Minggu, 01 Oktober 2017

Kursi di Ujung Jembatan

Ketika menyaksikan film The Act of Killing (Jagal)
karya Joshua Oppenheimer, yang ada dalam pikiranku cuma satu. Jijik.

Yang menjijikkan dari "Jagal" bukan filmnya, tapi melihat bahwa manusia
bisa memaklumi perbuatannya, bahkan yang paling menjijikkan.
@noffret


Jembatan Loji adalah jembatan terkenal di Pekalongan, karena usianya yang sangat tua. Jembatan itu berdiri di atas Sungai Loji yang membelah jalan. Konon, jembatan itu telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Sampai sekarang, jembatan itu masih ada, berdiri utuh dan kukuh, meski beberapa perbaikan telah dilakukan seiring zaman.

Di kanan kiri Jembatan Loji terdapat pagar besi, yang membatasi pinggir jembatan dengan sungai. Pada pagar itu terpasang lampu warna-warni, yang menyala indah saat malam hari. Anak-anak muda Pekalongan menyebut pemandangan malam di Jembatan Loji sebagai sesuatu yang “instagramable”.

Di ujung Jembatan Loji, terdapat beberapa kursi untuk orang yang ingin duduk-duduk, menikmati suasana kota. Kebetulan, lokasi itu berdekatan dengan Museum Batik, dan pemerintah kota tampaknya ingin menjadikan sekitar Jembatan Loji sebagai kawasan wisata. Siang hari, khususnya saat cuaca adem, banyak orang duduk-duduk di kursi yang ada di sana.

Ada beberapa kursi di ujung Jembatan Loji, berdiri di atas trotoar jalan, di bawah pohon-pohon rindang. Kursi-kursi itu terbuat dari besi yang dibentuk indah, ukurannya agak panjang, dan bisa diduduki dua atau tiga orang. Ketika melihat kursi-kursi itu pertama kali, saya tergelitik ingin duduk-duduk di sana.

Suatu siang, saat berkendara melewati Jembatan Loji, saya pun kepikiran untuk mencoba duduk-duduk di sana. Waktu itu cuaca sedang adem, dan saya juga sedang selo. Jadi, saya berhenti di pinggir jalan, lalu mendekati salah satu kursi di ujung jembatan, dan duduk di sana sendirian. Itulah pertama kalinya saya duduk di kursi di ujung Jembatan Loji.

Sambil menikmati rokok, saya memandangi lalu lintas di jalan raya, dan merasakan embusan angin yang datang dari pohon-pohon rindang di sana. Pada waktu duduk di sana itulah, tatapan saya tertuju pada bangunan kuno yang tepat berhadapan dengan tempat saya duduk. Yaitu Penjara Loji.

Sama seperti Jembatan Loji, Penjara Loji juga berumur tua. Bangunan penjara itu telah berdiri di sana, jauh-jauh hari sebelum saya lahir, dan sampai saat ini masih berdiri kukuh. Ketika Orde Baru mengampanyekan eufemisme untuk banyak hal, nama Penjara Loji pun diubah menjadi Rutan (Rumah Tahanan) Loji. Saat ini, nama itu (Rutan Loji) tercetak di dinding bangunan tersebut, dan tepat berhadapan dengan tempat saya duduk.

Ketika melihat bangunan rutan itu, angan saya melayang pada suatu kisah yang pernah terjadi di sana... setengah abad yang lalu.

....
....

Setengah abad yang lalu, menjelang akhir 1965, sebuah truk berhenti di depan rumah yang ada di wilayah Kesesi, suatu daerah di Kabupaten Pekalongan, tidak jauh dari Kajen. Beberapa aparat turun dari truk, menggedor rumah, dan tak lama kemudian menyeret tiga orang dari dalam rumah. Tiga orang itu adalah sepasang suami istri, dan satu anak lelaki berusia 13 tahun. Si suami bernama Sukartono, si istri bernama Sukartini, dan si anak lelaki bernama Sutrisno (semua nama itu samaran.)

Sebenarnya, keluarga Sukartono bukan orang Kesesi. Sebelumnya, mereka tinggal di daerah Sebedug, sebuah desa yang tepat berada di pertigaan antara Wiradesa (ke utara), Karanganyar (ke timur), dan Kajen (ke selatan). Tapi mereka terpaksa mengungsi ke rumah famili Sukartono di Kesesi, akibat pecahnya peristiwa “Pemberontakan PKI” pada 30 September 1965.

