Senin, 25 Desember 2017

Jilbab Rina Nose

Ada jilbab bersertifikat halal. Jadi gatel pengin ngemeng.
Makin hari, kehidupan dunia ini makin absurd dan makin mbuh.
@noffret


Sebagian orang menggunjing Rina Nose, bahkan menghujatnya, karena dia melepas jilbab. Semula, Rina Nose tidak berjilbab, dalam arti biasa berpenampilan seperti umumnya wanita Indonesia, tanpa tutup kepala. Belakangan, dia menambahkan jilbab sebagai penampilannya, sampai kemudian memutuskan untuk kembali berpenampilan tanpa jilbab.

Ketika Rina Nose mulai mengenakan jilbab, orang-orang adem ayem, sebagian ada yang senang, dan mengatakan Rina Nose telah mendapat hidayah. Sebaliknya, ketika Rina Nose melepas jilbab, orang-orang ribut dan menghujat. Dan seperti para penghujat lain, kebanyakan kita tidak ada yang bertanya, “Mengapa Rina Nose melepas jilbab?”

Oh, well, menghakimi memang lebih mudah daripada memahami.

Ketika seorang wanita muslim mengenakan jilbab, dan sebelumnya tidak berjilbab, kebanyakan orang langsung menarik kesimpulan, “Oh, syukurlah, dia telah mendapat hidayah.” Atau asumsi lain yang kira-kira seperti itu—intinya peralihan dari “buruk” menjadi “baik”. Karena jilbab, bagi sebagian muslim di Indonesia, diidentikkan dengan hal-hal baik.

Yang menjadi masalah adalah... bagaimana kita tahu seorang wanita mengenakan jilbab karena mendapat hidayah?

Orang Islam yang benar-benar belajar Islam tentu paham, bahwa hidayah (dalam bahasa Arab berarti “petunjuk”) adalah rahasia Tuhan. Kita tidak bisa memastikan seseorang mendapat hidayah atau tidak hanya dari penampilan. Terlalu naif—dan terkesan merendahkan Tuhan—jika kita menggunakan penampilan sebagai standar ukuran untuk menilai seseorang mendapat hidayah atau tidak.

Kalau boleh ngomong blak-blakan—dan tolong maafkan jika ini kasar—ada wanita-wanita yang mengenakan jilbab, tapi jual diri, dalam arti bisa di-booking siapa pun yang berminat. Kenyataan itu sudah jadi rahasia umum di Twitter. Beberapa pekerja seks komersial sengaja mengenakan jilbab sebagai bentuk—sebut saja—diferensiasi pasar. Jadi, mereka memakai jilbab, tapi pelacur. Dan mereka memajang foto-fotonya di Twitter, lengkap dengan nomor WA, serta tarif booking-nya.

Apakah jilbab yang mereka kenakan merupakan simbol hidayah?

Karenanya, seperti yang disebut tadi, hidayah adalah rahasia Tuhan. Dan kita tidak bisa semata-mata mengaitkan penampilan seseorang dengan hidayah. Selain terlalu naif, hal semacam itu terkesan merendahkan Tuhan, karena menilai sesuatu yang agung hanya berdasar penampilan.

Karenanya pula, ketika melihat seorang wanita mengenakan jilbab, padahal sebelumnya tidak berjilbab, sebaiknya tidak usah buru-buru menilai dia mendapat hidayah. Bisa jadi, itu sekadar “mencoba penampilan baru”. Karena, kalau kita buru-buru menilai seseorang mendapat hidayah hanya karena mengenakan jilbab, kita bisa kecewa dan patah hati, ketika melihat dia kembali tanpa jilbab. Seperti ketika melihat Rina Nose.

Ketika Rina Nose mulai mengenakan jilbab, bisa jadi waktu itu dia sekadar “mencoba penampilan baru”. Percaya atau tidak, banyak wanita yang melakukan hal semacam itu, terlepas dia artis atau bukan.

Ada sebagian wanita yang merasa lebih cantik jika mengenakan jilbab, lalu mereka meneruskan penampilan itu. Ada pula wanita yang merasa tidak nyaman mengenakan jilbab—misal rambutnya jadi kusam—maka mereka pun melepas jilbab. Di antara dua alasan atau latar belakang tersebut, masih ada alasan dan latar belakang lain yang menjadi penyebab seorang wanita (muslim) mengenakan jilbab atau tidak.

Saya mengenal seorang wanita yang sekarang mengenakan jilbab, padahal sebelumnya tidak mengenakan jilbab. Ketika saya tanya alasannya mengenakan jilbab, dia dengan jujur mengatakan, “Aku tidak enak dengan status ayahku.” Ayahnya seorang ulama yang dihormati, dan dia merasa punya kewajiban moral untuk mengenakan jilbab, untuk menghormati status ayahnya yang seorang ulama.

Apakah teman saya mendapat hidayah, ketika mulai mengenakan jilbab?

Meski ulama, ayah teman saya tergolong moderat, dan tidak pernah mewajibkan anak-anak perempuannya mengenakan jilbab. Artinya, ketika anak-anak perempuannya memutuskan memakai jilbab, itu semata-mata pilihan mereka sendiri. Meski begitu, pilihan itu terjadi karena—seperti yang dikatakan teman saya—“tidak enak dengan status ayahku.”

Sekali lagi, apakah teman saya mendapat hidayah, ketika mulai mengenakan jilbab? Well, pertanyaan yang patut direnungkan, eh?

Karenanya, mengaitkan jilbab semata-mata dengan hidayah adalah tindakan naif yang sembrono, sekaligus berpotensi membuat kita patah hati.

Sejujurnya, saya tidak tahu apa motivasi Rina Nose saat mulai mengenakan jilbab, sebagaimana saya tidak tahu apa motivasi Rina Nose saat kembali melepas jilbab. Dan, saya pikir, itu bukan urusan saya. Urusan saya adalah menghormati pilihan orang lain, termasuk menghormati pilihan mereka untuk berjilbab atau tidak. Rina Nose, sebagaimana wanita lain, punya hak untuk mengenakan jilbab atau tidak.

Sampai di sini, pasti ada sebagian orang yang ingin ngemeng, “Tapi, wanita muslim, kan, wajib mengenakan jilbab?”

Saya bukan ustad, dan tidak ingin bertingkah sok ustad. Tetapi, setahu saya, persoalan jilbab bagi wanita muslim—terkait wajib atau tidak—masih berada di ranah abu-abu. Dalam arti, sebagian ulama mewajibkan, sementara sebagian ulama lain tidak mewajibkan. Karenanya, ini termasuk persoalan khilafiyah yang tidak akan selesai diperdebatkan sampai kiamat.

Karena itu, daripada menghabiskan waktu dan energi untuk berdebat, saya lebih suka mengajak kita untuk berpikir dan merenung. Setidaknya, berpikir dan merenung masih lebih baik daripada menghujat orang lain. Dan salah satu bahan renungan yang mungkin asyik untuk dipikirkan, adalah jilbab yang pernah ada di baliho Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).

UKDW adalah perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Beberapa waktu lalu, kampus tersebut memasang baliho yang menampilkan beberapa mahasiswi UKDW. Pemasangan baliho tersebut dimaksudkan untuk mengenalkan UKDW pada masyarakat. Salah satu mahasiswi yang ada di baliho tampil mengenakan jilbab.

Hanya gara-gara itu, kampus UKDW didatangi—untuk tidak menyebut digeruduk—sekelompok orang yang menuntut agar baliho itu diturunkan. Alasannya, UKDW adalah perguruan tinggi Kristen, dan mereka tidak berhak menampilkan mahasiswi mengenakan jilbab, karena jilbab adalah simbol Islam. Menghadapi tuntutan itu, pihak UKDW mengalah. Mereka menurunkan baliho tersebut.

Padahal, mahasiswi yang tampil berjilbab di baliho benar-benar mahasiswi UKDW, dan dia seorang muslimah yang setiap hari berangkat ke kampus mengenakan jilbab. Artinya, dia memakai jilbab bukan semata karena akan tampil di baliho, melainkan karena memang setiap waktu mengenakan jilbab. Dan pihak UKDW memilih mahasiswi tersebut untuk tampil di baliho, karena dia mahasiswi berprestasi.

Ketika UKDW memasang baliho yang menampilkan mahasiswi berjilbab, mereka ingin menunjukkan bahwa UKDW terbuka menerima siapa pun yang ingin belajar di kampus mereka, terlepas apakah kau muslim atau kristiani. Di UKDW, mayoritas mahasiswa yang kuliah di sana memang Kristen—namanya juga kampus Kristen—tapi UKDW terbuka menerima mahasiswa dari agama lain, dan itu ditunjukkan melalui baliho yang menampilkan mahasiswi berjilbab.

Jadi, ketika baliho yang dimaksudkan dengan niat baik itu dipaksa sekelompok orang agar diturunkan, terus terang saya tidak paham.

Terkait penurunan baliho tersebut, Henry Feriyadi, Rektor UKDW, menyatakan dalam konferensi pers, “Kami merasa terancam karena mereka (yang menuntut agar baliho diturunkan) mengatakan akan mendatangkan massa dalam jumlah banyak, apabila baliho tak diturunkan.”

Hanya karena baliho menampilkan mahasiswi mengenakan jilbab, sebuah kampus harus menerima ancaman massa. Berlebihan? Mungkin, ya. Tapi begitulah yang terjadi ketika kita menilai segalanya hanya dari penampilan secara subjektif, tanpa mau melihat dan menyadari yang ada di balik penampilan.

Ketika Rina Nose mengenakan jilbab, kita mengatakan, “Syukurlah, dia mendapat hidayah.” Tapi ketika kampus UKDW menampilkan mahasiswi berjilbab, kita marah. Padahal, mahasiswi yang mengenakan jilbab di baliho memang muslimah yang setiap hari berjilbab.

Akan menarik membayangkan kalau, misalnya, mahasiswi UKDW yang berjilbab itu diminta melepas jilbabnya saat akan tampil di baliho. Sebagai kampus Kristen, UKDW bisa saja mengatakan pada si mahasiswi, “Kami ingin menampilkan Anda di baliho. Namun, karena kami kampus Kristen, bagaimana kalau Anda melepas jilbab yang dianggap identik dengan Islam?”

Kalau misal seperti itu yang terjadi, kira-kira bagaimana reaksi kita? Hampir bisa dipastikan, sebagian kita akan marah, bahkan ngamuk, dan akan ada segerombolan orang yang mendatangi UKDW untuk demo habis-habisan. Tidak menutup kemungkinan, mereka akan menuntut pemerintah agar menutup UKDW, karena menilai UKDW telah melakukan penistaan.

Untung, UKDW tidak melakukan hal semacam itu. Alih-alih meminta mahasiswi mereka melepas jibab, UKDW justru menghormati pilihan mahasiswi yang berjilbab, dan tetap menampilkannya di baliho dengan jilbabnya. Bagi saya, itu sebentuk penghormatan UKDW kepada semua mahasiswa, terlepas apa agamanya.

Tetapi, bahkan telah melakukan penghormatan semacam itu pun, sebagian kita masih ngamuk, dan menuntut pihak UKDW agar menurunkan baliho, karena menampilkan mahasiswi berjilbab. Jadi, apa sebenarnya yang kita inginkan?

Rina Nose melepas jilbab, kita marah. Dan ketika kampus UKDW menampilkan mahasiswi berjilbab, kita juga marah. Jadi, terkait jilbab, siapakah sebenarnya yang bermasalah? Mereka yang berjilbab atau tidak berjilbab... ataukah kita?

Lebih Berbahaya dari Zika

Dia berkata, “Ada virus yang jauh lebih berbahaya dari zika.”

Saya bertanya, “Namanya?”

“Virus yika.”

Saya setuju dengannya.

