saya—umpamakan saja—berkata kepadamu, “Saya seorang angon bebek.” Kira-kira, apa yang akan muncul dalam bayanganmu?

Kemungkinan besar benakmu segera dipenuhi bayangan ilustrasi sebagaimana yang tadi saya sebutkan—seorang bocah berpakaian lusuh dan sederhana, yang menggembala sekelompok bebek di padang luas. Kalau kau seorang wanita, bisa jadi kau juga berpikir, “Angon bebek, huh? Pasti miskin, tidak berpendidikan, tidak punya masa depan. Bukan jenis lelaki yang kucari!”

Kesan semacam itu mungkin tidak pernah dikatakan terang-terangan. Tetapi, jujur saja, kebanyakan orang akan berpikir seperti itu. Angon bebek jelas bukan profesi membanggakan yang didambakan banyak orang. Selain pekerjaannya relatif sederhana, penghasilan yang diperoleh angon bebek juga tentu sangat minim. Karena itulah, kebanyakan angon bebek tidak berpendidikan tinggi, sehingga bersedia bekerja sebagai angon bebek.

Kemudian, karena kesan angon bebek sebagai “pekerja rendahan” dengan penghasilan minim, tentu seorang angon bebek bukan jenis pasangan yang diidamkan mayoritas wanita. Kebanyakan wanita tentu mendambakan pasangan yang memiliki penampilan hebat, juga pekerjaan hebat, dengan penghasilan hebat. Wanita tentu akan lebih tertarik pada pegawai bank, misalnya, daripada seorang angon bebek.

Sekarang, jika saya berkata, “Saya seorang angon bebek, tapi miliuner.” Kira-kira apa yang akan muncul dalam benakmu? Lebih penting lagi, kira-kira bagaimana responsmu?

Angon bebek mungkin terdengar rendah, lusuh, tak berpendidikan, dan tidak punya masa depan. Tetapi seorang angon bebek yang miliuner pasti akan mengubah total persepsimu terhadap angon bebek!

Oh, saya paham apa yang ada di benak kalian saat ini. Sekarang kalian pasti ingin berteriak, “Bagaimana bisa seorang angon bebek menjadi miliuner?”

Mari kita bayangkan kisah fiktif berikut.

Saya seorang anak lelaki, lahir dan tumbuh dalam keluarga miskin. Saat ayah saya meninggal dunia, warisannya yang berharga adalah sepasang bebek. Karena saya tidak berpendidikan, juga karena tidak memiliki penampilan meyakinkan, saya pun memutuskan untuk memelihara sepasang bebek tersebut, sekaligus untuk menjaga warisan ayah saya tercinta.

Saat bebek itu bertelur, saya menetaskannya, hingga jumlah bebek yang saya miliki bertambah. Dan begitu seterusnya. Bebek yang semula sepasang berubah menjadi selusin. Lalu bertambah lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi. Seiring dengan itu, saya pun rajin menggembala bebek-bebek yang saya miliki ke padang luas, agar mereka leluasa menemukan makanan. Jadi, saya seorang angon bebek.

Selain menetaskan telur hingga menjadi bebek, saya juga menjual hasil telur bebek-bebek yang sama miliki. Ada banyak orang yang siap menampung telur bebek, dan saya menjualnya pada mereka. Seiring waktu, seiring banyak tabungan yang saya miliki, saya pun berpikir untuk mengembangkan usaha. Saya membeli banyak bebek, memelihara mereka, dan menjual telur-telur yang dihasilkan.

Tahun demi tahun berganti, dan usaha saya semakin besar. Jumlah bebek yang saya miliki tidak lagi puluhan, tapi ribuan. Dan yang ribuan itu terus berkembang untuk menjadi lebih banyak lagi, menjadi puluhan ribu. Untuk memelihara mereka semua, saya membeli sebidang tanah luas yang digunakan sebagai kandang raksasa. Saya juga mempekerjakan banyak orang yang bertugas memelihara, memberi makan, serta membersihkan kandang-kandang bebek.