Ketika Indonesia dilanda kegentingan akibat ribut-ribut PKI pada 1965, kegentingan dan keributan tidak hanya terpusat di Jakarta atau kota-kota besar lain, tapi juga mengalir ke kota-kota kecil, termasuk Pekalongan, bahkan ke wilayah pelosok kabupaten. Seiring dengan itu, orang-orang yang terlibat PKI—atau yang dituduh terlibat PKI—diburu untuk ditangkap.

Kenyataan itu pula yang terjadi pada keluarga Sukartono. Di kampungnya, banyak orang ditangkapi dan ditahan karena menjadi anggota BTI, atau karena dituduh menjadi anggota BTI.

BTI (Barisan Tani Indonesia) adalah organisasi massa petani yang terhubung ke Partai Komunis Indonesia (PKI). BTI didirikan pada 25 November 1945, yang merupakan “perkembangan” Serikat Tani yang dibentuk sebelumnya. Pada 1965, PKI menekan BTI untuk bergabung dengan mereka. Ketika pecah peristiwa “Pemberontakan PKI” pada akhir 1965, para petani itu pun terkena getahnya. Mereka diburu, ditangkapi, ditahan, bahkan dibunuh. Keluarga Sukartono termasuk di antaranya.

Karena merasa terancam itulah, Sukartono membawa istri dan anak tunggalnya ke rumah famili di Kesesi, karena berpikir di sana akan lebih aman. Tapi ternyata harapan Sukartono tinggal harapan. Aparat mencium keberadaannya, dan dia serta keluarga kecilnya dijemput dengan truk, suatu malam.

Ketika Sukartono dan istri serta anaknya dilemparkan ke atas truk, mereka mendapati di atas truk telah ada banyak orang, yang telah dijemput sebelumnya. Tangan-tangan mereka terikat. Beberapa dari mereka ada yang saling kenal, sebagian asing.

Truk itu berjalan, menuju ke Kajen. Ketika sampai di kantor polisi Kajen, sebagian orang ditinggal di kantor polisi untuk ditahan di sana, sementara sebagian lain dipindah ke truk lain. Sukartono, Sukartini, dan Sutrisno, termasuk yang dipindah ke truk lain.

Truk kembali melaju, bersama orang-orang di dalamnya, kali ini menuju ke Kota Pekalongan. Bersama orang-orang yang terikat di truk, ada beberapa aparat yang menjaga. Sementara truk terus melaju, semua orang membisu.

Sebelum masuk wilayah kota, truk berbelok ke arah timur, lalu menyusuri jalan kecil. Pada waktu itulah, seorang aparat di atas truk memukul-mukul atap truk, dan memberitahu sopir, “Ini sudah sampai Gamer! Cari jalan ke arah ke pantai, biar urusannya gampang!”

Gamer adalah daerah yang ada di antara Pekalongan dan Batang. Di dekat kawasan itu memang ada pantai. Lima puluh tahun yang lalu, kawasan Gamer masih seperti hutan rimba, dan pantai yang ada di sana juga nyaris belum terjamah manusia. Truk yang ditumpangi keluarga Sukartono—dan orang-orang lain—menuju ke sana. Makin dekat truk dengan pantai, makin keras suara debur ombak terdengar.

Malam itu sangat sepi. Truk berhenti agak jauh dari pantai, namun kali ini hanya keluarga Sukartono yang diminta turun, sementara orang-orang yang lain tetap ada di truk. Seiring dengan itu, beberapa aparat ikut turun. Salah satunya membawa benda panjang tertutup kain hitam. Beberapa aparat lain menjaga orang-orang di atas truk, dengan senjata terkokang.

Sukartono, Sukartini, dan Sutrisno, digiring mendekati pantai, menjauhi truk. Berdekatan dengan ombak yang berdebur kencang, mereka diminta berhenti, lalu aparat menyeret Sukartono menjauh dari istri serta anaknya. Setelah itu, tepat di bibir pantai, Sukartono dipaksa berjongkok. Seorang aparat mengeluarkan benda panjang dari dalam kain hitam, dan dengan benda itulah dia memenggal kepala Sukartono... di depan mata anak dan istrinya.

Bertahun-tahun kemudian, ketika menceritakan peristiwa itu, Sutrisno menyatakan, “Jantungku berdebar kencang, dan tanpa sadar aku terkencing di celana. Waktu itu usiaku baru 13 tahun, karena baru lulus SD. Aku sadar, ayahku akan dibunuh.”