Kamis, 21 Desember 2017

Buku, dan Catatan Akhir Tahun

Bagi bocah sepertiku, buku adalah benda terbaik, teman terbaik,
karunia terbaik, pasangan terbaik. Bersamanya, aku merasa utuh.
@noffret


Kemampuan membeli buku adalah satu hal, tapi kemampuan membaca buku adalah hal lain. Kenyataan itu baru saya sadari akhir-akhir ini.

Selama bertahun-tahun, khususnya di tahun-tahun lalu, saya bisa asyik membaca buku dalam jumlah banyak. Setiap hari, saya mampu membaca buku hingga berjam-jam, dan setiap tahun saya mengkhatamkan buku dalam jumlah cukup banyak. Rata-rata, saya membaca seratus buku per tahun—dari yang tebal sampai yang tipis. Latar belakang itu pula yang kemudian mencetuskan ide untuk merilis daftar buku-buku terbaik yang saya baca setiap tahun, di blog ini.

Selama beberapa tahun, saya mampu rutin menuliskan 10 buku terbaik setiap akhir tahun, yang bahkan diikuti oleh para blogger dan situs-situs lain. Itu tentu hal bagus—khususnya bagi para pencinta dan pembaca buku—karena kita bertambah informasi mengenai buku-buku apa saja yang perlu kita baca (khususnya untuk buku-buku yang kebetulan belum kita baca.)

Sayang, tahun kemarin kebiasaan bagus itu tidak bisa saya teruskan. Banyaknya pekerjaan membuat waktu membaca saya berkurang drastis, sehingga jumlah buku yang saya baca juga berkurang drastis. Akibatnya, tahun kemarin saya tidak bisa merilis daftar buku terbaik seperti biasa. Dan, sayang seribu sayang, hal serupa kembali terjadi tahun ini.

Sama seperti tahun kemarin, pekerjaan saya masih bertumpuk, dan saya hanya punya sedikit waktu untuk membaca buku. Ini menyedihkan. Khususnya karena jumlah buku di rumah saya masih sangat banyak yang perlu dikhatamkan. Khususnya lagi karena nafsu saya dalam membeli buku masih sangat besar. Setiap kali melihat buku baru, saya selalu gemessshh ingin memiliki.

Terkait buku, saya merasa berada di simpang dilema. Di satu sisi, saya masih ingin membeli dan memiliki buku sebanyak-banyaknya. Keinginan itu sama besar dengan hasrat saya untuk membaca buku sebanyak-banyaknya. Namun, di sisi lain, waktu untuk membaca buku makin berkurang, akibat berbagai kesibukan yang harus dihadapi. Sementara itu, di luar sana buku-buku bagus terus muncul, menggoda saya untuk membeli... dan terus membeli.

Buku makin bertumpuk, waktu membaca kian sedikit.

Kadang-kadang, saat memandangi koleksi buku yang saya miliki, saya tertegun. Di rumah, saya memisahkan buku-buku yang telah saya baca, dan buku-buku yang belum saya baca.

Ketika melihat ke rak-rak buku yang belum saya baca, sering saya berpikir, “Apakah umurku cukup untuk membaca semua buku itu?”

Bahkan jika sekarang saya berhenti membeli buku, sehingga tidak ada tambahan buku baru, jumlah buku di rumah yang harus saya baca membutuhkan puluhan tahun ke depan untuk mengkhatamkannya semua. Padahal, nafsu saya membeli buku masih sangat besar. Saya mudah “horny” setiap kali melihat buku baru, apalagi yang nggemesin! “Sial”, buku-buku nggemesin kayak gitu terus muncul dari waktu ke waktu.

Karenanya, seperti yang tertulis di awal catatan ini, “kemampuan membeli buku adalah satu hal, tapi kemampuan membaca buku adalah hal lain.”

Bertahun lalu, saya mengalami hal sebaliknya. Saya punya waktu sangat banyak untuk membaca buku, tapi tidak punya kemampuan membeli. Untung, di masa lalu, saya bisa meminjam buku di perpustakaan, dari perpustakaan sekolah sampai perpustakaan milik pemerintah.

Meski begitu, jujur saja, saya lebih suka membaca buku milik sendiri, daripada membaca buku pinjaman. Ada semacam kepuasan batin yang saya rasakan, ketika membaca buku yang saya miliki, yang saya beli sendiri—sesuatu yang tidak saya rasakan ketika membaca buku hasil pinjaman. Karenanya, sekarang, kalau kebetulan menemukan buku bagus di rumah teman, saya tidak tertarik meminjam. Saya langsung pergi ke toko buku, dan membelinya!

Dalam hal ini, mungkin, saya mengidap bibliofilia, yaitu kecenderungan yang amat kuat untuk memiliki dan mengoleksi buku, sekaligus membacanya. Terkait hal ini, ada kisah menarik untuk diceritakan.

Saya punya teman bernama Iwan (mungkin dia juga membaca catatan ini). Dia kawan zaman SD. Ketika kami lulus SD, Iwan mondok ke pesantren di Krapyak, Yogya, sambil meneruskan SMP hingga SMA. Setelah lulus, dia pulang, dan kami melanjutkan pertemanan yang terjalin dari zaman SD.

Suatu hari, Iwan mengajak saya ke Cirebon, untuk mengunjungi familinya yang tinggal di sana. Saya bersedia, tapi saya tidak punya uang transport (waktu itu kami sama-sama baru lulus SMA). Iwan bilang, dia yang akan membayar biaya transport, saya hanya perlu menemani. Dia bahkan menjamin, saya tidak perlu mengeluarkan uang serupiah pun. “Aku sudah senang kalau kamu mau menemani,” ujarnya waktu itu.

Maka kami pun pergi ke Cirebon.

Di Cirebon, kami menginap di rumah famili Iwan, tiga hari. Selama di sana, Iwan dan saya kadang keluar, mendatangi mal, menikmati suasana Cirebon. Suatu malam, kami mengunjungi dua mal, yaitu Grage dan Matahari, yang—kalau tidak salah ingat—letaknya bersisian. Di salah satu mal tersebut, ada toko buku Gramedia yang sangat luas, dan di sana terdapat ribuan buku terhampar di mana-mana.

Ya Tuhan, saya bahkan masih ingat sensasi yang saya rasakan waktu itu, ketika berdiri di antara ribuan buku di toko Gramedia yang ada di mal. Itu, jujur saja, toko buku terbesar yang pernah saya kunjungi, waktu itu.

Selama berada di sana, memandangi tumpukan buku yang terhampar di mana-mana, saya merasa bahagia sekaligus getir. Bahagia, karena dikelilingi ribuan buku, dan saya merasa seperti ikan di tengah kolam penuh air. Tapi juga getir... karena saya tidak punya uang untuk membeli satu buku pun!

Jadi, selama berada di toko buku di mal tersebut, saya hanya bisa memandangi, mengagumi, menyentuh buku-buku yang ada di sana dengan cinta, tapi tidak bisa memiliki. Saya datang ke Cirebon hanya untuk menemani Iwan, dan saya tidak punya uang sedikit pun. Karenanya, saat menyentuh buku-buku di sana, saya merasakan batin yang menangis... seperti kau jatuh cinta setengah mati pada seseorang, tapi menyadari tak bisa memiliki.

Waktu itu pula, saat berdiri dengan hati menangis di antara hamparan buku-buku, saya bersumpah pada diri sendiri, “Kelak, jika aku punya uang, aku akan membeli buku sebanyak-banyaknya, dan tidak ada keparat mana pun yang bisa menghentikanku!”

Bertahun-tahun kemudian, “kelak” itu benar-benar terjadi.

Ketika akhirnya saya punya uang, saya pun menunaikan sumpah yang telah saya nyatakan sekian tahun lalu, dan tidak ada keparat mana pun yang bisa menghentikan saya membeli buku... dan membeli buku... dan membeli buku... sampai sekarang. Well, sampai sekarang saya masih suka membeli buku. Sebegitu banyak buku yang kini saya miliki, hingga saya kewalahan membacanya.

Tapi saya puas—sebentuk kepuasan batin yang hanya dipahami sesama bibliofilia. Buku adalah cinta terbesar saya dalam hidup. Memandanginya saja, membuat saya senang. Menyentuhnya, bisa membuat hati bergetar. Dan kini saya hidup dengan dikelilingi buku, sesuatu yang sangat saya cintai. Meski sebagian besar belum sempat saya baca, tapi saya bahagia.

Kini, bersama kesibukan sehari-hari yang terus padat, saya punya sumpah baru yang juga akan saya penuhi. Kelak, saat pekerjaan dan kesibukan saya mulai berkurang, atau bahkan benar-benar selesai, saya akan menghabiskan waktu hanya untuk membaca buku. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, saya hanya akan membaca buku, dan tidak ada keparat mana pun yang bisa menghentikan saya membaca buku.

Bayangan saya tentang masa depan begitu sederhana. Di masa depan, mungkin saya tidak perlu lagi bekerja keras, karena kerja keras yang telah saya lakukan sejak muda akan menghidupi saya sepenuhnya sampai masa tua. Artinya, kelak, saya akan memiliki waktu luang yang bisa saya nikmati sepuas-puasnya, dan saya akan menikmatinya bersama buku... dan buku... dan buku....

Kalau di masa depan saya ditakdirkan punya mbakyu (iya, maksudnya punya istri), mungkin kegiatan saya setiap waktu hanya membaca buku... dan ndusel... dan membaca buku... dan ndusel... dan membaca buku... dan ndusel...

...dan tidak ada keparat mana pun yang bisa menghentikan.

Epitaf

Aku sering membayangkan, kelak saat aku telah mati dan dikuburkan, kalimat ini terpahat di batu nisanku:

Di sini berbaring seseorang yang selama hidupnya mempersembahkan cinta dan hatinya untuk belajar, dan yang keinginan satu-satunya hanyalah masuk ke ruang perpustakaan di surga, untuk melanjutkan belajarnya.

Senin, 18 Desember 2017

Pusing Mikir Awkarin

Satu hal aku baru sadar, ternyata Awkarin sangat pintar.
@noffret

Kuontoooooooooooooolll...!
Awkarin


Ketika fenomena Awkarin sedang mengemuka, beberapa waktu lalu, banyak yang request agar saya menulis tentangnya. Tapi saya sengaja tidak menulis tentang Awkarin, dan membiarkan ribut-ribut tentang wanita itu mencapai puncak, untuk kemudian mereda dan hilang sendiri. Seperti sekarang. Kini, setelah ribut-ribut soal Awkarin bisa dibilang usai, saya mulai tergerak menulis tentangnya.

Untuk menulis sesuatu di blog, saya punya “kode etik” yang saya buat sendiri, dan saya patuhi sendiri, khususnya jika tulisan itu menyangkut orang lain—semisal artis, atau semacamnya. Tidak semua kehebohan atau keributan menyangkut seorang artis harus segera direspons/ditulis saat itu juga. Khususnya karena saya menulis di blog ini bukan untuk mengundang trafik atau menarik pengunjung.

Kadang-kadang, saya memang menulis catatan terkait seseorang (biasanya artis) ketika sedang menjadi sorotan atau mengundang kehebohan. Tetapi, bisa dibilang, itu sangat jarang. Lebih sering, saya menulis catatan terkait seorang artis ketika kehebohan menyangkut dirinya mulai pudar, atau setelah tidak lagi dibicarakan banyak orang.  

Ada beberapa pertimbangan mengapa saya sengaja melakukan hal semacam itu—menunda menulis tentang seseorang, sampai kehebohan terkait dirinya mereda.

Pertama, karena saya tidak ingin reaktif. Ketika seseorang dihebohkan karena sesuatu yang dilakukannya—misal seperti yang terjadi pada Awkarin—pikiran saya masih mentah dalam menatap peristiwa itu. Saya hanya melihat apa yang terlihat—sama seperti yang terjadi pada orang-orang lain. Jika pikiran masih mentah, bagaimana saya bisa menilai secara baik dan objektif? Karenanya, jika saya memaksa diri untuk menulis, saya khawatir tulisan saya tidak objektif sekaligus tidak adil.