Seiring dengan itu, puluhan ribu bebek yang saya miliki terus menghasilkan telur yang mendatangkan banyak penghasilan. Kini, selain menjual telur mentah, saya juga membuka usaha baru, yaitu pembuatan telur asin. Sebagian telur bebek saya produksi menjadi telur asin, dan menjualnya dalam kondisi matang. Setiap hari, tempat bebek saya menghasilkan ribuan butir telur asin, selain masih pula menyediakan telur mentah. Itu masih ditambah dengan usaha penjualan bebek yang akan diambil dagingnya. Banyak rumah makan yang membutuhkan daging bebek.

Dari usaha tersebut, saya bisa mengumpulkan uang dalam jumlah luar biasa banyak, bahkan dengan cara yang—bagi saya—sangat mudah. Saya sangat mengenal bebek, karena makhluk itulah yang telah menemani saya sejak kecil. Jadi, saya tahu betul apa yang harus dilakukan terhadap bebek. Ketika bebek-bebek yang saya miliki semakin banyak, hingga jumlahnya ribuan, saya pun tahu apa yang harus dilakukan, dan saya membayar banyak pekerja untuk melakukannya.

Pekerja yang saya miliki tidak sebatas di kandang bebek. Saya juga menggaji banyak pekerja berpendidikan tinggi yang bertugas mengurus administrasi, akuntansi, pemasaran, distribusi, transportasi, sampai humas, dan lain-lain. Secara pendidikan, bahkan secara penampilan, mereka jauh lebih hebat dari saya. Tetapi, terus terang, mereka karyawan saya! Oh, tentu saja mereka mendapat gaji besar. Tetapi, terus terang pula, saya memiliki penghasilan yang ribuan kali lebih besar dibanding mereka!

Jadi, seperti yang saya katakan tadi, saya seorang miliuner. Tetapi, meski menjadi miliuner, saya tetap suka menggembala bebek-bebek yang saya miliki. Setiap hari, saya mengambil sekelompok bebek dari kandang, lalu menggembala mereka ke padang-padang yang kini telah menjadi milik saya. Oh, saya suka menjadi angon bebek. Saya menjalani pekerjaan angon bebek bukan karena apa pun, tapi semata karena cinta. Saya mencintai menjadi angon bebek!

Tidakkah kalian paham? Saya menjadi angon bebek bukan karena berharap apa pun, apalagi berharap uang. Saya seorang miliuner, ingat? Saya menjadi angon bebek, karena mencintai yang saya lakukan! Bebek adalah warisan ayah saya tercinta, dan saya tahu yang harus saya lakukan adalah merawatnya dengan penuh kasih. Sebegitu baik saya bekerja sebagai angon bebek, hingga pekerjaan ini memungkinkan saya menjadi miliuner.

Sekarang, karena telah menjadi miliuner, saya punya kebebasan yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Sebagai miliuner, saya bisa melakukan apa pun, termasuk menjadi angon bebek! Oh, saya tidak bekerja untuk uang. Saya menjadi angon bebek, semata karena mencintai yang saya lakukan.

Setiap hari, menyambut matahari bersinar cerah, saya akan menggembala bebek-bebek ke padang luas. Sambil menyaksikan mereka menikmati makanan, saya duduk di bawah pohon yang adem, menyaksikan mereka dengan hati riang. Dan diam-diam saya bersyukur menjadi angon bebek, karena kehidupan memberi banyak hal untuk saya dari pekerjaan ini. Oh, well, apa yang lebih hebat dari menjadi angon bebek?

Jadi, sekarang saya berkata kepadamu, “Saya seorang angon bebek, tapi miliuner.”

....
....

Setelah membaca ulasan di atas, kebanyakan orang mungkin akan mengubah persepsi mereka, khususnya kepada angon bebek. Wanita yang semula tidak mau menikah dengan angon bebek pun pasti akan berubah pikiran. Calon mertua yang semula mengharapkan punya menantu pegawai bank, juga berubah terbuka untuk menerima calon menantu angon bebek. Benar tidak?