Sukartini, istri Sukartono, pingsan saat melihat kepala suaminya terlepas dari badan. Sutrisno menuturkan, “Ibuku jatuh menindih tubuhku yang ikut roboh. Aku masih sempat melihat kepala ayahku lepas dari lehernya. Sementara ibuku pingsan.”

Peristiwa itu hanya berlangsung beberapa menit. Setelah itu, Sutrisno—yang masih bocah—diseret kembali ke atas truk. Aparat-aparat yang tadi turun tidak ikut naik, sementara truk kembali melaju. Sejak itu, Sutrisno tidak pernah lagi melihat ibunya.

Ketika di atas truk yang kembali melaju, Sutrisno menuturkan, “Mataku mencari sosok ibuku di kegelapan malam, namun tak terlihat. Apakah ikut dipenggal? Lalu di mana mayat kedua orang tuaku? Apakah ayahku, dan mungkin juga ibuku, dibuang ke laut sesudah dibunuh, agar tidak repot menguburkan dan meninggalkan bekas?”

Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab. Yang jelas, setelah itu, Sutrisno mendapati truk berhenti di depan bangunan penjara. Belakangan, dia tahu tempat itu bernama Penjara Loji.

Tanpa pengadilan, Sutrisno dijebloskan ke Penjara Loji—bersama orang-orang lain—hingga 12 tahun lamanya. Selama itu pula, dia tidak pernah tahu kabar ibunya, dan tak pernah tahu apakah ibunya masih hidup ataukah sudah mati. Yang aneh, selama di penjara, nama Sutrisno “disulap” menjadi Karso, dan disebut sebagai “anggota Pemuda Rakjat pelarian dari Kediri”. Identitas itulah yang harus diakui Sutrisno setiap kali ada pemeriksaan di penjara.

Belakangan, Sutrisno mengatakan, “Aku memang tahu apa itu Pemuda Rakjat. Tapi aku jelas tidak pernah menjadi anggotanya, karena ketika masuk penjara itu aku baru berusia 13 tahunan. (Aku juga tahu) Kediri, itu nama kota di Jawa Timur, tapi hanya kukenal dalam pelajaran sekolah. Tapi itulah yang harus kuakui sebagai kota kelahiranku.”

Setelah dua belas tahun mendekam di Penjara Loji—tanpa tahu apa kesalahan yang telah ia perbuat—Sutrisno dibebaskan. Karena disebut “pelarian dari Kediri”, Sutrisno pun digabungkan dengan para tahanan lain yang waktu itu juga dibebaskan, dan akan dipulangkan ke Semarang.

“Mereka kelihatan gembira akan kembali ke kampung halaman,” ujar Sutrisno mengenang peristiwa itu. “Tapi aku justru bingung. Dalam perjalanan, salah seorang teman berbisik, ‘Kalau kau memang bukan asal Kediri, nanti ikut turun saja di Semarang, kita coba bertani di kampungku. Aku orang Boja.’

Merasa tidak punya pilihan lain, Sutrisno mengikuti tawaran itu. Selama empat tahun kemudian, Sutrisno tinggal di daerah Boja, sampai kemudian bersepakat dengan si teman untuk mengadu nasib ke Jakarta. Di Jakarta, mereka menjadi kuli bangunan. Semula, mereka berdua tinggal di bedeng, sampai kemudian bisa mengontrak kamar yang lebih layak. Setelah cukup mengumpulkan uang, mereka berpisah, dan membangun rumah tangga sendiri-sendiri.

Saat ini, Sutrisno telah memiliki istri dan tiga orang anak. Dari luar, ia tampak biasa, seperti orang-orang lain umumnya. Namun, di dalam batinnya, ada luka dan kerinduan yang terus menganga. Luka pada kenangan masa lalu, dan kerinduan pada sang ibu. Bahkan saat usianya kini telah beranjak tua, Sutrisno tak pernah lagi melihat atau mendengar kabar ibunya.

....
....

Saat saya duduk di kursi di ujung Jembatan Loji, dan menatap bangunan Penjara Loji, kisah itulah yang menyelimuti pikiran saya. Betapa bangunan yang kini masih berdiri kukuh itu tidak hanya memenjarakan para penjahat, tapi juga pernah memisahkan seorang anak dengan ayahnya, dengan ibunya... dan menorehkan luka yang terus menganga.

 
;