Jadi, alih-alih bersikap reaktif dan menulis tentang seseorang dengan dalih “mumpung sedang heboh”, saya memilih menahan diri. Saya menunggu kehebohan mereda, sambil memahami apa yang sebenarnya terjadi, mengapa sampai muncul kehebohan, dan lain-lain, hingga pikiran saya lebih matang ketika mulai tergerak untuk menulis. Ketika akhirnya benar-benar menulis tentang sesuatu, saya pun bisa menulis secara kontemplatif. Tidak sekadar menghakimi, namun juga berusaha memahami.

Kedua, karena saya tidak ingin membesarkan api yang sedang berkobar. Ketika seseorang sedang dihebohkan—entah positif atau negatif—apa pun yang kita lakukan terhadapnya hanya akan “membesarkan api”. Terkait Awkarin, misal, orang-orang menghebohkan Awkarin karena menilai wanita itu melakukan hal-hal yang “tidak sopan, tidak baik, tidak mendidik”, pendeknya tidak sesuai “nilai-nilai luhur budaya timur”.

Jika saya ikut dalam kehebohan itu, hasilnya cuma membesarkan nyala api. Kalau saya menulis hujatan dan kecaman sebagaimana dilakukan banyak orang, saya hanya akan menghakimi Awkarin. Sebaliknya, jika saya menulis sesuatu yang terkesan membela Awkarin—yang artinya akan bertentangan dengan pendapat dan opini massa—saya hanya akan mengobarkan api makin besar. Sama-sama tidak bermanfaat. 

Ketiga, saat kehebohan tentang sesuatu terjadi, pikiran orang-orang sebenarnya masih dalam suasana “euforia”, dalam arti tidak seratus persen waras. Salah satu sifat dasar homo sapiens adalah “menyukai kerumunan”, dan cenderung mengikuti pendapat mayoritas. Jika “kerumunan” mengatakan Awkarin cewek bangsat, orang-orang akan terpengaruh untuk sepakat bahwa Awkarin memang bangsat. Jika pendapat mayoritas menyatakan Awkarin cewek sesat, orang-orang juga sama akan terpengaruh, dan meyakini Awkarin memang sesat.

Saat berada dalam suasana “euforia” semacam itu, orang-orang belum bisa diajak berpikir lebih baik atau lebih objektif. Mereka masih dalam keadaan “panas”. Jika saya masuk ke dalam euforia semacam itu, dan menyatakan pendapat yang berbeda dengan mereka, saya hanya memantik sumbu perang. Karenanya, saya menahan diri, dan membiarkan kehebohan mereda, agar orang-orang bisa mengendapkan pikiran masing-masing, agar bisa diajak berpikir secara lebih waras.

Sekarang, karena kehebohan menyangkut Awkarin sudah lama mereda, saya pun mulai tertarik untuk menulis tentangnya, dan ingin mengajak kita berpikir. Kalau pun ternyata kita berbeda pikiran, tidak apa-apa. Ini negara demokrasi yang berasas Pancasila, yang mengizinkan kita untuk berbeda.

Mari kita mulai dengan pertanyaan ini, “Mengapa banyak orang menghujat Awkarin?”

Oh, saya tahu, jawabannya pasti sangat panjang. Dari tingkah Awkarin yang “tidak bener”, gaya hidupnya yang tidak bener, penampilannya yang tidak bener, ucapannya yang tidak bener, dan lain-lain tentangnya yang tidak bener, yang “dikhawatirkan dapat mempengaruhi remaja dan generasi muda”, dan bla-bla-bla.

Jika memang itu jawabannya, terus terang saya heran. Karena wanita yang “seperti itu” sebenarnya bukan hanya Awkarin. Yang dilakukan Awkarin sebenarnya “hal-hal biasa” yang juga dilakukan kebanyakan remaja dan anak muda lain, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Karenanya, saya heran mendapati kita “sok kaget” melihat Awkarin, seolah selama ini kita tinggal di gua dan hidup bersama iguana.

Coba sebutkan, di mana salah Awkarin?

Dia salah, karena pacaran? Oh, well, siapa yang tidak? Ada jutaan perempuan—dan juga laki-laki, tentu saja—yang punya pacar, dan pacaran, atau berharap setengah mati punya pacar agar juga dapat pacaran. Jadi, kalau ada jutaan orang melakukan sesuatu yang sama, kenapa kita hanya menudingkan jari pada Awkarin? Itu jelas tidak adil! Kalau mau menyalahkan Awkarin karena dia pacaran, salahkan juga orang-orang di sekitar kita—atau, salahkan juga diri sendiri yang punya pacar!

Dia salah, karena berpenampilan vulgar? Hellooow? Di mana-mana, kita nyaris bisa menemukan perempuan-perempuan berpenampilan seperti Awkarin, atau bahkan lebih gila. Tidak usah jauh-jauh, coba pelototi layar televisi di rumah kita. Di acara-acara tolol berisi orang-orang tolol yang membicarakan hal-hal tolol, tak terhitung banyaknya mereka yang berpenampilan seperti Awkarin. Dan acara-acara tolol itu ditonton adik atau anak-anak kita. Kenapa selama ini kita diam, tapi baru ribut ketika hal itu dilakukan Awkarin?

Dia salah, karena menjalani gaya hidup glamor? Oh, come on, sejak kapan gaya hidup glamor menjadi kesalahan, hingga kita perlu menghujat seolah Awkarin melakukan dosa besar? Kalau Awkarin menjalani gaya hidup glamor, dan kita menganggap itu kesalahan, apa kabar teman-teman kita yang suka nongkrong naik Ferrari atau mobil keparat mewah lainnya? Kenapa kita bisa cengengesan dengan mereka, tapi menganggap itu kesalahan ketika dilakukan Awkarin?

Narasi dan pertanyaan ini bisa dilanjutkan, sampai kita sama-sama bosan dan gila. Dan sepanjang apa pun pertanyaan terkait “kesalahan” yang mungkin dilakukan Awkarin, kita akan menemukan bahwa “kesalahan” yang sama juga dilakukan orang-orang lain, termasuk teman-teman kita, atau bahkan diri kita sendiri. Dari pacaran, ngomong seenaknya, menjalani gaya hidup glamor, sampai penampilan vulgar, dan lain-lain. Bisa dibilang, itu hal-hal biasa yang sebenarnya ada di sekeliling kita.

Karenanya, seperti yang disebut tadi, kita sok kaget melihat Awkarin, seolah selama ini kita tinggal di gua dan hidup bersama iguana. Awkarin hanyalah satu di antara sekian buanyak orang lain yang sama-sama melakukan hal serupa. Bedanya, kita mengenal Awkarin, tapi tidak yang lain.

Sampai di sini, sebagian orang mungkin ingin berkata, “Sebenarnya, yang membuat banyak orang resah terkait Awkarin, karena dia memiliki banyak penggemar—khususnya para remaja—dan kita khawatir para remaja mengikuti gaya hidup Awkarin.”

Saya sepakat dengan hal itu.

Saya sepakat untuk sama-sama khawatir, kalau para remaja meniru Awkarin mentah-mentah, dan menganggap Awkarin satu-satunya teladan. Bagaimana pun, Awkarin bukan mbakyu! Wanita yang patut dijadikan teladan gadis-gadis remaja, seharusnya wanita yang mencerminkan kepribadian seorang mbakyu! Karena Awkarin bukan mbakyu—saya belum yakin tentang itu—mestinya para remaja tidak mencontoh Awkarin!

Cuma, yang membuat saya bertanya-tanya, mengapa ada banyak remaja tertarik pada Awkarin...? Kalau memang Awkarin dinilai rusak, sesat, tidak bermoral, dan lain-lain, kenapa banyak remaja tertarik bahkan memujanya? Siapakah yang salah dalam hal itu, sebenarnya? Awkarin yang dinilai membawa pengaruh buruk... ataukah para remaja yang salah memilih idola? Atau, jangan-jangan justru kitalah yang salah?

Karena saya berprinsip bahwa hidup adalah soal pilihan, maka saya berusaha memahami bahwa Awkarin punya hak untuk menjalani kehidupan sebagaimana yang ia pilih. Fakta bahwa dia memilih gaya hidup yang jauh berbeda dengan gaya hidup yang saya jalani, saya tidak punya hak untuk menyalahkan. Bagaimana pun, Awkarin punya hak setara dengan saya dalam memilih gaya hidup—toh dia juga tidak menyalahkan saya karena menikmati hidup sederhana.

Kalau saya memang tidak ingin adik atau anak-anak saya terpengaruh gaya hidup Awkarin, saya akan lebih memfokuskan perhatian pada adik atau anak-anak saya, mendidik mereka dengan baik, memberitahu pilihan dan gaya hidup yang “benar”, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk tidak mudah terpengaruh. Lagi pula, setiap orang akan terus tumbuh, secara fisik maupun nalar. Yang tampak hebat ketika kita lihat saat remaja, bisa jadi tampak konyol ketika kita mulai dewasa.

Jika saya punya anak, dan anak-anak saya menyukai sesuatu yang saya pikir keliru, kesalahan terbesar bukan pada subjek yang disukai anak saya... tapi pada kegagalan saya dalam mendidik mereka! Jika saya mendidik mereka dengan baik, mestinya anak-anak saya bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau mereka gagal dalam hal itu, artinya saya telah menjadi orang tua yang gagal, sekaligus gagal mendidik mereka.

Dalam memandang fenomena Awkarin, saya menilai Awkarin hanya sosok yang kebetulan menyita perhatian. Dia tidak jauh beda dengan banyak perempuan lain, yang tumbuh di keluarga berada, hidup di kota besar, dan menjalani gaya hidup modern seperti umumnya anak-anak gaul. Tidak ada yang istimewa. Kebetulan saja dia populer, karena mampu mengekspresikan diri dengan baik—atau dengan kontroversial—hingga menyita perhatian kita.

Yang mungkin kita lupa, bagaimana pun Awkarin akan terus bertambah usia, dan para pemujanya juga akan tumbuh dewasa. Pada akhirnya, bersama perjalanan hidup dan pikiran yang makin matang, manusia tak pernah sama.


PostScript:

Jika ada yang berpikir catatan ini subjektif, saya bisa menyarankanmu untuk membaca artikel bagus di situs Beritagar: Dari Pornografi Menuju Pelanggaran Privasi. Artikel itu bisa menjadi pembanding sekaligus pelengkap catatan saya di sini.

Dehem-dehem Seperti Orang Bijaksana yang Sebenarnya Tidak Bijak

Saya berkata pada seorang bocah, “Apakah kamu pernah dehem-dehem seperti orang bijaksana yang sebenarnya tidak bijak?”

Dia melongo. “Aku pernah... apa?”

Saya mengulang, “Apakah kamu pernah dehem-dehem seperti orang bijaksana yang sebenarnya tidak bijak?”

“Dehem-dehem seperti orang bijaksana yang sebenarnya tidak bijak?”

“Ya, itu.”

Dia tampak mengingat-ingat, lalu menjawab, “Sepertinya belum pernah.”

“Kalau begitu hidupmu sungguh sia-sia.” Saya menggeleng dengan sedih, dan berbisik, “Oh, well, sungguh sia-sia.”

Dia terkejut. “Kenapa hidupku sungguh sia-sia?”

“Karena,” saya menjawab, “hidup ini sungguh sia-sia, jika kamu tidak pernah dehem-dehem seperti orang bijaksana yang sebenarnya tidak bijak.”

....
....

Dia menghilang sebentar, lalu muncul lagi sambil menyodorkan sesuatu. “Sepertinya kamu lupa minum obat.”

Kheh Ketemu Kheh

Kheh.

Kamis, 14 Desember 2017

Perempuan Penangkap Hujan

Secangkir cokelat panas, sebatang rokok, dan hujan di luar.
Hidup selalu tahu cara memberimu kegelisahan.
@noffret


Di Sleman, ada seorang wanita hebat bernama Sri Wahyuningsih. Sehari-hari, dia berdagang aneka jajan tradisional di Pasar Godean, Yogyakarta. Rumahnya ada di Desa Sedonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, berjarak sekitar 20 kilometer dari Gunung Merapi. Para tetangga biasa memanggilnya Yu Ning.