Jadi, apa yang terjadi? Setidaknya, kita bisa mengambil beberapa pelajaran dari hal ini.

Pertama, tidak ada pekerjaan yang lebih baik atau lebih buruk. Semua jenis pekerjaan adalah mulia, selama orang menghadapi pekerjaannya dengan baik, dengan cinta. Alam semesta tidak pernah mempersoalkan apa pekerjaanmu, tetapi bagaimana kau memperlakukan pekerjaanmu. Seorang angon bebek yang mencintai pekerjaannya jauh lebih mulia, daripada direktur bank yang membenci pekerjaannya, atau daripada pejabat yang korupsi dan mengisap darah rakyat.

Kedua, jangan menilai rendah seseorang hanya berdasarkan pekerjaannya. Kita tidak pernah tahu bagaimana perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Mungkin seorang artis tampak mewah dan glamor, dan kita pun mengagumi mereka. Tidak masalah. Tetapi jika seorang angon bebek—atau pekerja apa pun—juga mencintai yang mereka lakukan, dan mereka bersyukur dengan pekerjaannya, kita pun patut menghargai dan menghormati mereka beserta pekerjaannya. Lebih dari itu, siapa yang tahu kalau ternyata angon bebek memiliki penghasilan lebih besar dari artis?

Ketiga, cintai dan hormati pekerjaanmu, karena dengan itulah setiap manusia hidup. Orang paling bahagia di dunia adalah orang yang mencintai pekerjaannya. Sebaliknya, orang yang paling menderita di dunia adalah orang yang membenci pekerjaannya.

Setiap hari, sepertiga waktu kita dihabiskan untuk bekerja, dan kadang lebih. Jika kita mencintai yang kita kerjakan, kita akan menikmati saat-saat itu, dan kebahagiaan selama bekerja akan memberi dampak positif pada kehidupan kita yang lebih luas. Sebaliknya, jika kita membenci yang kita kerjakan, maka waktu bekerja akan menjadi saat-saat menyengsarakan, dan itu akan memberi dampak negatif pada kehidupan kita yang lebih luas.

Jika kita memperlakukan pekerjaan dengan baik, maka pekerjaan pun akan memperlakukan kita dengan baik. Jika kita bekerja dengan baik dan penuh cinta, hasil pekerjaan kita pun juga baik dan berharga. Dan apa pun yang baik serta berharga, selalu mendatangkan hasil yang sama baik dan berharga. Jika kita mendapatkan hal-hal baik dan berharga dari pekerjaan kita, maka kita pun akan berusaha bekerja lebih baik lagi, dan lebih baik lagi. Begitulah sukses dimulai, dibangun, dan dijalani.

Jadilah apa pun, dan kerjakanlah pekerjaan apa pun. Dengan semangat, dengan cinta, dengan penuh pengabdian. Karena angon bebek yang baik sama berharga dengan presiden yang baik. Memimpin sekumpulan bebek dengan hati bahagia, sama mulia dengan memimpin sebuah negara.

Kepada Cewek-cewek ABG Bau Popok

Selalu senang melihat pasangan di film-film Hollywood.
Mereka begitu matang, dan dewasa. Tidak seperti di sinetron Indonesia.
@noffret


Suatu hari, seorang artis wanita menikah. Kalau tidak salah ingat, dia menikah saat usianya 30-an, atau menjelang 30. Saya punya perhatian khusus terhadap artis wanita itu, karena pernah jatuh hati kepadanya.

Jadi, saat dia dikabarkan menikah, saya pun sempat memantau aliran berita di internet yang terkait pernikahannya. Artis wanita itu menikah dengan artis pria, yang tampaknya juga memiliki banyak penggemar, khususnya cewek-cewek ABG. Sepertinya, cewek-cewek ABG lebih mengenal si artis pria daripada si artis wanita.