Yu Ning memiliki pemikiran hebat yang tidak dipikirkan kebanyakan orang lain, khususnya terkait hujan yang turun di Sleman. Bagi orang-orang lain, mungkin, hujan hanya sebatas air yang turun dari langit, lalu mengalir ke selokan, dan selesai. Apa pentingnya memikirkan hujan? Toh setiap tahun hujan pasti turun.

Tapi Yu Ning memiliki pemikiran jauh lebih mendalam. Ia berpikir, jika air hujan yang turun tidak dimanfaatkan, yang akan terjadi adalah bencana.

Sebelum saya melanjutkan uraian ini, ada yang bisa memahami alur pikiran itu?

Jika air hujan yang turun tidak dimanfaatkan, yang akan terjadi adalah bencana. Ada yang paham maksudnya?

Sekarang, kita akan melihat lebih jelas tempat tinggal Yu Ning. Seperti yang disebut tadi, Yu Ning tinggal di tempat yang berjarak 20 kilometer dari Gunung Merapi. Artinya, dia tinggal di daerah hulu yang memiliki air berlimpah. Di tempatnya tinggal, orang-orang tidak pernah kekurangan air, karena di sana banyak sumber air yang bisa dimanfaatkan dengan mudah.

Jadi, ketika Yu Ning menyatakan, “Jika air hujan tidak dimanfaatkan, yang akan terjadi adalah bencana,” kalimat itu terdengar aneh, untuk tidak menyebut sinting. Mengapa harus repot-repot memanfaatkan air hujan, toh di mana-mana sumber air melimpah?

Tetapi, itulah kehebatan seorang visioner—yang mampu melihat jauh ke depan—sementara orang-orang biasa hanya melihat yang ada di depan matanya. Yu Ning telah melihat sesuatu yang akan terjadi, kelak bertahun-tahun yang akan datang, sementara orang-orang lain sama sekali tidak melihat apalagi memikirkannya!

Sumber air, seberlimpah apa pun, akan mengalami titik akhir. Itu realitas “alami” yang terjadi di zaman kita, meski titik akhir masing-masing sumber air bisa berbeda. Titik akhir sumber air terjadi ketika sumber itu mengering, atau air yang muncul di sana sudah tidak bisa lagi digunakan atau dimanfaatkan (misal karena tercemar limbah). Sekali lagi, itu realitas yang telah terjadi di mana-mana, khususnya di Indonesia.

Sebagai contoh, orang-orang di tempat saya tinggal, dulu biasa menggunakan air dari rumahnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dari mandi, mencuci, sampai membuat air minum. Mereka membuat sumur di rumah, baik sumur tradisional maupun sumur bor. Selama berpuluh-puluh tahun, bahkan lebih lama lagi, air di rumah-rumah mereka selalu jernih, dan melimpah, dan mereka tidak pernah kekurangan air.

Sekarang, apakah air bersih dan jernih itu masih terus mengalir berlimpah seperti dulu? Apakah orang-orang di daerah saya masih leluasa menikmati keberlimpahan air seperti bertahun lalu?

Jawabannya tidak!

Sejak sekitar tiga tahun yang lalu, air di daerah saya mulai berubah. Sebagian tempat ada yang mulai tercemar (tidak lagi jernih), sebagian lain berbau, sebagian lain masih jernih tapi tidak sehat (mengandung endapan tertentu), sehingga tidak bisa lagi digunakan. Hasilnya, orang-orang di daerah saya mulai berlangganan air dari PDAM. Saat ini, nyaris tidak ada satu rumah pun yang masih menggunakan air dari sumurnya sendiri—semuanya telah diganti pipa-pipa PDAM.

Coba lihat. Selama berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin sejak berabad yang lalu, air di daerah saya berlimpah, jernih, bersih, sehat, dan tidak ada satu orang pun yang kekurangan air. Tetapi, kini, tidak ada satu orang pun yang masih bisa memanfaatkan air di rumahnya sendiri, karena semuanya telah tercemar.

Kondisi di wilayah tempat tinggal Yu Ning, di Sleman, tidak jauh beda dengan kondisi di tempat saya tinggal. Bedanya, air di tempat Yu Ning masih bersih sampai saat ini—karena di wilayah hulu, dekat gunung—sementara air di tempat saya sudah berubah, tercemar, dan kehilangan kejernihannya. Yu Ning memahami, cepat atau lambat, kondisi air di tempatnya akan sama dengan kondisi air di tempat lain yang kini telah tercemar.

Karena itulah, dia mengatakan, “Jika air hujan tidak dimanfaatkan, yang akan terjadi adalah bencana (kekeringan, sumber air mulai tercemar, dan semacamnya).”

Karena kesadaran itu pula, Yu Ning kemudian menangkap air hujan di tempatnya, lalu mengolahnya hingga bisa dimanfaatkan sebagai air minum. Prosesnya mudah. Cukup menampung air hujan yang mengucur dari atap, atau air hujan yang turun dari langit. Prinsipnya, air hujan yang turun setelah 15 menit, aman untuk dikonsumsi.

Yu Ning memaparkan, “15 menit hingga 30 menit pertama saat hujan, air banyak membawa polutan. Air hujan setelah itu, baru ditampung. Tetapi jika tiap hari hujan, tak perlu lagi menunggu hingga 15 menit untuk segera menampung air.”

Di rumah Yu Ning, terdapat drum-drum bersih yang digunakan untuk menampung air tersebut. Drum-drum itu tertutup rapat, serta terbuat dari plastik yang tersertifikasi food grade. Di dasar drum, terdapat saringan yang terbuat dari aneka bahan, seperti kain dakron atau penyaring (filter) mikro lainnya, untuk menyaring padatan terlarut yang terkandung di dalam air hujan.

“Air ini sudah bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Yu Ning menjelaskan. “Tetapi, agar siap minum, kami menggunakan proses elektrolisasi untuk memisahkan kandungan asam dan basa. Air dengan kandungan basa siap minum setelah melalui proses elektrolisasi menggunakan konduktor berbahan titanium, untuk menyaring kandungan mineral padat seperti zat kapur.”

Alat elektrolisa air yang digunakan juga sederhana. Terdiri dari dua bejana kaleng food grade yang terbuat dari plastik, dan masing-masing disambungkan dengan pipa. Di dalamnya terdapat konduktor titanium berbentuk spiral, yang tersambung dengan listrik yang dialirkan dari adaptor kecil di luar bejana. Terdapat macro filter di dalam bejana untuk menyaring kandungan karbon dari air hujan, selama proses elektrolisa berlangsung.

Setelah melalui proses elektrolisa selama satu jam, air hujan pun siap untuk diminum. Terkait hal itu, Yu Ning menceritakan, “Tahun 2016, Dinas Kesehatan menyatakan elektrolisasi air ini lulus uji kandungan fisika dan kimia untuk air minum. Tahun 2015, mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada juga melakukan uji klinis. Hasilnya air hujan ini layak minum.”

Di garasi di samping rumahnya, Yu Ning menyediakan air minum yang berlimpah untuk diambil siapa pun yang membutuhkan. Dia tidak memungut biaya apa pun kepada siapa pun, karena yang dia lakukan semata-mata kesadaran bahwa dia perlu melakukannya. Bahwa kalau air hujan tidak dimanfaatkan, yang akan terjadi adalah bencana. Sumber air akan mengering, cepat atau lambat, dan dia memiliki tanggung jawab moral untuk “memperlambat” kedatangan bencana tersebut.

“Sumur resapan (sumber air) berfungsi sebagai tabungan air untuk anak cucu kita,” ujarnya. Yang ia maksudkan, “Mumpung kita masih bisa memanfaatkan air hujan, mari manfaatkan. Sementara air yang masih jernih di sumber resapan adalah jatah anak cucu kita kelak.”

Itu pemikiran yang hebat, sekaligus visioner. Dia tidak hanya memikirkan diri sendiri, atau generasinya sendiri, tapi juga memikirkan generasi yang akan datang. Dia ingin generasi mendatang—anak-anak dan cucu-cucu kita—masih bisa menikmati air jernih dari sumber-sumber air, sebagaimana yang sekarang kita nikmati. Sekali lagi, tidakkah itu hebat?

Dan sebagaimana orang-orang hebat lain, Yu Ning tidak menyuruh atau memerintah orang lain untuk melakukan yang ingin ia lakukan. Ia melakukannya sendiri, dengan kemampuannya sendiri, tanpa ribut-ribut!

Seperti yang dijelaskan tadi, dia menangkap air hujan yang turun di sekitar rumahnya, lalu melakukan proses elektrolisasi untuk mengubah air hujan menjadi air bersih yang layak minum. Air minum itu lalu ia masukkan ke dalam drum-drum yang tersertifikasi food grade, dan meletakkannya di garasi samping rumah. Ia mempersilakan siapa pun yang butuh untuk mengambil, tanpa membayar sepeser pun!

Benar-benar wanita hebat yang mulia, visioner yang murah hati!

Dan bagaimana reaksi serta sikap para tetangga Yu Ning, menyaksikan kehebatan wanita itu? Memuji dan menghargainya? Mengikuti jejak langkahnya yang hebat? Menyebutnya Kartini Masa Kini? Tidak!

Seperti yang juga dialami para visioner lain yang pernah hidup di muka bumi, Yu Ning justru mengadapi cibiran dan hinaan!

Mungkin terdengar ironis, tetapi seperti itulah nasib para visioner yang pernah hidup di muka bumi, begitulah takdir orang-orang hebat yang pernah berdiri di bawah langit. Mereka tidak dipahami masyarakatnya, dan—alih-alih mendapat penghargaan—mereka justru tersisih bersama cibiran, dianggap orang aneh yang “tak sama dengan orang lain”. Orang-orang hebat sering kali terbuang.

Masyarakat mencibir Yu Ning, karena menilai wanita itu “tidak seperti orang-orang lain”. Sementara orang-orang lain asyik menikmati air dari sumber yang melimpah, Yu Ning malah repot-repot menangkap air hujan dan mengolahnya. Mereka menganggap Yu Ning berbeda. Dan meski perbedaannya tidak merugikan siapa pun, masyarakat tetap tak rela. Karena masyarakat, di mana pun, selalu ingin semua orang sama.

Untung bagi Yu Ning, perlahan namun pasti masyarakat mulai bisa menerima visinya, meski butuh waktu bertahun-tahun. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, Yu Ning hanya melakukan visinya seorang diri, dalam sunyi, di bawah cibiran dan hinaan. Tetapi, setelah para ahli membuktikan bahwa air yang ditampungnya benar-benar layak minum, masyarakat mulai menahan cibiran mereka.

Lalu anak-anak kecil yang sering kehausan setelah bermain, mampir ke garasi Yu Ning, meminta izin minum di sana. Yang dilakukan anak-anak kecil itu kemudian diikuti orang-orang lain yang lebih dewasa. Mereka ikut minum di tempat Yu Ning, kadang meminta air di tempat Yu Ning untuk kebutuhan minum di rumah, dan Yu Ning tetap menyediakannya secara gratis. Di garasi rumahnya, bahkan sering ada galon-galon milik tetangga yang ditinggalkan di sana, berharap diisi air minum gratis oleh Yu Ning.

“Ada tetangga yang merasakan manfaat air hujan ini, dan kemudian menceritakannya pada tetangga yang lain,” ujar Yu Ning. “Semua yang minum juga tak pernah diare karena air minum saya. Tubuh orang yang minum air ini jadi laboratorium dan testimoni yang banyak mengubah pandangan orang.”

Akhirnya, kini, para tetangga dan masyarakat sekitar mulai mengikuti langkah Yu Ning. Mereka ikut menangkap air hujan, dan meminta pengarahan Yu Ning tentang proses elektrolisasi. Kini, banyak orang yang bisa memproduksi air minumnya sendiri. Karena aktivitas positif itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memberikan bantuan sejumlah tandon air penangkap hujan, temuan pakar hidrologi dari Universitas Gadjah Mada.

Manfaat menangkap hujan tidak hanya dirasakan oleh warga sekitar tempat tinggal Yu Ning. Hingga kini, setidaknya ada 60 kota dan kabupaten di Jawa maupun luar Jawa pernah berkunjung ke rumah Yu Ning, dan belajar langsung cara menangkap hujan, dan mengolahnya hingga menjadi air siap minum. Yu Ning pun sering diundang untuk membagikan pengalaman atau memberikan informasi tentang proses pengolahan air hujan siap minum, di banyak tempat.

Dia juga menjadi pemateri di program tanggap bencana BNPB untuk menyebarkan aktivitas menangkap air hujan. Saat ini, wilayah lain seperti Gunung Kidul dan Kulon Progo, juga mulai menangkap air hujan untuk digunakan sehari-hari.

Karena ketegaran visi seorang perempuan, kini ada banyak orang yang ikut mendapat manfaat, dan air hujan tak sekadar karunia yang numpang lewat.

Noffret’s Note: Listrik

PLN (dan pemerintah, tentu saja) benar-benar lucu dan anakronis. Mereka koar-koar agar masyarakat hemat listrik, hemat energi. Sekarang, mereka berencana memaksa masyarakat untuk menaikkan daya listrik, agar "bisa menggunakan listrik secara bebas dan leluasa." Jadi, piye karepe?

Kebijakan saat ini sebenarnya sudah baik. Masing-masing orang bebas memilih daya listrik sesuai kebutuhan. Yang butuh sedikit, pakai daya kecil. Yang butuh banyak, pakai daya besar. Kalau ingin naik, bisa mengajukan permohonan. Kenapa yang baik itu harus dirusak dengan pemaksaan?

Jika setiap rumah dipaksa untuk menggunakan daya besar, padahal listrik yang dibutuhkan hanya sedikit, yang terjadi adalah beban dan kemubaziran. Biaya beban listrik berdaya tinggi jauh lebih besar daripada beban biaya listrik berdaya rendah. Dan masyarakat akan semakin tercekik.

Berdasarkan "modus" yang selama ini digunakan pemerintah untuk mengelabui rakyat, ada kemungkinan kelak masyarakat akan semakin terbebani dengan kebijakan ini. Lihat kembali modus peralihan dari minyak tanah ke gas. Semula terdengar seperti angin surga, ternyata bualan belaka.

Setiap kali membuat kebijakan baru, pemerintah terdengar seperti pro rakyat (demi kemaslahatan, kebaikan, keuntungan rakyat, dan tetek bengek lain) yang terdengar indah. Setelah kebijakan dijalankan, dan rakyat telah mulai terbiasa, pemerintah menunjukkan wajah asli kebijakannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 November 2017.
 

Seperti Pigura

“Seperti pigura,” aku berkata. “Lama-lama seperti pigura.”

Minggu, 10 Desember 2017

Santorini, Suatu Hari

Όπως και τον άνεμο, πετούν και εξαφανίζονται, αφήνοντας
ένα σωρό από λαχτάρα. Αναρωτιέμαι πού είναι τώρα.
@noffret


Dering lembut ponsel membangunkan tidurnya, dan ia mendapati nama yang sudah tak asing. Ia menerima panggilan itu, dan berkata, “Ya?”

Terdengar suara seorang wanita di ponsel, “Ada paket untukmu di Drei Löwen.”

Waktu itu ia ada di München, dan Drei Löwen adalah nama hotel dengan bangunan bergaya kuno, hanya tiga blok dari tempatnya berada. “Kau tahu di mana aku berada.”

“Tentu saja kami tahu di mana kau berada. Itulah guna satelit.”

Seusai mencuci wajah dan menikmati sarapan serta menghabiskan sebatang rokok, ia pergi ke Hotel Drei Löwen, dan mendatangi front desk.

Seorang wanita menyambut ramah, “Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau mengambil paket yang dititipkan ke sini.”

Wanita itu mengangguk. “Nama Anda, Sir?”

“Danis, Ma’am. Valentino Danis.”

Selama beberapa saat, wanita di front desk memeriksa tumpukan surat, juga beberapa bungkusan paket. “Ah, ini dia.” Lalu, dengan senyum profesional, ia berkata sambil mengangsurkan sebuah paket yang terbungkus rapi dalam kertas cokelat, “Mr. Valentino Danis.”

Valentino Danis menerima bungkusan itu. "Danke." Terima kasih.

Paket itu berisi beberapa dokumen untuk perjalanan ke Santorini, Yunani, dan beberapa kebutuhan yang diperlukan terkait perjalanan ke sana. Tiketnya memberitahu harus berangkat dengan pesawat pertama.

Dia mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, dan tiga jam kemudian terbang ke Santorini. Hanya ada satu urusan yang perlu ia bereskan di sana, dan hanya ada satu nama—Konstantinos Grivas.

....
....

Bandara internasional Santorini tidak terlalu ramai, saat Valentino Danis melangkah keluar dari pesawat. Bandara itu hanya menangani enam pesawat komersial, dengan landas pacu yang pendek—jauh lebih kecil dibanding bandara-bandara lain yang pernah ia singgahi. Ini kota kecil, pikirnya sambil terus melangkah.

Santorini memiliki luas 73 kilometer persegi, dengan populasi hanya belasan ribu jiwa. Meski begitu, Santorini memiliki nilai sejarah panjang, sekaligus keindahan yang seperti keluar dari lukisan. Banyak pasangan pengantin datang ke tempat itu untuk berbulan madu, dan diam-diam Valentino Danis tersenyum sendiri membayangkan ironi yang dihadapinya.

Waktu itu Santorini agak panas. Ia menengok jam di tangan, dan mendapati masih punya waktu beberapa jam ke depan sebelum bertemu Konstantinos Grivas. Ia menghentikan taksi, dan meminta diantar ke hotel terdekat.

“Sendirian, Sir?” sapa sopir taksi.

“Seperti yang Anda lihat.”

Saat kendaraan mulai melaju, sopir taksi berujar, “Pertama kali datang ke sini?”

“Yeah.”

“Anda harus melihat semua keindahan di sini. Tuhan sepertinya sedang tersenyum saat menciptakan Santorini.”

Sayang sekali aku tak bisa, pikir Danis. Ia datang ke sana hanya untuk satu tujuan, dan ia telah menghafal semua hal terkait yang harus ia lakukan. Meteorcafe—tempat pertemuan, sore hari. Konstantinos Grivas—orang yang harus ditemui, beserta ciri-cirinya. Dan apa saja yang akan mereka bicarakan. Setelah itu, ia harus segera meninggalkan tempat ini.

Taksi berhenti di depan sebuah hotel mungil yang cantik. Valentino Danis melangkah ke dalamnya, dan memutuskan untuk istirahat sebentar, sebelum melaksanakan pekerjaannya, nanti sore.

....
....

Sore di Santorini mirip bayang nostalgia yang pernah hinggap di hidupmu, yang perlahan mengabur. Melangkah sendirian, sambil menikmati pemandangan, Danis takjub menyaksikan bangunan-bangunan di sekelilingnya—perpaduan biru putih yang sangat indah—dengan hamparan bunga di sekeliling. Dia telah melihat keindahan itu di lukisan, juga di video. Tapi ketakjubannya tak juga hilang saat kini melihatnya langsung.

Meteorcafe ada di kawasan Ploiarxon, Santorini. Sebuah kafe yang luas, namun tenang juga hening, dan biasa dijadikan tempat pertemuan pribadi. Di tempat itu pula ia akan menemui Konstantinos Grivas. Ia telah diberitahu, pria itu akan stand by di Meteorcafe, di sebuah meja yang telah disiapkan.

Memasuki pintu Meteorcafe, Danis berhenti sejenak, mengedarkan pandangan ke ruangan kafe yang luas. Ada cukup banyak orang di sana—sebagian berpasangan, sebagian lain sendirian—dan ia mendapati seorang lelaki tua sedang duduk sendirian, dekat dinding, dengan segelas minuman di meja. Ia tahu, lelaki itulah yang harus ditemuinya. Jadi, dia pun melangkah mendekati meja si lelaki.

“Mr. Konstantinos Grivas?” sapa Valentino Danis.

Konstantinos Grivas menatap sosok di depannya, dan tampak ragu. “Ya?”

“Sir. Saya Valentino Danis, orang yang dijanjikan menemui Anda di sini.”

“Saya tidak diberitahu kalau Anda... masih muda.”

“Saya harap Anda tidak keberatan.”

Mereka duduk berhadapan. Seorang pelayan datang, dan menanyakan apa yang bisa dibawakannya.

“Saya diberitahu teh di sini sangat enak,” ujar Valentino Danis pada si pelayan. “Anda tidak keberatan membawakannya?”

Si pelayan mengangguk dengan anggun. “Dengan senang hati, Sir.”

Beberapa saat setelah menyesap teh, Danis menatap Konstantinos Grivas, dan berkata, “So, Mr. Grivas. Saya sudah di sini sekarang, dan siap mendengarkan Anda berbicara.”

Konstantinos Grivas berusia 60-an, berkepala bulat, dengan rambut yang mulai menipis, dan berhidung bengkok khas Yunani. Ia menyesap minumannya sesaat, kemudian berkata perlahan-lahan, “Jika saya sudah menyampaikan semua yang saya tahu, Mr. Danis, apa yang akan Anda lakukan?”

Valentino Danis menjawab, “Saya akan menuliskan semua penjelasan Anda dalam sebuah dokumen, yang akan menjadi dasar bagi tempat saya bekerja untuk melakukan investigasi. Keterangan Anda akan menjadi pijakan kami untuk mulai bekerja, sehingga kami tahu siapa yang harus ditemui, apa yang harus digali, semacam itu.”

Konstantinos Grivas menatap lawan bicaranya, dan berbisik, “Apakah nama saya akan disebut?”

“Itu tergantung keinginan Anda. Jika Anda ingin nama Anda disebut, kami akan menyebut nama Anda. Jika tidak, kami juga tidak akan menyebut nama Anda.”

“Saya tidak ingin nama saya muncul di koran mana pun.”

“Kalau begitu, Anda bisa yakin tak akan menemukan nama Anda di koran mana pun.”

Mereka terdiam sesaat, menyesap minuman masing-masing, lalu Valentino Danis berkata perlahan, “Bisa kita mulai?”

Konstantinos Grivas mengangguk, meski tampak ragu. “Anda tidak menyiapkan alat tulis, atau perekam?”

Danis tersenyum. “Mr. Grivas. Alasan mengapa saya yang dikirim menemui Anda, karena saya bisa mengingat apa pun yang Anda katakan, tanpa harus menulis apa pun, dan tanpa ada rekaman apa pun. Anda bisa berbicara sepanjang yang Anda mau, dan saya akan mengingat semuanya. Jika saya keluar dari tempat ini dan seseorang menembak kepala saya, tidak akan ada barang bukti apa pun yang bisa diambil dari saya. Apakah ini terdengar sempurna bagi Anda?”

Sekarang Konstantinos Grivas tampak puas. “I see,” ujarnya perlahan.

Setelah itu, percakapan dimulai. Konstantinos Grivas memaparkan banyak hal, fakta-fakta yang ingin ia ungkapkan pada dunia. Valentino Danis mendengarkan, sesekali menanyakan sesuatu untuk memperjelas keterangan, dan Konstantinos Grivas menjelaskan. Empat jam mereka berbicara secara intens, sampai kemudian Konstantinos Grivas menyatakan telah mengungkapkan semua yang ingin ia katakan.

Valentino Danis mengangguk, memahami lonceng perpisahan telah dibunyikan.