Beberapa hari setelah resepsi perkawinan, pasangan artis itu mengunggah foto-foto resepsi mereka ke sosial media. Sejak itu, berbagai komentar muncul, entah dinyatakan terang-terangan (dikatakan langsung pada artis bersangkutan), maupun dinyatakan di belakang (berupa gerundelan antarteman).

Salah satu “gerundelan” yang sempat saya tangkap adalah percakapan dua cewek ABG, yang isi percakapannya kira-kira seperti ini:

Cewek ABG 1: “Kok udah mbak-mbak gitu, ya. Kirain ceweknya masih unyu, nggak tahunya udah dewasa gitu.”

Cewek ABG 2: “Iya, udah kayak mbak-mbak. Daripada menikah sama mbak-mbak gitu, mending nikah sama aku.”

Ketika mendapati percakapan itu, saya tidak bisa menahan senyum. Dua cewek ABG itu mungkin masih SMA—tipe ABG yang belum tahu apa-apa, dan masih bau popok. Dan mereka mengatakan bahwa artis wanita yang menikah itu “udah kayak mbak-mbak”.

Oalaaaaaaah, pikir saya. Justru yang mbak-mbak kayak gitu yang menjadikan lelaki waras tertarik menikahinya. Kalian yang masih bau popok, memangnya tahu apa? Kalau kalian yang masih ABG bau popok mengira para lelaki tertarik menikahi kalian... oh, well, kalian keliru!

Memang ada lelaki-lelaki yang mungkin tertarik pada kalian—para ABG bau popok—tapi sekadar tertarik pacaran, dan sama sekali tak terpikir untuk menikahi kalian. Mengajak kalian menikah, hei ABG-ABG bau popok, sama saja naik rollercoaster yang naik turun dengan cepat, tapi tubuh tak dilengkapi pengikat. Sama sekali tidak aman, sekaligus berbahaya!

Jadi, hei, ABG-ABG bau popok sedunia, berhentilah berpikir bahwa lelaki-lelaki matang tertarik menikahi kalian. Kami, lelaki-lelaki matang dan waras, hanya tertarik menikahi wanita yang kalian sebut “mbak-mbak”. Karena yang mbak-mbak semacam itulah yang kami pikir layak untuk dinikahi, untuk diajak hidup bersama, karena mereka lebih tahu arti hidup, lebih tahu arti hubungan, dan tidak sekadar nyah-nyih tidak jelas seperti kalian.

Karena itu, hei, ABG-ABG yang masih bau popok, jauh lebih baik bagi kalian untuk mengurus diri dan hidup kalian sendiri, daripada mikir pacaran dan mengimpikan pernikahan. Kalian masih bau popok!

Daripada sibuk pacaran, jauh lebih baik sibuk belajar. Atau membantu ibu kalian di rumah, agar mulai belajar tentang cara menjadi ibu yang baik. Daripada sibuk memelototi foto-foto cowok ganteng yang kalian pikir akan tertarik pada kalian, jauh lebih baik memikirkan kehidupan kalian sendiri, akan jadi apa di masa depan, dan kehidupan macam apa yang kalian inginkan.

Akhirnya, daripada mengimpikan pernikahan—padahal kalian masih bau popok—jauh lebih baik menjalani hidup dengan baik, sekolah yang baik, belajar yang baik, menjadi pribadi yang baik, hingga memiliki kesempatan untuk mendapatkan kehidupan terbaik. Seiring dengan itu, kalian akan terus tumbuh menjadi dewasa, dan menjadi mbak-mbak.

Dan setelah kalian menjadi mbak-mbak, dengan segala kualitas yang kalian miliki karena dapat tumbuh dengan baik, para lelaki pun akan berdatangan untuk mengajak kalian menikah, bahkan umpama kalian tidak menginginkan. Karena lelaki-lelaki matang dan waras seperti kami hanya tertarik pada mbak-mbak yang dewasa, bukan pada cewek-cewek ABG yang masih bau popok!

 
;