Sesaat sebelum mereka berpisah, Konstantinos Grivas berkata, “Mr. Danis...”

Valentino Danis, yang telah berdiri, menyahut, “Sir?”

“Stay alive,” bisik Konstantinos Grivas.

“I will.”

....
....

Seharusnya, dia segera meninggalkan Santorini, begitu tugasnya selesai. Itu telah menjadi standar operasional prosedur yang selalu diingatnya—“kau masuk, lakukan tugasmu, dan segera keluar.” Informasi yang ada di kepalanya harus diselamatkan secepat mungkin, untuk segera ditindaklanjuti. Tetapi, kali ini, Valentino Danis seperti lupa standar itu. Keindahan Santorini begitu menggoda, dan ia ingin berlama-lama.

Malam itu, saat melangkah di kawasan Ploiarxon, dia seperti ingin berjalan sepelan mungkin, agar pemandangan indah di sekelilingnya tak segera usai. Ploiarxon malam hari begitu eksotik—lampu-lampu jalan menyala, taman indah di mana-mana, sementara pasangan-pasangan yang sedang mabuk cinta tampak bergandeng mesra. Aku seperti “tersesat”, pikirnya.

Ketika langkahnya sampai di sebuah taman sepi yang indah, Valentino Danis tak mampu menahan diri. Dia membelok, dan masuk ke taman, lalu duduk di salah satu bangku di sana.

Angin malam begitu lembut, dan dia menikmati sendirian. Pikirannya berkabut, membayangkan perjalanan demi perjalanan yang telah ia lakukan, negara demi negara yang ia masuki, dan kemudian ia menatap diri sendiri, merasa batinnya begitu letih. “Sudah saatnya aku pulang,” renungnya. “Aku telah jauh berjalan, terlalu lama melangkah sendirian, sudah saatnya aku pulang.”

Angannya melayang pada seseorang yang ia tinggalkan begitu jauh... dan tiba-tiba ia terkenang pada percakapan dan janjinya. Sudah cukup lama mereka tak bertemu, dan sekarang dia begitu rindu.

“Aku harus pulang,” pikirnya, “dan memulai kehidupan baru sebagai orang normal. Aku memiliki kekasih, dan kami akan menikah.”

Larut malam di Santorini bisa membuatmu larut dalam khayal.

....
....

Tiga minggu kemudian, Valentino Danis duduk berhadapan dengan Jessica Hawthorne di tempat lain, di negara lain.

“Kenapa lama sekali?” tanya Jessica Hawthorne. Ia wanita berusia 37 tahun, dengan ekspresi datar, yang mengesankan tak peduli kalau besok kiamat datang.

“Sorry.” Valentino Danis mengangsurkan bungkusan cokelat cukup tebal di meja, dan berkata, “Aku sudah menuliskan semuanya di situ.”

Jessica menatap bungkusan dokumen di depannya, dan mengangguk. Ia memahami, dokumen itu berisi catatan mengenai pertemuan di Santorini. Kemudian, dengan nada berat, ia mengatakan, “Aku sudah menerima surat pengunduran dirimu. Kau mau menjelaskan?”

Dengan ragu, Valentino Danis menyahut, “Aku merasa... sudah saatnya berhenti, dan menjalani kehidupan biasa, seperti orang-orang lain. Tinggal di rumah, kau tahu, dan beraktivitas layaknya orang-orang normal.”

“Biar kutebak,” ujar Jessica, dengan ekspresi datar, “kau punya pacar?”

“Aku tidak tahu kau seorang cenayang. Tapi, ya, aku punya pacar.”

Kali ini, Jessica tersenyum. “Jadi, kau punya pacar, dan kalian saling jatuh cinta, berangan menjalani kehidupan seperti orang-orang normal. Dan punya anak-anak, kalau boleh kutambahkan. Tapi biar kuberitahu, itu hanya akan menjadi khayalan.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Tidak setiap orang ditakdirkan menjalani kehidupan seperti itu. Beberapa orang, sepertimu, ditakdirkan menjalani kehidupan yang berbeda dengan orang-orang lain. Aku tahu tentang itu, karena orang-orang sebelum dirimu juga mengalami hal serupa. Mereka menemukan pacar, memutuskan untuk menjalani kehidupan sebagai orang biasa, tapi kemudian menemukan bahwa itu bukan hidup yang mereka inginkan. Dan, omong-omong, apa yang akan kaulakukan? Bekerja di kantor?”

“Mungkin aku akan bekerja di rumah.”

Jessica Hawthorne kembali tersenyum. “Kedengarannya menjanjikan. Dan kau akan menikmati kebersamaan dengan orang yang kaucintai, memiliki anak-anak, melihat mereka tumbuh besar. Ya, well, apa yang salah dengan itu?”

“Aku seperti mendengar nada ironi.”

Sambil menatap lawan bicaranya, Jessica Hawthorne berkata perlahan-lahan, “Kau tentu berhak memutuskan hidupmu sendiri—kehidupan yang akan kaujalani. Dan aku juga tidak berhak menghalangi keinginanmu. Tetapi, aku ingin kau tahu, kau memiliki hal-hal yang kami butuhkan, dan kami pasti akan kesulitan mencari penggantimu. Tapi, bagaimana pun, kami tidak bisa menghalangi keinginanmu untuk mengundurkan diri.”

Valentino Danis bertanya sambil menahan senyum, “Kau akan datang ke pesta pernikahanku?”

Jessica Hawthorne membalas senyum tertahan itu. “Aku percaya itu tak akan terjadi.”

....
....

Beberapa orang mungkin bisa menjadi cenayang karena kebiasaan, atau karena selalu mengulang peristiwa yang sama, hingga terbiasa. Seperti Jessica Hawthorne. Dia bukan cenayang, tentu saja, tapi dia telah terbiasa mengulang hal serupa, hingga hafal di luar kepala. Termasuk tentang pernikahan yang tak akan terjadi.

Valentino Danis membuktikannya. Menjadi orang normal, tampaknya, memang bukan takdir setiap orang.

Prostitusi Artis, Antara Fakta dan Hoax

Dulu kita pernah dihebohkan kasus "prostitusi artis" yang konon tarifnya ratusan juta. Ada yang tahu bagaimana lanjutan kasusnya?

Kasus "prostitusi artis" beberapa waktu lalu adalah kasus yang sangat aneh. Kasus itu sangat heboh tiba-tiba, lalu surut, hilang begitu saja.

Terkait kasus "prostitusi artis", aku mengikuti berita itu dari awal sampai akhir, membaca ratusan artikel terkait, tapi tetap gagal paham.

Nama-nama artis yang dituduh terlibat "prostitusi", semuanya menyangkal, khususnya menyangkal tarif mereka yang konon sampai ratusan juta.

Dulu, aku percaya si anu dan si itu (mungkin) memang terlibat "prostitusi". Tapi aku sulit percaya kalau tarifnya sampai ratusan juta.

Kenyataannya, artis-artis yang dituduh bertarif ratusan juta (dalam kasus "prostitusi artis") itu tidak kaya-kaya amat (untuk ukuran artis).

Salah satu dari mereka (yang dituduh bertarif ratusan juta), bilang secara jujur, "Kalau tarif gue semahal itu, sekarang gue udah kaya!"

Mereka yang "tertangkap basah" dalam kasus "prostitusi artis" mungkin tidak menyangkal mereka terlibat. Tapi mereka menyangkal tarifnya.

Jika mempelajari ratusan artikel terkait kasus "prostitusi artis", kita akan menemukan satu hal. Tarif ratusan juta itu cuma klaim sepihak.

Kenyataan dan ketidaksinkronan soal tarif itu sebenarnya sangat aneh. Lebih aneh lagi, akhir kasus itu tidak pernah jelas sampai sekarang.

Sampai saat ini, aku tetap TIDAK PERCAYA ada artis terlibat prostitusi, dengan tarif ratusan juta. Itu terlalu sulit diterima akal sehat.

Dulu, Nikita Mirzani dituduh terlibat prostitusi dengan tarif ratusan juta. Faktanya, dia mau beli susu buat anak saja sampai kesusahan!

Jadi, siapa sebenarnya yang mengatakan tarif ratusan juta terkait prostitusi artis (kalau memang benar ada)? Kalian tahu siapa yang kumaksud.

Kita mendapatkan berita dari media. Media mendapatkan berita dari sumber. Masalah mulai terjadi, ketika hanya ada satu sumber.

Terkait "prostitusi artis", media-media hanya mengutip satu sumber. Tapi mereka tidak mengonfirmasikannya dengan artis-artis yang dituduh.

Akibatnya, "si sumber" bebas mengklaim apa saja (ratusan juta), dan media menelannya mentah-mentah, lalu kita semua dipaksa untuk percaya.

Kenyataan semacam itu, sebenarnya, telah jadi "penyakit kronis" media. Untuk setiap kasus kejahatan yang diberitakan, hanya ada satu sumber.

Jadi, apakah kasus "prostitusi artis" tempo hari benar ada? Mungkin ya. Tapi soal tarif ratusan juta, entahlah. Aku tetap TIDAK PERCAYA.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Agustus 2017.
 

Noffret’s Note: αστέρια

Οι άνθρωποι που έχουν αυξανόμενο ενδιαφέρον για τις καρδιές
των άλλων θα πρέπει να έρθουν στο νερό, αντί να πάει.
—Twitter, 5 Januari 2013

Υπάρχει μια αίσθηση της απώλειας κάθε δε βρίσκει, όπως τη
νύχτα χωρίς φεγγάρι, ο ουρανός χωρίς αστέρια.
—Twitter, 5 Januari 2013

Η πεταλούδα είναι μια σιωπηλή  λαχτάρα, χτυπώντας  τα φτερά
του στην καρδιά  της σιωπής, η σιωπηλή λαχτάρα του έρωτα.
—Twitter, 1 September 2012

Ένιωσα  πεταλούδες στο χορό απόψε την ψυχή μου.
Ένιωσα την απαλή φτερά  του.
—Twitter, 1 September 2012

Όπως και τον άνεμο, πετούν και εξαφανίζονται, αφήνοντας
ένα σωρό από λαχτάρα. Αναρωτιέμαι πού είναι τώρα.
—Twitter, 10 Juli 2012

Για ο φίλος μου μου λείπει. Ας ελπίσουμε ότι θυμάται πάλι εδώ
για να δημιουργήσετε αντίγραφα ασφαλείας τη νύχτα.
—Twitter, 16 Mei 2012

Σαν ένα όνειρο που παραμένει, όπως και φαντασία,
που δεν είναι μέχρι, όπως τη νύχτα δεν καλύπτονται.
—Twitter, 3 Mei 2012

Και τώρα έρχεται το ξημέρωμα. Αν και βαριά,
θα πρέπει να κλείσει το γέλιο μου πήρε εδώ.
—Twitter, 29 April 2012

Κάποιος που μου λείπει, απόψε εξαφανίστηκε.
Ήσυχη νύχτα χωρίς φεγγάρι.
—Twitter, 28 April 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Selasa, 05 Desember 2017

Malam-malam di Tempat Dingdong

Orang yang suka mencari masalah itu tolol sekaligus konyol.
Wong tidak dicari pun masalah kadang datang.
Semoga hukuman bisa jadi pelajaran.
@noffret


Kalian pasti tahu permainan mengambil boneka di dalam kotak kaca. Kalau tidak keliru, permainan itu disebut claw machine, dan di hampir setiap swalayan terdapat permainan ini.

Dalam kotak kaca yang mirip akuarium, terdapat banyak boneka, dan di situ juga ada capit besi yang bisa digunakan untuk mengambil (menjepit) boneka di dalamnya. Cara bermainnya, kita masukkan koin ke lubang yang disediakan, lalu mengarahkan capit besi agar dapat meraih boneka yang kita incar. Jika beruntung, capit itu akan menjepit salah satu boneka di dalam kotak kaca, lalu menjatuhkannya di lubang khusus, untuk dapat kita ambil.

Di masa lalu, ketika saya masih SMA, permainan semacam itu sangat populer, dan banyak sekali peminatnya, khususnya kaum pria. Pada masa itu, boneka di kotak kaca diganti dengan rokok!

Di kota saya, ada tempat-tempat khusus untuk bermain video games (yang pada waktu itu biasa disebut dingdong). Di salah satu bagian kota, ada deretan tempat yang khusus menyediakan dingdong. Bentuknya seperti ruko, tapi hanya menyediakan puluhan dingdong yang bisa dimainkan siapa pun asal punya koin. Ada empat ruko yang berderet, dan khusus menyediakan dingdong, hingga tempat itu terkenal sebagai pusat dingdong.

Semula, permainan dingdong di sana hanya video games biasa—pesawat tembak-tembakan, para pegulat yang berkelahi, dan semacamnya. Ketika permainan menjepit boneka dalam kotak kaca mulai populer, tempat dingdong di sana juga menyediakan permainan tersebut. Sejak itu, saya lihat ada beberapa kotak kaca berisi boneka yang bisa dimainkan siapa saja yang berminat dapat boneka.

Tetapi, tampaknya, permainan jepit boneka tidak terlalu menarik minat para pemain dongdong. Nyaris semua pemain di sana laki-laki, dan sepertinya mereka tidak berminat pada boneka. Memang ada satu dua yang pernah mencoba, termasuk saya, tapi sepertinya permainan itu kurang menarik. Masih asyik bermain tembak-tembakan atau jotos-jotosan di layar video games.

Sampai kemudian, pemilik tempat dingdong mungkin punya ide brilian. Mereka menghilangkan boneka di dalam kotak kaca, dan menggantinya dengan rokok!

Jadi, sejak itu, kami menyaksikan ratusan bungkus rokok aneka merek terkumpul di dalam kotak kaca, dan menggoda siapa pun yang ingin mendapatkannya. Sejak itu pula, langsung menarik banyak orang. Pada awal kemunculannya, kami bahkan harus antre untuk bisa memainkan permainan itu, dan berharap bisa menjepit salah satu bungkus rokok di dalamnya.

Saya termasuk penggila permainan tersebut. Kalau pas ada waktu luang, saya pergi ke tempat dingdong, dan mencoba peruntungan dengan bermodal beberapa koin. Kadang-kadang saya beruntung dapat beberapa bungkus rokok, kadang-kadang juga harus gigit jari karena tak dapat apa-apa. Bagaimana pun, saya senang setiap kali mendapat keberuntungan. Hanya dengan satu atau beberapa koin, saya bisa mendapatkan rokok yang harganya jauh lebih mahal.

Tempat dingdong yang saya ceritakan ini bersebelahan dengan bioskop, dan berdampingan dengan sebuah mal (saat ini, bioskop tersebut sudah tutup dan berganti menjadi bar, sementara mal di sana sudah tidak beroperasi). Pada masa lalu, kawasan itu menjadi salah satu pusat hiburan terlengkap, dan menjadi tujuan banyak orang yang ingin berbelanja atau bersenang-senang.

Karena berdekatan dengan mal, orang-orang di tempat dingdong pun sering menyaksikan para wanita (SPG/pramuniaga mal) yang bekerja di sana. Mal itu tutup pukul 21.30, tapi para SPG di sana biasanya keluar sekitar pukul 22.00. Para SPG mal mudah dikenali, karena mereka memakai seragam—baju formal dengan bawahan setinggi lutut, atau di atasnya. Ketika pulang kerja, mereka biasanya berjalan—sendirian atau bersama teman—di trotoar depan tempat dingdong.

Itu pemandangan yang selalu saya saksikan, setiap kali ada di sana. Tapi waktu itu saya tidak tertarik, karena—sebagai bocah—saya lebih tertarik pada bungkus-bungkus rokok yang ada di kotak kaca, dan mengkhayal bisa mendapatkan rokok itu sebanyak-banyaknya.

Setiap kali pula, saya selalu mendengar cowok-cowok di sana menggoda para SPG yang baru pulang kerja, dari godaan yang basi sampai godaan yang bikin risih. Cowok-cowok itu bahkan kadang sampai melakukan hal-hal kurang ajar. Pernah, suatu malam, saya mendapati cowok di sana meremas pantat salah satu SPG yang sedang berjalan, dan si SPG menjerit ketakutan. Di luar itu, ada hal-hal lain serupa, tapi sebaiknya tidak usah saya ceritakan.

Yang jelas, suatu malam, saya mendapati sesuatu yang mencengangkan.

Malam itu, saya datang ke tempat dingdong dan bermaksud mengadu keberuntungan seperti biasa—berharap memperoleh rokok dalam kotak kaca. Waktu itu sekitar pukul 22.00, dan saya masih khusyuk menghadapi lemari kaca, ketika terjadi keributan yang membuat saya penasaran ingin melihat. Orang-orang di tempat dingdong juga keluar semua, ingin melihat yang terjadi.

Tidak jauh dari tempat saya bermain dingdong, orang-orang tampak mengerumuni sesuatu. Saya mendekat, ingin tahu apa yang terjadi, dan melihat seorang perempuan berseragam SPG sedang dipegangi dua satpam. Di tangan si perempuan terdapat rantai besi (yang biasa digunakan untuk mengunci sepeda di zaman itu), sementara di depannya ada seorang laki-laki yang tampak terjengkang, dengan muka penuh luka dan berdarah-darah.

Perempuan yang mungkin berusia 25-an itu lalu ditarik ke pos satpam mal, dan di sanalah kemudian dia menceritakan kronologi kejadian. Dia sendirian waktu itu—teman-temannya entah ke mana. Tapi mungkin amarah sudah sangat menguasainya, hingga ia tampak tidak gentar pada apa pun, termasuk pada dua satpam yang mencoba “menjinakkannya”.

Berdasarkan potongan-potongan informasi yang saya dapatkan, berikut ini kronologinya.

Perempuan itu, setiap malam, harus melewati depan tempat dingdong saat pulang kerja—karena arah menuju rumahnya memang harus melewati tempat itu. Setiap kali pula ia lewat di sana, selalu ada seorang laki-laki yang bersikap kurang ajar. Mula-mula hanya sapaan (catcalling), dan dia mencoba tidak menghiraukan. Lalu sikap laki-laki itu makin menjadi. Jika sebelumnya hanya menyapa dengan sikap menggoda, ia kemudian mencoba meraba.

Saat peristiwa itu terjadi pertama kali, si perempuan masih menahan diri. Tapi si laki-laki mungkin menganggap hal itu sebagai “penerimaan”, dan sikapnya makin kurang ajar. Suatu malam, saat si perempuan lewat sana seperti biasa, si laki-laki mendekati, dan tiba-tiba meremas payudaranya. Si perempuan menjerit, si laki-laki tertawa-tawa.

Karena menyadari laki-laki itu bisa berbuat lebih berbahaya, si perempuan mencoba melaporkan pada satpam mal, berharap satpam di sana bisa menegur si laki-laki untuk menghentikan perbuatannya. Tapi satpam menjawab, itu bukan tugasnya. Si perempuan lalu mencoba mengadu ke polisi—yang kebetulan punya pos khusus dekat mal—berharap polisi mungkin mau turun tangan. Tapi polisi yang ia temui hanya menyarankan, “Sebaiknya lewat jalan yang lain saja, atau minta jemput orang rumah.”

Mungkin, didorong kesal dan amarah, perempuan itu akhirnya memutuskan untuk menangani masalah dengan tangannya sendiri. Suatu hari, saat berangkat kerja, ia menyiapkan sebuah rantai yang biasa dipakai untuk mengunci sepeda, dan ia menyimpannya dalam tas.

(Catatan: Di masa itu, ada rantai khusus yang ditujukan untuk mengunci sepeda. Rantai besi itu cukup panjang, bobotnya ringan, dengan mata rantai relatif kecil, tapi memiliki bagian kepala yang cukup besar sekaligus berat. Saat dibeli di toko, rantai itu dilapisi plastik cukup tebal. Jika plastik itu dilepas, dan ujung rantai dilepaskan dari bagian kepala, benda itu bisa menjadi senjata mematikan.)

Dengan rantai itu pula, si perempuan bersiap menghadapi laki-laki yang telah kurang ajar terhadapnya. Malam itu, saat pulang kerja, dengan mental yang telah disiapkan, dia melangkah di depan tempat dingdong. Tangannya sudah siap merogoh ke dalam tas, dan memegangi rantai di dalamnya.

Dan harapannya terwujud.

Laki-laki yang diincarnya muncul seperti biasa. Laki-laki itu tampaknya bermaksud menyentuh payudara si perempuan, seperti tempo hari, tapi kali ini dia sedang menyongsong bahaya. Dengan sigap, perempuan itu menarik rantai dari dalam tas, dan menggunakannya untuk menghajar muka si laki-laki.

Seperti yang disebut tadi, ujung rantai itu memiliki kepala yang terbuat dari besi, dan ukurannya cukup besar sekaligus berat. Ketika benda itu dihantamkan ke muka seseorang, bisa dipastikan sakitnya luar biasa. Dan itulah yang terjadi pada laki-laki tadi. Mungkin, dia terkejut sekaligus kesakitan mendapat serangan itu. Dan belum sempat si laki-laki melakukan apa pun, si perempuan langsung menghajarnya tanpa ampun, dengan rantai yang telah berubah menjadi senjata mematikan. Hasilnya jelas; ancur!

Malam itu, di pos satpam, si perempuan berkata dengan tangis bercampur amarah, “Saya sudah lapor ke sini (pos satpam mal), tapi kalian hanya diam. Saya sudah lapor ke polisi, dan mereka juga diam. Apa saya harus tiap malam mendapati perlakuan kurang ajar seperti itu terus menerus? Jika saya tidak bisa mengharapkan siapa pun untuk menolong saya, apa lagi yang harus saya lakukan?”

Malam itu juga, saya melihat ada dua polisi datang ke pos satpam mal. Tetapi, setahu saya, tidak ada tindak lanjut untuk perempuan tersebut, dalam arti dia tidak ditahan akibat perbuatannya—hanya rantainya disita. Sementara laki-laki yang terluka justru dibawa oleh polisi.

Mungkin, satpam maupun polisi waktu itu kebingungan. Jika mereka harus menahan si perempuan, mereka juga akan merasa bersalah, karena nyatanya si perempuan telah meminta tolong sebelumnya, dan mereka tidak peduli. Jadi, tepat seperti yang dikatakan si perempuan, “Jika saya tidak bisa mengharapkan siapa pun untuk menolong saya, apa lagi yang harus saya lakukan?”

Ya, apalagi yang bisa ia lakukan? Menghajar orang yang kurang ajar padanya dengan rantai sepeda, itulah yang ia lakukan! Persetan dengan satpam! Persetan dengan polisi! Kalian ada, tapi diam saja, menganggap itu sebagai hal biasa. Jadi, biarkan aku membuat bangsat itu berdarah-darah dengan tanganku sendiri!

Nyatanya, sejak itu, tidak ada lagi orang yang berani kurang ajar pada para SPG yang lewat di depan tempat dingdong. Sejak peristiwa itu, masih banyak laki-laki yang nongkrong di sana. Tetapi, kali ini, semuanya diam, tidak ada lagi cuitan-cuitan, tidak ada lagi sapaan atau godaan, tidak ada lagi sikap kurang ajar. Mungkin, memang, setiap bangsat membutuhkan pelajaran.

Saya membenci kekerasan, really. Tetapi kalau kau tidak melakukan apa pun, lalu orang mengganggumu, dan kau memberi pelajaran kepadanya hingga berdarah-darah, saya tidak akan menyalahkanmu.

Karena hidup adalah soal pilihan. Termasuk memilih bersikap sopan, atau menjadi bangsat kurang ajar.

Menyapa Tambak

Saat melewati tambak, aku terpikir untuk beramah-tamah. Jadi, aku menyapanya, “Hei, tambak.”

Tambak diam saja, karena dia tambak.

Tapi tidak apa-apa. Setidaknya, aku bisa mengatakan kepada diri sendiri, aku orang yang ramah.

Jumat, 01 Desember 2017

Masyarakat dan Selangkangan

Sekolah sampai tinggi, atau merasa orang terpelajar, tapi masih mengurusi
selangkangan orang lain, itu oksimoron. Biadab sekaligus tolol.
@noffret


Masih ingat kasus pasangan malang yang dituduh berbuat mesum, lalu dirundung, dianiaya, bahkan ditelanjangi di Cikupa, Tangerang?

Kasus semacam itu terjadi di mana-mana, dan bisa menimpa siapa saja. Masyarakat tampaknya sangat memperhatikan selangkangan siapa pun, sehingga kau dan pasanganmu bisa saja digerebek—lalu dianiaya dan dipermalukan—hanya karena kau dan pasanganmu dicurigai berbuat mesum.

Sekali lagi, kasus semacam itu terjadi di mana-mana. Di YouTube saja, ada banyak video yang mempertontonkan pasangan-pasangan yang digerebek orang banyak, lalu dirundung dan dipermalukan. Masalahnya itu tadi, pasangan-pasangan tersebut diduga berbuat mesum, dan masyarakat tidak terima, terlepas apakah pasangan itu melakukan kemesuman di rumah atau di tengah hutan.

Bahkan, tidak usah jauh-jauh, orang bisa saja “kegaruk” saat berduaan di losmen atau di hotel melati, karena kebetulan sedang ada penggerebekan yang dilakukan sewaktu-waktu. Jadi, kalau kau dan pacarmu, misalnya, ingin berduaan di kamar hotel—terlepas apa pun yang kalian lakukan—nasib kalian bisa berakhir tragis dan memalukan, kalau kebetulan saat itu sedang ada penggerebekan.

Di kampung, di hutan, atau di hotel, apa alasan penggerebekan itu?

Sepele. Alasannya cuma selangkangan.

Kalau kita bertanya pada masyarakat yang suka menggerebek, kenapa mereka melakukan penggerebekan, hampir bisa dipastikan jawaban mereka tak jauh-jauh dari itu. Mungkin, untuk membenarkan penggerebekan yang dilakukan, masyarakat akan menyatakan, “Mereka (pasangan yang digerebek) belum sah menjadi suami istri, jadi kami tidak nyaman kalau mereka berduaan seperti itu.”

Oke, fine.

Itulah jawaban yang akan kita dengar, jika kita menanyakan kenapa mereka melakukan penggerebekan—hingga perundungan dan penganiayaan—terhadap pasangan mana pun yang mereka tuduh berbuat mesum. Itu, tentu saja, jawaban standar berlandaskan moral yang luhur—kalau bisa disebut begitu. Jadi, mari kita pegang omongan dan moral mereka.

Masyarakat melakukan penggerebekan, dengan alasan pasangan yang digerebek belum sah menjadi suami istri, sehingga masyarakat tidak nyaman melihat pasangan tersebut berduaan. Sebagai masyarakat yang berbudi luhur, mereka memiliki kewajiban moral untuk ikut mengurus selangkangan orang lain, khususnya selangkangan orang yang belum menikah.

Sekali lagi, ingat dan pegang jawaban itu.

Sekarang, andaikan pasangan yang digerebek kemudian menikah, dan pernikahan mereka diketahui masyarakat secara luas. Ada undangan pernikahan yang disebar, resepsi perkawinan yang meriah, dan segala tetek bengek yang dengan jelas memberitahu masyarakat bahwa mereka telah menikah.

Suatu hari, misalnya, pasangan tadi bertengkar, hingga terjadi KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Si istri, dengan menangis, lari keluar rumah karena ketakutan akibat dianiaya suaminya. Sementara si suami mengejar, dan menarik istrinya kembali masuk rumah. Dan terdengar teriakan, makian, hingga jeritan memilukan yang menunjukkan pasangan itu sedang dalam masalah.

Apa yang biasanya menjadi reaksi masyarakat, ketika menghadapi kenyataan semacam itu? Apa yang biasanya dilakukan masyarakat, ketika mendapati ada suami istri bertengkar, bahkan sampai terjadi tindak kekerasan di antara keduanya?

Umumnya, reaksi masyarakat hanya diam.

Tidak ada yang tergerak untuk turun tangan, semisal berusaha melerai suami istri yang bertengkar, karena berpikir, “Itu urusan rumah tangga orang lain.”

Urusan rumah tangga nenek lu!

Ketika melihat ada pasangan saling sayang, masyarakat menjadi orang-orang bermoral yang langsung sigap menggerebek, dengan alasan, “Mereka belum sah menjadi suami istri, jadi kami tidak nyaman melihat mereka berduaan!”

Tetapi, ketika melihat pasangan suami istri bertengkar ribut, bahkan terjadi KDRT, masyarakat menjadi bangsat-bangsat yang kehilangan moral, lalu diam seperti ular beludak kekenyangan, dan beralasan, “Itu urusan rumah tangga orang lain.”

Tidakkah itu seperti standar ganda yang menjijikkan?

Jadi, masyarakat tidak nyaman kalau melihatmu bersama pasangan asyik mesra-mesraan, jika kalian belum menikah. Sebaliknya, masyarakat nyaman melihatmu menganiaya pasangan, asal kalian telah menikah.

Masyarakat akan mengusikmu kalau kau dan pasangan belum menikah, meski kalian sekadar sering bersama. Sebaliknya, masyarakat tidak akan mengusikmu meski kau dan pasanganmu saling cakar atau saling melukai, asal kalian telah menikah.

Sistem nilai keparat apa itu?

Ketika seorang suami menganiaya istrinya, masyarakat diam. Ketika orang tua menganiaya anaknya, masyarakat bungkam. Alasannya terdengar mulia, “Itu urusan rumah tangga orang lain.”

Kalau memang hal-hal terkait kekerasan dan penganiyaan dalam rumah tangga dianggap sebagai “urusan rumah tangga orang lain”, kenapa mereka tidak berpikir sama kepada pasangan-pasangan yang kebetulan belum menikah? Kenapa mereka tidak memberlakukan cara berpikir yang sama, misal, “Itu urusan pribadi orang lain.”

Jika pertanyaan tersebut dianggap kurang tepat, mari balik pertanyaannya. Jika pasangan belum menikah yang tampak berduaan dianggap urusan masyarakat—sehingga mereka melakukan penggerebekan—kenapa pasangan suami istri yang bertengkar dianggap bukan urusan masyarakat?

Pikirkan pertanyaan itu, dan kita akan mendapati bahwa crucial point di sini sebenarnya bukan moral, juga bukan nyaman atau tak nyaman, melainkan semata-semata urusan selangkangan!

Masalah sebenarnya, terkait penggerebekan yang bisa terjadi di mana-mana, hanya masalah selangkangan! Masyarakat merasa punya hak untuk mengurusi selangkangan siapa pun, dan mereka harus diberitahu—lewat pernikahan—kalau selangkanganmu sudah sah untuk digunakan. Itulah intinya!

Kalau memang menggunakan standar moral, mestinya masyarakat terusik moralnya melihat penganiayaan yang dilakukan suami kepada istri, atau orang tua kepada anak. Kalau memang menggunakan standar nyaman atau tak nyaman, mestinya masyarakat tidak nyaman melihat wanita berdarah-darah dianiaya suami, atau anak-anak yang terluka akibat perbuatan orang tuanya. Kenapa mereka justru diam, ketika menyaksikan hal-hal itu? Kenapa mereka tidak ngomong moral atau merasa tidak nyaman?

Jadi, inti sebenarnya terkait hal ini bukan moral. Tapi selangkangan! Masyarakat kita terlalu sensitif terhadap selangkangan, sebegitu sensitif hingga mereka harus memastikan kau punya surat yang sah dan resmi terkait selangkanganmu.

Pola pikir semacam itu benar-benar kacau sekaligus bangsat. Jika menggunakan pola pikir masyarakat yang semacam itu, maka pernikahan seperti legalisasi untuk melakukan apa pun, termasuk kekerasan dan penganiayaan, selama hal itu dilakukan di wilayah domestik (keluarga atau rumah tangga).

Jangan lupa, pernikahan bukan sebatas urusan selangkangan. Pernikahan melibatkan banyak hal—di luar selangkangan—yang bisa jadi menimbulkan masalah, konflik, pertengkaran, sampai penganiayaan dan kekerasan di antara pasangan atau keluarga. Tapi masyarakat tak peduli. Karena yang mereka pedulikan hanya selangkangan.

Masyarakat tak peduli kau dan istrimu saling cakar dan saling menyakiti. Masyarakat tak peduli kau berdarah-darah dianiaya suamimu. Masyarakat tak peduli kau pusing tujuh ratus keliling menghadapi aneka tuntutan keluarga. Masyarakat tak peduli kau dan pasanganmu menganiaya anak-anak, hingga mereka terluka dan kesepian.

Oh, well, masyarakat bahkan tak peduli jika rumah tanggamu menjadi neraka. Karena masyarakat hanya peduli selangkanganmu. Asal kau punya surat nikah yang sah, kau bebas melakukan apa pun!

Sekali lagi, tidakkah itu mengerikan, sekaligus menjijikkan?

Dan, akhirnya, sudahkah kalian paham mengapa saya begitu muak dan jijik setiap kali mendengar orang bertanya, “Kapan kawin?

Otak Kotor

 Orang kalau otaknya kotor, lihat apa saja bisa membuatnya berpikir kotor.

Melihat tumpukan tisu untuk keperluan makan, dia pikir untuk persiapan kawin. Melihat tumpukan rokok untuk persediaan, dia pikir untuk persiapan kawin. Melihat orang bersih-bersih rumah, dia pikir untuk persiapan kawin. Melihat orang membeli peralatan dapur, dia pikir untuk persiapan kawin.

Kayak tidak ada hal lain yang lebih penting dipikirkan selain kawin.

Noffret’s Note: Pemerintah

Golongan Listrik di Bawah 4.400 VA Akan Dihapus
Tunggu Keputusan PLN http://dlvr.it/Q0fjxD
@kumparan

Benar-benar tidak paham dengan rencana/kebijakan absurd ini.
@noffret


Pemerintah, tampaknya, terus berupaya menarik pemasukan apa pun yang bisa ditarik dari rakyat. Subsidi dicabut perlahan, harga dinaikkan perlahan. Bagi sebagian besar orang, kehidupan makin suram, sementara pajak makin kejam. Dan sementara itu, pemerintah terus menumpuk utang.

Dulu, waktu rakyat masih menggunakan minyak tanah untuk memasak, pemerintah mengimingi gas bersubsidi yang konon lebih murah. Setelah rakyat beralih ke gas bersubsidi, perlahan-lahan gas mulai langka dan sulit didapatkan. Jika diperhatikan, modus serupa terjadi pada hal-hal lain.

Tempo hari, orang-orang kaya diiming-imingi amnesty pajak, yang seolah-olah membereskan semua masalah terkait pajak. Ketika iming-iming itu dituruti, apakah para peserta amnesty pajak bisa hidup tenang? Tidak. Sebaliknya, mereka makin tak tenang, karena menjadi "sasaran tembak".

Yang kaya dikejar-kejar pajak, yang miskin dibelit harga kebutuhan yang makin mahal. Jadi, tak peduli kau kaya atau miskin, hidup semakin suram. Dan apa yang dilakukan pemerintah? Kita tahu jawabannya; menumpuk utang. Pemerintah yang asyik berutang, rakyat yang harus membayar.

Seiring dengan cukai rokok yang terus naik (dinaikkan) setiap tahun, pemerintah saat ini juga sedang menyiapkan rencana untuk menarik cukai untuk tas kresek, asap knalpot, sampai minuman soda. Kreatif sekali ya, pemerintah kita.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 November 2017.

 
;